Ketujuh
Kanaya sudah memesan tiket kereta api untuk pergi ke Jakarta pada hari Sabtu. Dia akan meminta pulang lebih awal agar bisa naik kereta sesuai jadwal keberangkatan yaitu pukul 13:15 WIB. Jam kerjanya akan selesai pukul 15:00, jadi dia akan minta pulang sekitar pukul 11:30 siang.
Masih ada sedikit waktu sekitar satu jam untuk bersiap-siap. Dia tidak mungkin naik kereta pada sore hari. Karena akan sangat malam ketika tiba di Stasiun Pasar Senen dan juga kasihan Tiara. Dan sekarang Naya mempunyai misi untuk minta izin pulang cepat pada hari Sabtu. Entah diizinkan atau tidak, Naya akan tetap pulang pada jam yang sudah dia rencanakan.
"Maaf Pak, boleh mengganggu sebentar?" tanya Naya dengan hati-hati sesaat setelah masuk ke ruangan Kelana.
"Ada apa?" tanyanya setelah mengalihkan fokus pada layar komputernya ke arah Kanaya.
"Saya ingin minta izin."
"Lagi?" tanya Kelana dengan mata menyipit.
"Saya harus berangkat ke Jakarta pada hari Sabtu, jadi kalau bisa saya pulang pukul sebelas," jelas Kanaya.
"Kamu naik apa?"
"Huh?"
"Saya tanya kamu ke sana naik apa?" ulang Kelana dengan lebih jelas.
"Kereta api, Pak."
"Berangkat jam berapa?"
"Jam satu lewat lima belas menit."
"Itu kamu atau kereta?"
"Kereta, Pak."
Setelah itu suasana menjadi hening
Tidak ada yang berbicara, hanya sedikit suara berisik dari luar yang bisa didengar.
"Untuk apa kamu pergi ke Jakarta?" tanya Kelana lagi.
Kanaya sebenarnya sedikit bingung. Kenapa atasannya begitu ingin tahu, bukankah cukup dia mengizinkan atau tidak. Bukan malah mengintrogasinya seperti ini.
"Menjenguk saudara, Pak."
"Sakit?"
"Bukan Pak, habis melahirkan."
"Sama siapa?"
"Apa Pak?"
"Sama siapa kamu ke sana?" Kelana sedikit meninggikan nada suaranya.
"Anak saya, Pak."
Sumpah demi kolor superman yang tidak pernah ganti warna. Laki-laki di depannya ini benar-benar menyebalkan. Kanaya seperti anak sekolah yang baru saja berbuat salah lalu diintrogasi di ruang BK.
"Kalau saya tidak memberikan izin, apa kamu akan tetap pulang pada jam itu?"
Sial. Rencananya ternyata sudah dibaca dengan baik. Laki-laki ini mungkin punya bakat membaca pikiran orang lain. Bagaimana dia bisa tahu apa yang ada dalam pikirannya?
"Apa tidak ada jadwal kereta lainnya selain jam itu?" tanya Kelana lagi.
Dosa tidak mengumpat pada atasan? Rasanya Kanaya ingin menyumpah serapah pada laki-laki di depannya ini.
"Ada Pak, setelah magrib."
"Itu ada. Kenapa kamu tidak berangkat pada jam itu saja." Kelana memperbaiki posisi duduknya agar bisa bersandar dengan tangan dilipat di depan dada. Posisi yang semakin membuat Kanaya ingin segera keluar dari ruangan tersebut.
"Saya tidak bisa, Pak."
"Kalau begitu tidak usah datang saja," ujar Kelana dengan enteng.
Jujur saja Kanaya saat ini sudah berusaha mati-matian untuk menahan amarahnya. Kenapa sih Pak Samsul itu harus mengundurkan diri dan masuk partai politik. Harusnya kalau sekarang itu Pak Samsul, beliau malah akan memberikan uang jajan untuk Tiara. Ah, Kanaya rindu Pak Samsul.
"Jadi, bagaimana Pak?" tanya Kanaya seperti tidak mendengarkan ucapan terakhir Kelana.
"Kamu masih punya pekerjaan sekarang?"
Kanaya terlihat bingung sebelum menjawab, "Masih, Pak."
"Kamu boleh pergi."
What?
Dengan berat hati Kanaya keluar dari ruangan Kelana. Di balik pintu, Naya sempat menoleh dan memberikan kepalan tinju ke arah ruangan Kelana. Bagaimana bisa atasannya itu tidak punya perasaan sama sekali. Lagipula pekerjaan hari Sabtu itu tidak terlalu banyak. Pulang tepat waktu hanyalah bentuk dari formalitas semata. Kanaya tidak mengerti bagaimana bisa ada laki-laki sekaku itu. Dia merasa kasihan dengan perempuan yang akan jadi istrinya kelak.
****
Hari ini sudah Jumat dan berita buruknya adalah Kanaya belum mendapatkan izin dari si beruang kutub alias Kelana Wiraatmaja. Tidak ada jalan lain selain menemui General Manajer.
Kanaya sebenarnya malas kalau harus berurusan dengan Pemimpin Umum Perusahaan. Dia dulu biasanya hanya izin kepada Pak Samsul saja. Namun, sepertinya hari ini dia harus berusaha lebih keras lagi.
"Kamu mau ke mana?" tanya suara berat yang Naya kenal sekali. Siapa lagi kalau bukan manusia kutub.
Naya membalikkan badan sebelum tersenyum. Walaupun senyum tersebut sedikit aneh.
"Saya mau ke ruangan Pak Budi," jawab Naya jujur.
"Untuk?" tanya Kelana lagi.
"Minta izin."
"Kamu masih belum menyerah juga ternyata." Kelana menggeleng pelan. "Ikut saya ke ruangan."
"Tapi, Pak," ucap Naya berusaha menolak. Namun, sepertinya Kelana tidak mau dengar alasan apa pun. Jadi, dengan berat hati Kanaya mengikuti langkah Kelana untuk masuk ke ruang kerja laki-laki itu.
"Kamu sudah selesaikan rekaman yang saya berikan?" tanya Kelana dengan nada tegas.
"Sudah, Pak. Bukankah Bapak juga sudah setuju dengan tulisan saya mengenai hasil wawancara tersebut," jelas Naya. Kali ini dia tidak mau diremehkan.
"Benarkah?" tanya Kelana lagi.
Satu lagi yang mungkin harus Kanaya catat. Atasannya itu mempunyai penyakit pikun atau istilah kerennya demensia.
Kemarin Naya sudah menyerahkan artikel tentang wawancara yang dilakukan oleh Kelana tempo hari. Laki-laki itu juga sudah menyetujuinya dan hari ini Naya juga sudah menyerahkan pada pihak layout sehingga besok bisa langsung dicetak. Bagaimana laki-laki ini bisa lupa?
Kelana tampak diam dan menimbang-nimbang. Sedangkan Kanaya sibuk membaca pikiran atasannya tersebut.
"Maaf, Pak. Saya pikir, pekerjaan saya sudah selesai dan besok saya bisa minta izin pulang lebih cepat. Jadi, Bapak tidak punya alasan lagi untuk menahan saya di kantor."
Wow. Naya mengucapkan kalimat tersebut dengan sangat lancar. Mungkin jika Siska juga berada di ruangan tersebut, pasti sahabatnya itu sudah memberikan Naya tepuk tangan.
Kelana hanya diam saja. Dia tidak menunjukkan reaksi apa pun setelah Naya selesai dengan kalimatnya. Laki-laki itu juga tidak terlihat marah atau kesal. Wajahnya masih sama saja. Datar dan sedingin es.
Setelah itu Naya bisa mendengar helaan napas dari laki-laki tersebut.
Kanaya sekarang hanya bisa diam dan menunggu.
"Baiklah. Besok kamu boleh pulang lebih cepat. Tidak perlu minta izin sama Pak Budi, biar saya yang sampaikan."
Mata Naya terbuka lebar. Seakan tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Atasannya memberi izin? Bukankah barusan dia seperti akan menahannya untuk tetap bekerja sampai jam kantor selesai. Kanaya benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran laki-laki di depannya ini.
"Kenapa kamu masih berdiri di sini?" tanya Kelana yang langsung membuyarkan lamunan Kanaya.
"Bapak memberikan saya izin?" tanya Kanaya lagi memastikan. Dia tidak mau kalau yang tadi itu hanya khayalannya saja.
"Kamu tidak mau?"
Kanaya langsung menggeleng dengan cepat. "Tentu saya mau, Pak. terima kasih banyak, Pak."
Setelah itu Kanaya buru-buru keluar dari ruangan Kelana sebelum atasannya itu berubah pikiran.
Setelah beberapa saat kepergian Kanaya, laki-laki itu tersenyum simpul. Kelana berpikir jika Kanaya adalah wanita yang mempunyai sikap tangguh dan pantang menyerah. Wanita yang mampu membuat seorang Kelana Wiraatmaja diam-diam menjadi pengagum rahasianya.
****
Sebuah rasa akan timbul karena terbiasa.
~Kelana Wiraatmaja ~
****
Hallo semuanya....
Cerita ini mungkin agak lambat alurnya, jadi nikmati saja.
Please vote dan komentar yang banyak. Spam juga boleh kok. Biar saya lebih semangat lagi.
Happy reading
Vea Aprilia
Kamis, 06 Desember 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top