Bab 3

Sepulang dari rumah tetangga, wajah Sherina tampak lusuh. Entah sudah keberapa kali ia menghela napas panjang, tiap kali matanya menatap beberapa lembar kertas yang ada di tangan.

Kertas yang bertuliskan tentang jadwal belajar Sherina selama 5 hari ke depan, kemudian juga ada jadwal belajar saat mereka sudah masuk sekolah, beberapa list buku yang harus ia baca selama seminggu ini, dan tentu saja, beberapa lembar soal pre-test juga tidak ketinggalan.

“Kenapa sih mukanya begitu, Sher?” tanya Ibu yang melihat Sherina masuk ke ruang keluarga.

Sore itu, saat Aisha asik nonton  drama di ruang keluarga, ia melihat sang anak masuk dengan ekspresi yang tidak sedap dipandang mata. Kening yang sedikit mengerut, sorot mata menunjukkan amarah yang tertahan di dalam sana, bibirnya bahkan tampak maju beberapa mili. Gadis itu pasti sedang kesal.

“Arden loh, Bu …”

Benar saja dugaan Aisha. Sherina langsung menghampirinya untuk mengeluhkan semua kekesalan yang bersarang dalam hati.

“Memang Arden kenapa toh, Sher? Ganteng gitu padahal,” canda Aisha yang membuat Sherina semakin jengkel.

“Ah, Ibu!” Sherina yang sudah duduk di sebelah Aisha tampak memandang tidak senang ke arah sang Ibu. Ia dengan keras menolak pernyataan itu dalam hati.

Aisha melipat tangan depan dada, tapi matanya tidak lepas dari layar televisi. “Ibu kan hanya bicara kenyataan, Sherina. Arden tuh ganteng, pintar, rapi, wangi lagi. Berbanding terbalik dengan kamu yang sering lepek dan dekil.”

Sherina memukul pelan lengan sang ibu menggunakan bantal kecil yang ada di belakang punggung. “Sebenarnya anak Ibu itu Arden atau Sherina sih?”

Kini mata Aisha beralih sepenuhnya menatap Sherina. “Ibu kalau boleh milih ya jelas maunya Arden. Ibu bosan punya anak macam kamu.”

Setelah puas menggoda sang anak di waktu santai, akhirnya Aisha mulai mendengarkan segala keluhan Sherina yang berkaitan dengan kegiatan belajar bersama Arden. Gadis itu bahkan menunjukkan kumpulan kertas yang berada dalam genggaman.

“Bagus dong Sherina. Artinya Arden kan tulus bantu kamu belajar,” komentar Aisha setelah mendengar keseluruhan cerita.

Bibir Sherina maju beberapa senti, “Dia mah tulus bikin Sherina kesel, Bu. Sama aja kayak Ibu.” Merasa percuma bercerita panjang lebar pada orang tua yang tidak memihaknya sama sekali, Sherina pun memutuskan untuk kembali ke kamar.

***

Setelah makan malam bersama Ayah dan Ibu, kini Sherina sudah kembali ke meja belajar sambil meratapi kumpulan soal pre-test yang diberikan Raga. 10 soal tentang Sejarah, 2 soal Akuntansi—yang tentu jawabannya tidak sependek pertanyaannya—lalu ada 5 soal mengenai Geografi, dan 5 soal Sosiologi.

Sherina memandang penuh frustasi pada lembar-lembar soal tidak manusiawi itu. Siapa pula yang mampu mengerjakan kumpulan soal ini hanya dalam 1 hari? Mungkin hanya si pemberi soal yang mampu menyelesaikan semua ini.

“Ah, tahu lah. Yang penting selesai,” gumam Sherina yang mulai meraih pulpen dan ponsel pintar.

Waktu pun berlalu. Mata Sherina sudah tampak menyerah saat memasuki sesi mencari jawaban atas 2 soal Akuntansi yang ada pada lembar soal pre-test. Semakin berusaha ia menahan rasa kantuk ini, semakin sulit pula ia berusaha untuk tetap sadar.

“Lagipula, Arden kan bilang, isi aja yang gue tahu, kan,” gumam Sherina yang pada akhirnya menyerah dengan 2 soal Akuntansi yang masih tidak mendapat sedikit pun pencerahan, setelah melihat berbagai macam contoh soal yang mungkin masih masuk dalam materi yang sama dengan soal Raga.

Gadis itu memutuskan untuk tenggelam dalam pelukan lembut kasur dan selimut kecintaan. Dinginnya malam pun semakin menggoda Sherina untuk terlelap dalam alam mimpi.

***

Sherina pikir ia akan sedikit bebas dari Arden, setelah hanya gagal mengisi soal Akuntansi dari banyaknya jenis soal yang diberikan, sampai suatu ketika Arden mulai bertanya. “Hal apa yang berasal dari Indonesia, terbukti mampu mengubah alur peradaban dunia?”

Sherina yang duduk di ruang belajar Raga pada siang yang mendung ini terlihat mengerjapkan mata beberapa kali. “Maksudnya?”

Arden melipat lembar jawaban Sherina, menyimpan benda tersebut di balik saku celana. Kemudian menunjukkan nomor soal yang ia tanyakan. “Lo udah jawab ini semalam, kan?”

“Jawabannya kan barusan lo simpen di saku celana,” Tunjuk Sherina.

“Iya, makanya gue tanya ulang, Sherina. Hal apa yang berasal dari Indonesia, terbukti mampu mengubah alur peradaban dunia?”

“Kenapa lo tanya ulang kalau pertanyaannya aja udah pernah gue jawab?” ujar Sherina.

“Jawab aja kenapa sih, susah banget jadi manusia!”

Jujur, Arden termasuk laki-laki yang cukup jarang marah. Ia lebih sering mengabaikan hal-hal aneh yang mengesalkan. Namun entah kenapa, Sherina seperti mampu menarik sumbu kemarahan Arden dengan mudah.

Melihat Arden kesal, entah kenapa membuat ia juga kesal. “Galak banget sih Arden. Bisa kali, gak usah pakek marah.”

“Ya makanya, kalo gue nanya tuh tinggal jawab aja, jangan pakai alasan,” ujar Arden.

Bukannya menjawab, Sherina malah mengalihkan pandangan dari Arden. Membuat pria itu menaruh curiga.

“Lo googling, ya?” tuduh Arden.

“Ya emang dapet dari mana lagi, kalo gak buka google?”

Jawaba spontan Sherina berhasil membuatnya mendapat hadiah kecil berupa pukulan di kepala mengenakan pulpen. Walau tidak sekencang itu, tapi rasanya tetap sakit dan menjengkelkan.

“Sakit tahu, gak!?” omel Sherina sambil mengusap kepala yang habis dipukul Raga.

“Capek-capek gue tulisin daftar bacaan buat buat lo, bisa-bisanya lo ngandelin aplikasi. Ya jelas gak akan masuk ke dalam otak lo yang senggang itu kalo kerjanya cuma nyalin, Sherina Agatha Adwitiya,” omel Arden yang tampak mulai habis kesabaran.

Masih sedikit mengelus bagian kepala yang dirasa sakit, Sherina menjawab, “Lagian, apa bedanya sih? Kan sama-sama dijawab, soalnya.”

Sambil mengepalkan tangan kuat-kuat, Arden mengetuk meja kayu yang memisahkan ia dengan Sherina. Mencoba untuk sedikit meredakan amarah yang sudah berada di batas tertinggi toleransi Arden. “Terus, kalo ada rekan tim lo ngelempar masuk bola basket ke ring sendiri, itu juga sama?”

“Ya beda dong! Itu poin bunuh diri namanya!” sanggah Sherina.

“Iya, sama aja kayak lo sekarang, lagi bunuh diri!” ketus Arden yang mulai meraih buku Sejarah Indonesia yang ada di sudut meja. “Gue gak mau tahu ya, Sher, baca bab 1 buku ini sebanyak 5x, terus lo cerita ke gue, apa isinya.

Mulut Sherina hendak mengeluarkan protes, tapi sorot mata Raga yang mulai menajam, mengisyaratkan Sherina untuk segera melakukan apa yang ia perintahkan, tanpa melalukan perlawanan, apalagi pemberontakan.

Dalam hati, gadis itu menggerutu, jengkel. Kebebasannya seolah direnggut oleh Arden, tiap kali ia berhadapan denga pria ini.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top