KetigapuluhSembilan
Sekitar pukul sepuluh pagi, Kanaya dan Tiara tiba di bandara Soekarno-Hatta. Ya, mereka baru saja melakukan penerbangan dari Semarang ke Jakarta, setelah tiga hari yang lalu Kanaya membuat janji dengan Tiara.
Tadi pagi, Kelana-lah yang mengantar mereka menuju Bandara. Laki-laki itu pula yang juga memesankan tiket untuk mereka berdua. Sebenarnya, Kanaya ingin menggunakan kereta saja, tapi Kelana ngotot menyuruhnya untuk naik pesawat, mengingat kondisi Tiara yang baru saja sembuh. Sungguh, laki-laki yang baik walaupun sebelumnya, Kanaya sering mengatainya dengan manusia es. Laki-laki yang entah kenapa belum bisa menyentuh hati Kanaya yang sudah lama mati.
"Bunda tahu di mana rumah Ayah?" tanya Tiara setelah mereka keluar dari pesawat dan berjalan menuju pintu kedatangan.
Kanaya menggeleng. "Kita ke rumah Mami Cha-cha dulu, ya?"
Mendengar jawaban Kanaya, bibir Tiara langsung cemberut.
Kanaya dengan sabar membawa putrinya ke dalam pelukannya. "Sayang, bunda nggak tahu rumah ayah, jadi kita ke rumah Mami dulu. Tiara pasti juga capek habis naik pesawat," ucapnya memberikan pengertian.
"Tiara nggak capek kok."
Kanaya mendesah. Sejak kapan gadis kecilnya yang penurut berubah menjadi keras kepala seperti sekarang. Mungkin ini adalah salah satu sifat buruk yang diturunkan olehnya.
"Bunda ...." rengek Tiara. Gadis kecil itu merajuk. Dia berhenti di tengah lalu lalang manusia yang baru saja tiba di bandara. Bibirnya mencebik dengan wajah menunduk.
Kanaya mendesah. Dia lalu berjongkok agar sejajar dengan sang putri. "Sayang, jangan ngambek dong. Ayo kita cari taksi dulu," bujuk Kanaya dengan sabar.
Wajah Tiara mendongak. "Kenapa bukan Ayah saja yang jemput." Bibir Tiara masih cemberut.
Sekali lagi Kanaya mendesah. Bagaimana bisa Anji menjemput jika kedatangan mereka saja dirahasiakan.
"Bunda telepon Ayah saja, supaya jemput," rengek Tiara sambil menarik-narik kemeja yang dikenakan Kanaya.
Kanaya mengangguk.
"Horeee!" Tiara bersorak kegirangan.
"Kita cari tempat duduk dulu, ya?" Kanaya kemudian menuntun gadis kecilnya untuk duduk di sebuah bangku. Tangannya kemudian merogoh ponsel dalam tas. Mengutak-atik sebentar untuk mencari kontak Anji yang dulu sempat diblokirnya.
Kanaya mencoba mengatur debaran jantungnya. Ini adalah kali pertama dia menghubungi laki-laki itu setelah kebenaran tentang Tiara terungkap. Sebelumnya, setiap Anji menelepon selalu diabaikannya.
Lama tidak ada jawaban, membuat Kanaya segera menutup sambungan teleponnya. Dalam hati dia bersyukur karena laki-laki itu mungkin sibuk hingga tidak bisa mengangkat panggilan telepon.
Kanaya menoleh pada Tiara yang sedang memasang wajah ceria. "Maaf, Sayang. Tidak diangkat. Mungkin ayah kamu masih sibuk kerja."
"Yah." Terdengar nada kecewa yang keluar dari mulut kecil Tiara.
"Yaudah, sekarang kita ke rumah Mami Cha-cha dulu, ya?" bujuk Kanaya lagi.
Lama, tapi akhirnya gadis kecli itu memberikan anggukan lemah.
Kanaya tersenyum kemudian menggandeng lengan Tiara untuk meninggalkan bandara.
*****
Taksi online yang ditumpangi Kanaya dan Tiara, akhirnya sampai di depan rumah asri Siska. Di teras terihat Siska sedang menunggu mereka sambil menggendong Satria. Tadi, Kanaya sempat mengirimi pesan pada Siska untuk memberitahu tentang kedatangannya.
"Mami...!" teriak Tiara sambil berlari ke arah Siska.
"Hallo Sayang." Siska langsung berjongkok untuk memeluk Tiara.
"Hallo dedek kecil," sapa Tiara pada Satria yang sedang terlelap.
"Ayo masuk," ajak Siska setelah menatap wajah Kanaya.
"Mami, Tiara mau ketemu Ayah," ucap Tiara dengan penuh semangat.
Sontak ucapan Tiara membuat dua orang wanita dewasa yang masih berdiri, terkejut. Terutama dengan Siska. Wanita itu pun langsung menatap Kanaya untuk mendapatkan penjelasan. Hanya isyarat bibir Kanaya yang berkata maaf sebagai balasan. Memang Kanaya belum sempat memberitahu pada Siska kalau Tiara sudah tahu siapa ayah kandungnya.
"Tiara mau ketemu sama ayah?" tanya Siska masih dengan wajah terkejutnya. Wanita itu pun perlahan duduk di sofa. Tiara yang masih penuh semangat menyusul untuk duduk di samping Siska.
"Iya, Mami. Tiara sekarang punya Ayah. Mami sudah tahu kok orangnya. Itu loh Om yang dulu pernah datang ke sini terus ngenterin Tiara dan Bunda pulang." Gadis kecil itu menjelaskan dengan mata berbinar.
Siska bukannya tidak tahu siapa yang dimaksud, tapi melihat bagaimana wajah Tiara yang begitu bahagia saat menceritakan tentang sosok Anji, membuat hatinya terenyuh. Harus menunggu tujuh tahun untuk melihat bagaimana Tiara tersenyum saat mengingat sang ayah. Siska kemudian melihat ke arah sahabatnya. Sorot matanya mengisyaratkan kekecewaan pada Kanaya. Sudah lama, dia mencoba membujuk wanita egois dan keras kepala itu untuk mengungkapkan tentang ayah kandung Tiara.
"Mami ... Mami ... teleponin Ayahnya Tiara supaya datang dong," pinta Tiara sambil menarik-narik baju Siska.
Dahi Siska mengernyit. Dia melirik curiga ke arah Kanaya.
"Ayah mungkin masih sibuk, Sayang, tadi 'kan udah coba telepon," timpal Kanaya
"Itu 'kan tadi, Bun," balas Tiara tidak mau kalah.
"Yaudah, nanti mami teleponin, ya. Sekarang Tiara temenin Satria bobok, gimana? Tiara masa, nggak kangen sama Satria?"
"Tapi, Tiara mau ketemu sama Ayah," potong gadis kecil itu cepat.
Kanaya hanya mengangkat bahu saat tatapan tajam Siska mengarah padanya.
"Kok Tiara gitu, sih? Maunya ketemu ayahnya aja, padahal Satria juga kangen sama kakaknya yang cantik." Siska berpura-pura memasang wajah cemberut. Bukannya, dia tidak mau segera mempertemukan Tiara dan Anji, tapi ada satu hal yang perlu dijelaskan oleh Kanaya.
Tiara memanyunkan bibirnya. "Yaudah, Tiara temenin dedek bobok dulu, tapi nanti teleponin Ayah, ya?" Gadis kecil masih belum menyerah.
Siska mengangguk kemudian tersenyum.
Setelah menidurkan Satria di ranjang dengan Tiara yang menemani putranya, Siska pun keluar.
"Loe utang penjelasan sama gue," todong Siska langsung.
"Sorry, semua serba kebetulan dan gue masih kacau waktu itu. Tiara juga sempat sakit."
"Jadi benar, Tiara sudah tahu jika Anji adalah ayah kandungnya?" tanya Siska dengan mimik wajah serius.
Kanaya mengangguk.
Siska menarik napas panjang. "Akhirnya, Tuhan memberikan jalan dan membuka hati kamu."
Kanaya tertunduk lemah.
"Jadi, loe mau ketemu Anji sekarang?" tanya Siska.
Kanaya mengangguk.
"Yakin?" tanya Siska serius.
Kanaya mendesah. "Loe lihat sendiri, gimana antusiasnya Tiara untuk ketemu Anji."
Siska bukannya tidak tahu bagaimana perasaan Kanaya saat ini. Sahabatnya itu pasti merasa sangat gundah.
"Oke, gue teleponin Mahesa buat ngasih tahu Anji kalau loe ada di sini."
"Jangan," cegah Kanaya cepat.
Dahi Siska mengernyit. "Kenapa? Bukannya Tiara pengin ketemu ayahnya segera?"
"Tapi, jujur, gue belum siap, Cha."
Siska menarik napas panjang. "Trus loe maunya gimana? Loe bilang Tiara antusias dan gue juga udah lihat sendiri."
Kanaya tampak termenung sebelum bicara, " Setelah Tiara dengar kalau Anji adalah ayahnya, gue langsung usir Anji dan menolak semua panggilannya. Gue juga kirim pesan untuk ngasih waktu buat gue dan Tiara, tapi Tiara ternyata sakit dan terus merengek untuk ketemu ayahnya. Jujur, gue bingung harus bilang apa jika ketemu sama Anji."
Siska merengkuh pundak Kanaya. Mengusap punggung sahabatnya perlahan. "Loe nggak perlu bilang apa-apa. Yang perlu loe lakuin cuma menemani Tiara ketemu sama ayahnya. Ayah yang selama tujuh tidak diketahuinya."
Mata kedua sahabat itu saling menatap. Siska mengangguk. "Loe udah jadi wanita tegas dan kuat selama ini. Jadi, sekarang biarin semua mengalir sebagaimana mestinya. Loe nggak boleh mundur. Ini adalah takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan. Loe cukup menjalaninya. Bukankah kebahagiaan Tiara yang terpenting? Dan Tiara bahagia akan ketemu ayahnya."
Siska kembali memeluk dan mengusap-usap punggung Kanaya, memberikan kekuatan untuk sahabatnya. Dia tahu bagaimana Kanaya menjalani hidupnya selama ini.
*****
Anji tiba di depan sebuah rumah yang beberapa bulan lalu telah memberikannya sebuah kenangan. Rumah yang telah mempertemukannya dengan putri kandungnya untuk pertama kali, walaupun saat itu dia belum menyadarinya. Dan juga sebagai titik awal sebuah rahasia besar terbongkar. Langkah kakinya mantap menuju pintu rumah yang terbuka di depannya. Jantunya semakin berdegup kencang. Hatinya pun berbunga-bunga dengan senyum yang tersungging di bibir. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan putri kandungnya yang selama tujuh tahun baru diketahuinya. Memeluk Tiara dan mendengar langsung sang putri memanggilnya 'ayah'.
Namun, langkah kakinya terhenti saat tiba-tiba melihat Tiara yang muncul di ambang pintu. Gadis kecil itu hanya diam berdiri di sana. Anji pun malakukan hal yang sama, membeku di tempat.
*****
Hallo, apa kabar?
Kalau kabar author lagi sibuk dengan urusan internal jadi nggak bisa fokus nulis. Maaf jika lama update. Makasih karena masih setia nunggu.
HAPPY READING
PELUK CIUM
TIARA DAN ANJI
Minggu, 29 September 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top