KetigapuluhTujuh
"Sayang makan dulu, ya," bujuk Kanaya pada Tiara yang sedang merajuk. Sudah dua hari gadis kecil itu tidak mau sekolah, tidak mau bicara bahkan mogok makan. Puncaknya badan Tiara pun demam.
"Tiara, Sayang... makan trus minum obat, ya?"
Tidak jawaban yang keluar dari bibir kecil Tiara. Gadis kecil itu mengatupkan bibirnya dengan kuat. Selain gerakan menggeleng tidak ada yang dia lakukan.
"Sayang, jangan ngambek terus," bujuk Kanaya lagi, tapi sepertinya tetap tidak mempan.
"Bunda jahat," lirih, tapi Kanaya masih bisa mendengar.
Setelah mengatakan itu, Tiara berbalik, menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.
Hati Kanaya sakit melihat putrinya seperti ini. Dia tidak pernah membayangkan bagaimana reaksi Tiara. Selama ini, dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Semua yang dilakukannya dengan dalih demi kebaikan Tiara, nyatanya malah membuat putrinya terluka.
"Sayang," panggil Kanaya seraya memeluk tubuh putrinya. Sungguh, bukan ini yang dia inginkan.
"Bunda jahat." Setelah itu terdengar isakan dari balik selimut.
Hati Kanaya semakin tercabik. Tanpa sadar air matanya telah membasahi pipi.
"Iya, Bunda memang jahat. Maafin, Bunda ya, Sayang." Kanaya semakin erat memeluk tubuh putrinya.
****
"Pak Lana."
Kanaya terkejut melihat atasannya sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Sudah dua hari, dia izin tidak masuk kerja disebabkan Tiara yang sedang merajuk.
"Aku datang untuk menjenguk Tiara."
Kanaya mengangguk kemudian mempersilakan Kelana untuk masuk.
"Silakan duduk, Pak."
"Bagaimana keadaan Tiara?" tanya Kelana tanpa basa-basi.
Kanaya tersenyum canggung kemudian menjawab, "Hanya demam biasa, tapi sudah minum obat."
Bohong.
Tiara tidak mau makan apalagi minum obat. Dia merajuk dan mengamuk. Bahkan saat Kanaya menaruh baby fever di kening Tiara ketika tidur, gadis kecil itu langsung membuangnya ketika bangun keesokan harinya.
"Apa terjadi sesuatu?" tanya Kelana penasaran karena saat dia meninggalkan rumah Kanaya dua hari yang lalu, ada Anji.
Kanaya diam. Dia bingung apa harus memberitahu Kelana tentang Tiara yang sudah tahu kalau Anji adalah ayah kandungnya. Gadis kecil itu tidak sengaja mendengar obrolan mereka waktu itu.
Kelana menatap wajah Kanaya dengan sabar. Dia tahu tidak mudah untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Kelana dapat menangkap kegelisahan dan kesedihan serta luka dari mata Kanaya.
"Tiara, sudah tahu."
Cukup.
Satu kalimat dengan tiga baris kata yang singkat, sudah cukup untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi tanpa harus Kanaya bercerita panjang lebar. Dia dapat menebak jika sakitnya Tiara karena gadis kecil itu merasa terkejut.
"Apa Tiara marah?" tanya Kelana hati-hati.
Kanaya mengangguk.
Mereka diam untuk beberapa saat. Kanaya dengan pikirannya, bagaimana membujuk Tiara.
"Boleh aku melihat Tiara?" pinta Kelana seraya mengangguk.
Kanaya berpikir sejenak. Mungkin dengan adanya Kelana, Tiara mau menyudahi aksi merajuknya. Dia kemudian memberikan anggukan.
Kelana tersenyum. Kanaya bangkit, disusul oleh Kelana di belakangnya. Setelah sampai di kamar, Kelana dapat melihat Tiara yang tidur dengan posisi menyamping. Dia kemdian memberikan isyarat pada Kanaya agar boleh mendekat.
Kelana berjalan mendekat, perlahan duduk di tepi ranjang.
"Sayang ... Cantik ...," panggil Kelana lirih sambil menunduk tepat di samping kepala Tiara.
Tidak ada reaksi apa pun dari gadis kecil itu. Kelana menoleh ke arah Kanaya yang tampak sudah frustasi.
"Tiara ... Sayang ...," panggil Kelana lagi. Kali ini dia menyentuh pundak kecil Tiara. Tangannya kemudian ganti menyentuh kening Tiara. Hangat.
"Sayang ... ini ayah Kelana."
"Om bukan ayahnya Tiara."
Satu jawaban yang membuat dua insan membeku di tempatnya. Kelana merasa ada yang kosong dan hilang bersamaan kemudian meninggalkan rasa tidak nyaman dalam hatinya. Mungkin ini yang dinamakan sakit, tapi tidak berdarah. Tidak perlu ditusuk dengan pisau, hanya dengan ucapan seorang gadis kecil sudah mampu melukai hatinya. Namun, Kelana mencoba untuk tetap waras. Dia tidak berhak untuk marah walaupun ada rasa kecewa dalam hatinya karena memang itu faktanya. Kelana bukan siapa-siapa, apalagi sekarang Tiara juga sudah tahu siapa ayah kandung yang sebenarnya.
Kanaya menatap iba ke arah Kelana. Dia sendiri tidak menyangka jika kehadiran Kelana juga ditolak oleh putrinya secara tidak langsung. Kalimat yang baru saja dikatakan oleh putrinya sudah cukup untuk mempertegas jika gadis kecil itu kecewa. Namun, dia tidak pernah membayangkan jika Tiara akan mengucapkan kalimat itu. Tiara terlalu sensitif untuk gadis kecil seusianya.
"Om memang bukan ayah Tiara, tapi om sayang sama Tiara." Kelana mengusap dengan lembut pundak Tiara yang tertutup selimut.
Kelana merasa kecewa, tapi dia tetap mencoba untuk terlihat baik-baik saja.
"Tiara mau ayah yang datang."
Kelana langsung menoleh ke arah Kanaya setelah mendengar ucapan Tiara. Sedangkan Kanaya sendiri merasa kaget dengan permintaan putrinya. Selama dua hari Tiara tidak pernah mengucapkan apa keinginannya, selain berkata kalau bundanya jahat.
"Om akan menelepon ayahnya Tiara, tapi Tiara mau makan dan minum obat dulu, ya," bujuk Kelana.
Bagaiamanpun Kelana tahu jika Kanaya sudah putus asa untuk membujuk Tiara hanya dengan melihat sikap wanita itu. Makan dan minum obat pun pasti sulit walaupun Kanaya memaksa.
Perlahan Tiara berbalik. Mata kecil yang biasanya berbinar ketika melihat Kelana kini seolah meredup. "Om beneran mau telepon ayah?" tanya Tiara dengan mimik wajah sedih dan mungkin hampir menangis.
Kelana mengangguk. Dia kemudian memeluk Tiara. Kelana tidak butuh persetujuan Kanaya untuk menelepon Anji. Sudah cukup hatinya perih melihat keadaan Tiara yang seperti ini. Kalau Kanaya ingin berdebat nanti, dia akan layani. Dia tahu kalau Kanaya adalah tipe wanita yang keras kepala dan tidak mudah setuju dengan pemikiran orang lain. Yang terpenting sekarang adalah kesehatan juga kebahagiaan Tiara. Kalau sampai Kanaya menolak kehadiran Anji, itu artinya ia adalah wanita sekaligus seorang ibu yang egois.
"Sekarang Tiara makan dulu, ya?" bujuk Kelana dengan sabar.
Tiara menggeleng. Kelana bingung melihat reaksi Tiara.
"Telepon ayah dulu," pinta Tiara dengan suara lirih.
Kelana menoleh ke arah Kanaya sembari memberikan isyarat meminta izin. Kanaya mengangguk. Dia tidak peduli dengan apa pun lagi asalkan Tiara mau makan dan minum obat.
Tiara menatap wajah Kelana sambil menunggu. "Om bohong ...."
"Enggak, Sayang." Buru-buru Kelana mengambil ponselnya dari dalam saku. "Om telepon ayahnya Tiara sekarang."
Kelana mencari kontak Anji dan memencet panggilan telepon dengan perasaan yang susah digambarkan. Antara marah, kecewa, sedih. Tetap saja, gadis kecil di sampingnya memilih Anji daripada dirinya.
"Hallo ...," ucap Kelana setelah panggilan tersambung. Belum sempat Kelana mengatakan kalimat lain Tiara sudah merebut ponsel dari tangannya.
"A- Ayah ...." Setelah itu hanya terdengar isakan yang keluar dari mulut Tiara.
Kanaya yang melihat adegan di depannya langsung menutup mulut untuk menahan tangisnya. Dia berbalik, tidak sanggup menatap putrinya yang terlihat terluka. Dadanya terasa sakit sekali seperti dihantam ribuan palu. Dia benar-benar menjadi seorang ibu yang jahat selama ini. Bagaimana bisa, dia tidak selalu menolak untuk membayangkan kebahagian Tiara jika mengetahui siapa ayah kandungnya. Kanaya benar-benar sudah menjadi wanita egois. Omong kosong kalau selama ini dia memikirkan kebahagiaan Tiara, tapi pada kenyataannya, ia tidak pernah tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh putrinya.
Kehadiran seorang ayah.
Hanya itu, tapi Kanaya selalu menolak. Mengukuhkan diri bisa menjadi seorang ibu sekaligus ayah untuk Tiara, tapi lihat sekarang. Tiara terlihat bahagia dalam tangisnya ketika memanggil nama ayahnya.
Cukup. Dia sudah kalah sekarang. Semua sudah digariskan oleh takdir. Sebaik dan sebagus apa pun dia menyembunyikan rahasia, Tuhan pasti selalu punya cara untuk mengungkapnya.
******
Hallo apa kabar semua?
Maaf, karena 2 minggu tidak update.
Satu, karena suami sakit, disusul ibu yang masuk RS. Jadi, saya harus mondar-mandir mengurus keduanya. Setelah itu saya pun ikut tumbang tepat di hari raya.
Sekarang pun saya masih sibuk merawat ibu dan suami karena mereka masih dalam masa pemulihan. Doakan supaya ibu dan suami saya lekas sembuh.
Jika update telat mohon maklum, karena saya menulis di sela-sela waktu senggang saja.
Selamat Hari Kemerdekaan INDONESIA ke-74
MERDEKA!
Vea Aprilia
Sabtu, 17 Agustus 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top