Ketujuhbelas
Hari ini hujan turun sangat deras mengguyur kota Semarang. Itu terjadi sekitar pukul sebelas siang tadi dan telah satu jam berlalu, tapi belum juga berhenti.
Kanaya merapatkan jaketnya untuk keluar dari gedung perkantoran. Dia harus segera menjemput Tiara. Tidak ada pilihan lain walaupun hujan begitu deras. Wanita itu bersyukur selalu menyimpan mantel di dalam jok motornya.
Lima belas menit dia masih berdiri di depan gedung. Kanaya masih berharap jika langit akan sedikit berbaik hati untuk sedikit menurunkan intensitas derasnya air hujan. Namun, ternyata yang terjadi malah sebaliknya. Hujan semakin deras saja. Bahkan Pak Asep harus mengungsi ke dalam gedung karena tempat satpamnya sudah tidak dapat menghalau air hujan yang turun.
"Bu Naya mau pergi?" tanya Pak Asep yang sudah berdiri di samping Kanaya. Laki-laki itu pernah membantu untuk menambal ban motornya dan menolak ketika dia mengganti biaya ongkos. Karena sudah diberi ongkos oleh Kelana. Kanaya bukan tidak tahu, tapi dia merasa tidak enak saja.
"Iya, Pak. Mau menjemput anak saya," jawab Kanaya yang suaranya ditelan oleh derasnya suara hujan.
"Tapi, hujannya masih deras sekali. Bahaya lho, Bu, kalau naik motor, apalagi sambil membonceng anak kecil."
Kanaya mau tidak mau mengangguk. Benar apa yang dikatakan oleh Pak Asep, tapi, mau bagaimana lagi, Tiara pasti sudah menunggu kedatangannya sejak tadi.
"Kamu mau pergi?" Sebuah suara bariton menginterupsi Kanaya dan Pak Asep. Kanaya menoleh dan menemukan Kelana sudah berdiri tak jauh dari mereka.
Laki-laki itu tampak rapi dan terlihat berwibawa seperti biasa. Kemeja biru muda dipadukan dengan celana kain berwarna khaki sangat cocok melekat pada tubuh Kelana. Rambutnya juga disisir dengan rapi. Rahang tegas dan tubuh tinggi sangat cocok dengan wajah tampannya. Ah, Kanaya menggeleng, bukan saatnya mengagumi laki-laki itu sekarang.
"Kamu mau ke mana?" tanya Kelana lagi karena tidak kunjung mendapatkan jawaban dari Kanaya.
"Bu Naya mau menjemput putrinya Pak," jawab Pak Asep.
Sepertinya laki-laki yang berprofesi sebagai satpam tersebut, tahu untuk menempatkan dirinya sebagai penghubung antara Kanaya dan Kelana.
"Naik motor?" tanya Kelana lagi. Terlihat kedua alis Kelana saling bertautan.
Kanaya menggangguk sopan. Dia tidak ingin berbicara dengan laki-laki ini atau berdebat sekarang. Mungkin sebentar lagi laki-laki ini akan mengomel. Sungguh Kanaya ingin menghindar secepat mungkin. Dia kemudian membuka payung yang sedari tadi digenggamnya. Kanaya ingin berlari ke arah motornya yang sedang terparkir di halaman, tapi belum sempat kakinya melangkah, ada sebuah tangan yang menahan lengannya.
Kanaya menoleh dan mendapati tangan Kelana sedang memegang erat pada lengannya.
"Biar saya antar."
"Apa Pak?" tanya Kanaya kaget dan lagi suara Kelana yang tidak begitu jelas akibat hujan.
"Biar saya antar." Kelana mengulangi kalimatnya dengan suara sedikit keras.
Setelah itu Kelana mengambil payung milik Kanaya dan berjalan cepat ke arah mobilnya. Beberapa menit kemudian mobil tersebut sudah berada di depan Kanaya yang masih belum tersadar sepenuhnya.
"Masuk," perintah Kelana setelah menurunkan kaca mobil bagian samping.
Kanaya seperti kerbau yang dicocok hidungnya, dengan patuh mengikuti perintah Kelana. Dia kemudian segera masuk ke dalam mobil.
Dalam hati Kanaya sangat khawatir pada Tiara. Pasalnya ini sudah hampir pukul satu, pasti putrinya itu sedang menunggu kedatangannya. Dia juga bersyukur pada Kelana yang sudi untuk mengantarkannya. Karena mungkin dia akan menyesal jika nekat berkendara sendiri saat hujan seperti ini. Jarak pandang yang begitu tipis juga aspal yang licin, akan sangat berbahaya bagi pengendara motor. Apalagi dia harus membawa Tiara.
Kelana melajukan mobilnya dengan tenang. Kanaya telah memberi tahu alamat sekolahan Tiara. Setelah itu mereka sama-sama diam sampai saat ini.
"Jadi, kamu selama ini keluar bukan untuk membeli makan siang?" tanya Kelana tiba-tiba.
Kanaya sedikit terkejut dengan pertanyaan Kelana karena pikirannya sedang tidak berada di tempat.
"Kamu melamun ya?" tanya Kelana lagi yang tidak mendapatkan respons dari Kanaya.
"Saya mengkhawatirkan anak saya Pak," jawab Naya jujur.
Jujur saja, dia memang berkata apa adanya. Karena ini adalah kali pertama Kanaya terlambat menjemput Tiara.
"Jangan khawatir, kita segera sampai."
Naya mengangguk sambil melirik laki-laki yang sedang fokus menyetir di sampingnya ini. Laki-laki itu terlihat menawan saat sedang menyetir. Bahkan aura ketampanannya sangat jelas terpancar.
Stop Kanaya. Sejak kapan kamu mulai mengagumi manusia kutub ini. Ini tidak benar Kanaya. Bangun Kanaya. Kanaya memarahi dirinya sendiri dalam hati. Konyol memang. Dalam situasi seperti ini bisa-bisanya dia malah terpesona dengan atasannya. Dia mungkin sudah tidak waras lagi.
Tak berapa lama mobil pun sudah sampai di depan sekolahan Tiara. Kanaya dapat melihat Tiara bersama dengan beberapa siswa yang belum dijemput oleh orang tuanya sedang duduk di bangku depan kelas. Kanaya segera turun dengan membawa payung dan langsung menuju tempat Tiara berada. Setelah itu mereka bersama-sama kembali ke dalam mobil. Kali ini Kanaya memilih duduk di kursi bagian tengah bersama Tiara.
"Hallo, Cantik," sapa Kelana sambil menoleh ke arah Tiara yang sudah duduk di samping Kanaya.
"Hallo, Om." Senyum Tiara terlihat jelas ketika membalas sapaan Kelana.
"Maaf, nunggu lama ya, Sayang." Kali ini Kanaya yang berbicara.
"Nggak apa-apa kok, Bun. Kan hujan pasti Bunda juga takut." Tiara tersenyum maklum. Anak berusia lima tahun tersebut kadang terlalu dewasa menurut Kanaya. Karena Tiara bisa menjadi seorang sahabat yang mengerti dirinya.
"Kamu takut hujan?" tanya Kelana ketika mobilnya sudah meninggalkan halaman sekolah Tiara.
Kanaya tidak takut hujan, tapi kejadian lima tahun yang lalu membuatnya sedikit membenci hujan.
"Bunda nggak suka hujan, katanya hujan itu bikin sakit," jawab Tiara polos.
Tanpa sadar senyuman kecil terbit dari sudut bibir Kelana.
"Oh ya, nama Om siapa? Om kan yang waktu itu di mall?" tanya Tiara penasaran karena waktu itu belum sempat bertanya. Walaupun Kanaya sudah memberi tahu siapa nama laki-laki di depan mereka tersebut. Namun, sepertinya Tiara masih belum puas kalau belum bertanya sendiri.
"Nama Om, Kelana. Kalau kamu?" Tentu saja Kelana tahu siapa nama gadis kecil itu, tapi Kelana ingin mendengarnya sekali lagi.
"Tiara Om, Mutiara Kasih Sumitra." Tiara mengucapkan namanya dengan lengkap dan fasih.
Kanaya yang mendengar dan melihat interaksi antara putrinya dan Kelana tak urung sedikit terkejut. Tiara bukan anak yang suka berbicara dengan orang lain. Dia juga pemalu. Selain dengan Siska dan Mahesa, Kanaya belum pernah melihat Tiara bertanya lebih dulu pada orang yang baru saja dikenalnya. Oh ya, jangan lupakan Anji, Tiara juga sempat berinteraksi dengan laki-laki tersebut walaupun hanya sebentar.
"Om teman kantornya Bunda, ya?" tanya Tiara lagi.
Kelana yang melirik sekilas dari kaca spion tengah kemudian menjawab, "Iya, Om teman kantor, Bundanya Tiara."
Tiara manggut-manggut seolah mengerti.
"Bunda, Tiara boleh ikut ke kantor nggak?" tanya Tiara tiba-tiba.
Kanaya belum menjawab ketika suara Kelana terdengar. "Boleh dong, kan ini juga sedang menuju ke kantor."
Kanaya baru sadar jika dia tidak memberi tahu Kelana kalau harus menurunkan Tiara ke rumah tetangganya. Jadi, laki-laki itu pun terus melajukan mobilnya menuju kantor.
"Horeeee...!" Tiara bersorak kegirangan.
Kanaya tersenyum bahagia melihat bagaimana reaksi Tiara. Gadis kecilnya tampak begitu bahagia sekali. Sedangkan Kelana, ada sesuatu yang hangat merambat dalam hatinya. Melihat dua orang perempuan sedang tertawa bersama membuat hatinya juga merasakan kebahagiaan tersebut. Diam-diam dia pun tersenyum.
Sebelum sampai kantor, Kelana mampir sebentar di restoran cepat saji. Setelah memesan beberapa menu makan siang, dia kemudian menyerahkan bungkusan tersebut pada Kanaya.
"Kamu pasti belum makan siang," ucap Kelana setelah menyerahkan sebuah bungkusan makanan lengkap dengan minumannya.
"Ayam goreng ya, Bun?" tanya Tiara setelah melihat isi dari bungkusan tersebut.
Kanaya mengangguk sambil tersenyum.
"Terima kasih, Pak," ucapnya kemudian pada Kelana.
"Iya, sama-sama."
Mobil pun sampai di depan kantor. Setelah menurunkan Kanaya dan Tiara, Kelana langsung memarkirkan mobilnya.
Sedangkan Kanaya memilih masuk duluan bersama dengan Tiara.
Gadis kecil itu langsung menjadi pusat perhatian para karyawan. Karena sudah lama Tiara tidak pernah main lagi ke kantor. Setelah itu Kanaya mengajak Tiara ke pantry. Dia ingin menemani putrinya makan siang sekaligus mengisi perutnya sendiri.
Tangannya dengan cekatan mengeluarkan satu per satu bungkusan makanan dari dalam paper bag. Kanaya kemudian ingat dengan Kelana. Laki-laki itu mungkin juga belum makan siang.
Setelah membantu Tiara membuka nasi dan menaruh ayam goreng. Dia kemudian mengambil satu bungkus hamburger dan segelas minuman.
"Tiara makan dulu ya. Bunda mau ngasih ini ke Om tadi," ucapnya sambil memperlihatkan makanan dan minuman yang dia bawa.
Tiara mengangguk sambil terus melanjutkan makannya.
Kanaya bergegas menuju ruangan Kelana. Gara-gara dia, atasannya itu terlambat makan siang.
"Maaf, Pak. Mengganggu," ucapnya setelah masuk kemudian melangkah mendekat ke arah meja Kelana, lalu meletakkan makanan dan minuman yang dibawanya di sana. "Bapak pasti belum makan siang?"
Kelana menatap hamburger dan minuman di atas mejanya, kemudian beralih pada Kanaya.
"Kamu sudah makan?" tanya Kelana kemudian.
"Saya akan makan setelah dari sini Pak," jawab Kanaya.
Kelana mengangguk.
"Terima kasih Pak karena sudah mengantar saya menjemput Tiara dan terima kasih juga untuk makanannya. Silakan dinikmati. Saya permisi dulu."
Setelah mengucapkan kalimat tersebut Kanaya keluar dari ruangan Kelana untuk kembali ke tempat Tiara.
Kelana masih mematung setelah kepergian Kanaya. Dia melihat kembali burger dan minuman di atas mejanya. Sebenarnya dia tidak suka makanan cepat saji, maka dari itu Kelana memberikan semua pada Kanaya. Namun, wanita itu malah menyisihkan dan mengantarkan ke dalam ruangannya.
Laki-laki itu kemudian menarik napas, lalu mengambil burger tersebut. Setelah itu dia mulai mengigitnya. Rasanya aneh, tapi entah kenapa dia tetap memakannya sampai habis.
Kelana tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, tapi apa pun yang berkaitan dengan Kanaya, dia mulai menyukainya. Termasuk hamburger yang baru saja dimakannya.
*****
"Cinta itu menyatukan perbedaan bukan hanya persamaan."
~veaaaprilia
*****
Hallo semuanya
Selamat sore....
Oh ya, jadi hari ini habis mati lampu dari jam 11 dan baru hidup sekarang. Alhamdulillah saya langsung cap cus update.
Oh ya, jam update saya itu sore hari, jika saya tidak update sampai malam berarti hari itu tidak bisa update karena mungkin ada halangan jadi nggak usah ditunggu ya.
Happy reading
Vea Aprilia
Selasa, 18 Desember 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top