Bab 2

Di kediaman keluarga Rais, terlihat anggota keluarga-suami, istri, dan anak—makan malam dengan tenang di meja makan.

"Papa dengar dari Mama, katanya kamu mau ada acara belajar sama Sherina?" ucap Rais basa-basi.

Saat itu juga pergerakan sendok Arden terhenti. "Katanya sih gitu, Pa."

Kening Rais otomatis mengerut, melirik ke arah sang istri dengan tatapan penuh tanya. "Kenapa katanya?" Pandangannya kembali ke Arden, "Kan kamu yang sekolah."

"Arden hanya diberi perintah, tanpa ada yang mau bertanya, apa Arden setuju atau tidak." Tanpa memedulikan sorot mata tajam Tasya yang ditujukan padanya, Arden tampak cuek memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut.

Siapa sangka, kalau ucapan Arden barusan membuat Tasya mulai merapikan meja makan. Ia bahkan sampai merebut piring Arden yang masih penuh dengan nasi beserta lauk pauk.

Arden hanya bisa berdecak kesal saat itu semua terjadi begitu cepat di depan matanya. "Arden tuh masih makan, Ma," protes laki-laki itu.

"Mama malas kasih makan anak pelit yang nyebelin kayak kamu!"

Dengan begitu, acara makan malam keluarga Rais ini berakhir secepat kilat. Kedua laki-laki yang tersisa di meja makan pun mulai diliputi perasaan canggung yang aneh.

Rais tampak mengalihkan wajah dari pandangan Arden, saat anak itu menatapnya lekat-lekat.

"Sebenarnya Arden itu anak kandung Papa Mama, atau anak adopsi sih?"

Sebuah pertanyaan dadakan yang berhasil membuat Rais tersedak minumannya. "Ya tentu anak kandung. Jelas-jelas wajah rupawan itu mirip Mama, otak pintarmu juga mirip Papa."

Arden berusaha mencari kebohongan di setiap garis ekspresi atau sorot mata pria di hadapannya. Namun semua itu seperti pernyataan jujur yang spontan terlontar. "Tapi kenapa rasanya seperti Sherina yang anak Mama, bukan Arden?"

Terlihat Rais mulai tertawa canggung. "Kamu tahu kan Arden ... Mamamu itu sangat menginginkan anak perempuan. Sayangnya, beberapa bulan setelah melahirkanmu, penyakit yang Mama derita saat itu membuatnya harus menjalankan operasi pengangkatan rahim."

Selalu saja jawaban seperti itu yang menjadi alasan kedua orang tuanya saat mamanya tampak menunjukkan kasih sayang berlebih pada anak tetangga, ketimbang dirinya. Arden langsung bangkit dari duduk, "Arden mau belajar dulu."

"Nanti Papa bawain burger ya?" ujar Rais setengah berbisik, sebelum anak itu benar-benar mengalihkan pandangan.

Arden hanya mengangguk, lalu mulai meninggalkan meja makan menuju kamar.

***

Di sisi lain, tepatnya tetangga sebelah rumah Pak Rais, suasana makan malam tampak sedikit berbeda. Walau sama-sama memiliki 1 anak, tapi makan malam keluarga ini terasa lebih ramai karena Sherina tampak mengeluhkan perintah kepala sekolah yang menyuruhnya untuk belajar bersama Arden.

"Loh, bagus dong Sayang. Jadi kapan mulai? Mau Ayah siapkan ruang khusus untuk kalian belajar?" Adi, kepala keluarga ini tampak antusias mendengar cerita putri kesayangannya, Sherina.

"Ih, Ayah kok malah seneng sih ..." Sherina menyandarkan kepala di atas meja makan. Untunglah makan malam kali ini sedikit lebih terlambat dari biasa, jadi hanya ada piring-piring kosong yang disusun di tengah meja.

Mata Adi mengerjap beberapa kali. "Terus Ayah harus sedih, begitu?"

"Ya gak gitu juga Yaahhh ..."

Sebuah centong besi menyentuh kepala Sherina. Walau tidak sekeras yang dibayangkan, Sherina yang terkejut tetap menjerit kesakitan saat Aisha memukul pelan kepala anaknya. "Sakit, Bu ...."

"Lebay kamu ah, Sher," balas Aisha sambil meletakkan semangkuk sayur di sebelah tumpukan piring. "Lagian, bagus kalau kamu belajar sama Arden. Kali aja bisa ketularan pinter, Sher."

Mata Sherina memicing. "Bu, kepintaran itu bukan virus yang bisa menular."

"Ck! Kamu itu ya, giliran jawab nasehat orang tua saja pintar, giliran jawab soal ujian malah tidur!"

Adi mengelus lengan sang istri, berusaha meredakan kekesalan wanita kecintaannya. "Sudah, Bu ...."

"Ayah sih manjain Sherina terus. Jadi begitu kan modelannya!" Sedikit menggerutu, Aisha kembali ke dapur.

Setelah memastikan istrinya benar-benar menghilang dari ruang makan, Adi langsung mengalihkan pandangan pada sang anak. "Kamu sih Sher. Sudah tahu Ibumu begitu, masih aja dijawab."

"Habis omelan Ibu renyah dan merdu gitu di telinga, Yah," ujar Sherina sambil tertawa kecil, membuat Adi tak bisa menutupi senyum gelinya saat mendengar alasan sang anak yang kerap kali menggoda ibunya sendiri.

"Tapi nilai kelas 11 harus beneran naik loh, Sherina," tegas Adi dengan suara rendah.

Sherina paham akan ancaman halus itu. Mau tidak mau, ia mengangguk patuh, walau dalam hati masih ada keengganan untuk duduk bersebelahan dengan Raga, membahas segudang materi yang berkaitan dengan jurusan IPS di kelas 11.

***

Seminggu menjelang tahun ajaran baru dimulai. Saat pelajar lain sibuk menikmati hari-hari terakhir liburan ini semaksimal mungkin. Entah dengan cara nonton bioskop bersama teman, jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, atau sekedar menikmati hari di taman hiburan. Di sini Sherina malah diminta untuk mengunjungi rumah Arden saat siang hari, membahas hal-hal yang terkait dengan pembelajaran mereka.

Sherina cukup takjub saat mengetahui bahwa Arden memiliki ruang belajar tersendiri. Padahal sebelum ke sini, ia merasa sedikit canggung bila membicarakan hal ini di ruang tamu yang mungkin bisa didengar oleh Tante Tasya—karena jika ada wanita itu, jelas Sherina merasa tidak enak hati mendebat Arden.

Ruang belajar yang cukup luas, berisikan beberapa rak buku di ujung ruangan, serta meja persegi panjang pendek yang tampaknya pas dipasangkan dengan kursi lantai yang empuk. Bisa dibilang, ini ruang belajar yang sangat nyaman bagi mereka yang ingin menghabiskan waktu berjam-jam membaca buku. Tentu, Sherina bukan salah satunya.

"Langsung aja ke intinya," ujar Arden begitu ia mengambil poisi duduk. "Kasih tahu gue jadwal basket lo, biar gue bisa susun waktu belajar kita."

"Tiap hari," jawab Sherina yang kini telah duduk di seberang Arden.

Belum apa-apa, Arden sudah harus menarik napas dalam-dalam setelah mendengar respon Sherina. "Sekolah kita punya aturan, Sherina Agatha Adwitia. Salah satunya adalah mengatur batas pertemuan ekskul. Jadi lo gak usah ngarang jawaban kayak gitu!"

"Gue mah latihan buat basket emang tiap hari. Kalau ekskul ya tiap rabu sama sabtu, cuma kalau ada pertandingan penting, minggunya tetap latihan," sahut Sherina yang mulai ikutan sensi.

"Mulai besok latihan basketnya sesuai jadwal ekskul!" perintah Arden dengan nada mutlak.

Sherina spontan memandang sinis Raga. "Gak bisa gitu dong! Gue capek-capek latihan tiap hari tuh supaya gelar MVP gue gak ilang. Itu gelar mau gue buat jaminan masuk tim resmi nanti kalau lulus SMA."

Belum ada 10 menit, Arden sudah mengusap kasar wajah, menandakan kalau ia mulai frustasi menghadapi Sherina yang seharusnya ditolong ini malah memberi kesan seperti tidak tahu diri. "Terus lo lebih suka nempel sama gue sampai lulus, hanya karena nilai lo gak ada peningkatan signifikan?"

Sherina membuang pandangan ke arah lain. "Ya ... lo tinggal bilang ke orang tua lo aja, kalo lo udah sibuk sama kegiatan sekolah, jadi gak bisa ngajarin gue."

Sambil memicingkan mata, Arden membalas, "Lo emang mampu nanggung makan 3 kali sehari gue, beserta camilan yang harus gue makan tiap belajar sore?"

Gadis itu tersentak. "Kenapa jadi gue yang nanggung semua makan dan jajan lo?"

"Biar lo tahu diri dikit!" ketus Arden. Tidak mungkin ia mau mengaku pada Sherina kalau mamanya sedang dalam masa merajuk, ngambek yang berakibat mogoknya perempuan itu untuk memberi Arden makan atau camilan. Entah sudah berapa hari ia harus memesan makanan online yang mulai membosankan baginya.

"Ih, kok gitu sih Arden!"

Merasa tidak akan berhasil hanya melalui perdebatan mulut yang kekanakan ini, Arden pun merogoh ponsel di saku celana. Entah mengapa, hal ini membuat Sherina sedikit gugup.

"Ngapain lo, tiba-tiba ngeluarin HP?"

"Tante Aisha suruh gue buat laporan tiap kali kita ketemu buat belajar. Gue rasa pertemuan hari ini sudah selesai, kan?" ujar Arden yang tak lepas menatap layar ponsel.

"Gak asik lo, Arden!"

Sherina sudah hendak bangkit dari duduk, tapi perkataan terakhir Arden membuat Sherina tidak bisa meninggalkannya begitu saja. "Lo yakin mau pergi dari sini gitu aja? Ibu lo kan lebih berpihak sama gue. Gue ngomong apa, dia pasti percaya."

Skenario mengerikan mengenai ibunya yang sangat akademis ini mulai berputar di kepala Sherina.

"Denger-denger dari Tante Aisha, kalau nilai lo gak naik, semua koleksi sepatu basket lo akan berakhir di tong sampah."

"Sial!" Sherina hanya bisa berdecak kesal, tanpa bisa meninggalkan ruangan sebelum si pemilik ruangan ini benar-benar mengizinkan gadis itu keluar.

"Jadi, bisa kita mulai rancangan pembelajaran kita, Sherina?"

Gadis itu hanya bisa mendengus sebal saat mendengar nada bicara Arden yang menyiratkan kemenangan mutlak atas bedebatan mereka.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top