KetigapuluhLima

Setelah duduk di lantai keramik halaman masjid yang semakin panas karena matahari yang sudah tinggi. Akhirnya, Kanaya berdiri, mengusap lelehan air mata yang masih tersisa di pipinya. Dia tidak tahu ke mana perginya Anji dan juga tidak peduli. Sekarang dia harus pulang karena tidak mungkin datang ke kantor, sudah terlambat. Namun, sebelumnya dia harus menghubungi salah satu karyawan kantor untuk memberitahu kalau dirinya absen hari ini.

Kanaya berjalan gontai menuju ke arah jalan raya, tapi tiba-tiba ada suara klakson dari belakang. Dia sempat tidak menghiraukan karena sudah berjalan di pinggir. Namun, dia terkejut ketika sebuah mobil berhenti tepat di sampingnya.

Seorang laki-laki keluar dari mobil dan menghampirinya.

"Masuklah, aku akan mengantarmu pulang."

"Pak Lana?" tanya Kanaya bingung sekaligus terkejut. Bagaimana bisa atasannya sampai di tempat ini?

"Masuklah dulu," ajak Kelana untuk masuk ke mobil. Membukakan pintu untuk Kanaya dan menyuruh wanita itu masuk.

Mobil pun bergerak meninggalkan masjid terbesar di Jawa Tengah itu. Masjid yang sudah menjadi saksi sebuah kejujuran yang menyakitkan.

"Bagaimana Bapak bisa sampai di sini?" tanya Kanaya setelah kira-kira lima menit mereka hanya diam saja.

"Maaf, tapi saya mengikutimu karena khawatir."

"Maksud Bapak?" tanya Kanaya meminta penjelasan.

"Saya tadi melihat kamu dan Anji di parkiran kantor, sepertinya Anji memaksamu, jadi saya ikuti kalian."

Mendengar penjelasan Kelana membuat Kanaya terkejut. Itu berarti Kelana mendengar atau mengetahui semuanya.

Tadi pagi Kelana tidak sengaja melihat Kanaya dan Anji di parkiran. Dia merasa penasaran karena melihat Kanaya seperti dipaksa untuk ikut dengan Anji. Maka dari itu, Kelana mengikuti mereka. Jujur, dia tidak ingin ikut campur urusan mereka, tapi saat melihat Anji seperti menyeret lengan Kanaya membuatnya khawatir. Namun, langkah kakinya terhenti saat mendengar sesuatu yang mengejutkan.

"Apa Bapak sudah mendengar semuanya?" tanya Kanaya hati-hati dan sedikit takut.

Kelana menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. "Maaf, saya tadi khawatir jadi ...."

Kelana tidak melanjutkan kalimatnya karena merasa bersalah. Dia kembali fokus pada jalanan di depannya. Kanaya pun memilih untuk diam. Kalimat Kelana yang tidak tuntas sudah cukup untuk menjawab semuanya. Laki-laki di sebelahnya ini juga sudah tahu semuanya. Setelah enam tahun dia sembunyikan semuanya, sekarang seperti tidak artinya. Bahkan orang yang tidak ada hubungan dengan semua ini pun juga tahu.

Tidak ada lagi yang bicara, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Mobil pun terus berjalan hingga tak sadar telah sampai ke sebuah tempat wisata.

"Kita di mana Pak?" tanya Kanaya karena terkejut setelah mobil berhenti, tapi tidak di depan rumahnya.

"Sepertinya kamu butuh menenangkan pikiran untuk saat ini. Mungkin tempat ini bisa membantu."

Kanaya menatap Kelana dengan tatapan tidak percaya. Dia kemudian membuang muka merasa sedang dipermainkan sekarang. Memang dia butuh menenangkan pikiran, tapi bukan berarti datang ke tempat seperti ini.

"Turunlah," ajak Kelana setelah membukakan pintu untuk Kanaya.

"Saya mau pulang, Pak!" tegas Kanaya.

"Kita akan pulang sekalian menjemput Tiara. Sekarang turunlah."

Kanaya menarik napas, percuma dia menolak, toh mereka sudah di tempat ini.  Di tempat wisata yang menyuguhkan pemandangan yang menarik. Udara pun masih segar karena terletak di pegunungan yang masih satu lokasi dengan Candi Gedong Songo.

Kelana dan Kanaya berjalan beriringan. Kelana melirik sebentar ke arah Kanaya yang tampak begitu sedih. Mereka memilih satu spot yang menarik yaitu di sebuah balon udara. Kelana tidak ikut naik, laki-laki itu membiarkan Kanaya menikmati kesendirian. Sedangkan, dia memilih untuk mencari tempat duduk yang tidak terlalu jauh agar bisa melihat Kanaya.

Kanaya melihat pemandangan yang hijau di sekeliling tempatnya berdiri. Menghirup udara pegunungan yang masih segar dalam-dalam sambil memejamkan mata. Dia butuh merilekskan pikirannya untuk saat ini. Setelah ini, mungkin ada banyak sekali masalah yang harus dia hadapi terutama dengan Anji. Dia tidak tahu apa rencana laki-laki itu selanjutnya, tapi yang pasti dirinya harus siap apa pun itu.

Setiap ucapan Anji seperti terngiang kembali. Membuat Kanaya meneteskan airmata lagi. Laki-laki itu benar, dia terlalu takut dengan apa yang belum terjadi. Dan faktanya lagi, dia tidak tahu banyak tentang Anji. Anji juga benar, jika pikirannya terlalu picik, menilai sesuatu dari satu sisi saja. Harusnya dia jujur dari dulu, tapi semua sudah terjadi. Waktu tidak akan pernah terulang kembali. Sekarang yang harus dia hadapi adalah masa depan. 

Kelana memandang Kanaya dari kejauhan. Dia menarik napas dalam-dalam. Bertanya pada dirinya sendiri, apakah yang dilakukan saat ini sudah kelewat batas. Harusnya, dia tidak mendengar mereka berbicara tadi. Tentu saja, dia sangat terkejut saat mendengar jika Anji adalah ayah kandung Tiara. Ada perasaan sakit dan tidak suka saat mengetahui kenyataan itu. Nmaun, tetap saja dia tidak punya hak apa-apa.

Semua cerita tentang Anji dan Kanaya sudah jelas. Dia merasa tidak berhak untuk ikut campur atau memberi nasihat untuk Kanaya. Kelana sadar, dia bukan siapa-siapa, hanya seorang teman yang mengharapkan lebih. Mungkin, hanya sebatas ini yang sanggup dia berikan untuk Kanaya. Wanita itu butuh sandaran, dan terlalu rapuh untuk saat ini. Namun, Kelana merasa jika dia bukan orang yang tepat untuk tempat bersandar bagi Kanaya.

Kelana menengadah. Menatap langit dan bertanya, kenapa semua menjadi seperti ini?

Terlalu rumit, bahkan sampai sekarang dia belum bisa percaya jika Anji-lah ayah kandung Tiara. Dulu, dia begitu bahagia saat Tiara memanggilnya ayah, tapi sekarang, mungkin tidak akan lagi panggilan ayah untuknya. Dia merasa sudah kalah bahkan sebelum berperang. Kelana menghela napas, terlalu lelah untuk memikirkan semua ini. Dirinya saja merasa lelah, bagaimana dengan Kanaya. 

Bertahun-tahun menyembunyikan sebuah kenyataan, pastilah sangat berat. Namun, Kanaya adalah wanita yang sangat kuat. Kelana salut dengan semua pengorbanan Kanaya. Dia juga tidak bisa menyalahkan Kanaya atau pun Anji. Biarlah mereka menyelesaikan urusan mereka tanpa harus dirinya ikut campur.

Kanaya berjalan ke arah Kelana yang duduk sambil menengadah dengan mata terpejam.

"Pak," panggilnya lirih.

Kelana membuka mata. Dia tidak tidur, hanya sedang menata hati dengan menikmati kesunyian dan udara segar.

"Apa kamu baik-baik saja?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga.

"Saya tidak apa-apa. Terima kasih telah membawa saya ke sini." Kanaya duduk di depan Kelana.

"Jika kamu membutuhkan sesuatu, jangan sungkan untuk menghubungi saya."

"Terima kasih."

Kelana tidak tahu harus berkata apa lagi. Mereka kemudian larut dengan pikiran masing-masing. Kelana pun tidak ingin bertanya lebih lanjut tentang kebenaran jika Anji adalah ayah dari Tiara. Dia tidak ingin menambah beban untuk Kanaya. Cukup dengan melihat wanita di depannya terluka saja sudah membuatnya sakit.

*****

Jika ada alur tidak nyambung tolong komen ya.

Cerita ini memang sengaja dibuat dengan alur lambat, jadi yang tidak sabaran, maaf ya.

Selamat membaca.

Salam Hangat

Vea Arpilia

Sabtu, 20 July 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top