KetigapuluhEnam

Setelah mobil Kelana berhenti, Kanaya turun dan langsung berlari ke rumah. Dia berhenti ketika melihat Tiara ada di teras depan bersama dengan Anji. Hatinya merasa lega sekaligus takut, dia pun berjalan ke arah Tiara sambil mengatur napasnya.

"Bunda," panggil Tiara kemudian berlari ke arah Kanaya.

Anji pun bangkit setelah melihat Kanaya. Dia menatap ibu dari anaknya itu kemudian beralih pada Kelana. Ada perasaan tidak suka saat melihat laki-laki itu datang bersama Kanaya.

"Tadi, Om Anji jemput Tiara," celoteh Tiara dengan wajah semringahnya.

Kanaya hanya mengangguk sebagai balasan dan melihat sekilas pada Anji. Dia tadi bersama Kelana langsung ke sekolah Tiara setelah selesai menenangkan diri. Namun, sialnya dia terlalu asik bergulat dengan hati dan pikirannya sendiri hingga tidak menyadari jika sudah terlambat untuk menjemput Tiara. Sampai di sekolah, dia tidak mendapati Tiara dan langsung saja pulang. Nalurinya sebagai seorang ibu, tahu jika Tiara sudah berada di rumah dan dia juga sudah tahu dengan siapa. Anji. Laki-laki itu pasti sudah menjemput Tiara.

"Bunda sama siapa?" tanya Tiara kemudian memiringkan kepalanya. 

"Ayah," teriaknya setelah melihat Kelana berdiri di di sebelah pagar.

Bocah cilik itu langsung berlari ke arah Kelana dan memeluk laki-laki itu.

Mendengar Tiara memanggil Kelana dengan sebutan ayah membuat darah dalam tubuh Anji mendidih. Ditambah interaksi antar keduanya membuat api cemburu dalam hatinya berkobar. Seharusnya, gadis kecil itu memanggilnya ayah bukan malah mengakui orang lain sebagai ayahnya. 

Tidak sanggup melihat Tiara yang sedang bermanja dengan Kelana. Anji melemparkan tatapan tidak senang pada Kanaya. 

"Hebat ya, berkencan sampai lupa pada anak," sindir Anji telak.

Kanaya yang mendengarnya langsung memberikan tatapan tajam. "Jaga mulut kamu, ya!"

Anji mendengkus. "Kalau kamu sudah tidak sanggup merawat Tiara, biarkan aku saja."

Emosi Kanaya seakan tersulut dengan perkataan Anji. Dia semakin menatap tajam Anji. Punya hak apa laki-laki di depannya ini mengucapkan hal itu padanya.

"Kamu tidak punya hak untuk mengatur hidup aku dan Tiara. Dan sampai kapan pun, aku tidak akan melepaskan Tiara. Kamu tidak punya hak apa pun!" tegas Kanaya.

"Kamu lupa jika aku ini ayahnya," desis Anji dengan senyuman miring yang menghiasi bibirnya.

Kelana berjalan mendekat sambil menggendong Tiara. Dia bisa mendengar mulai ada pertengkaran antara Kanaya dan Anji.

"Bawa Tiara masuk dulu sepertinya dia ngantuk." 

Suara Kelana menginterupsi keduanya. Kanaya buru-buru mengambil alih Tiara dari gendongan Kelana. Dia segera membawa masuk anaknya.

Kini tinggal dua orang laki-laki yang terlihat bukan lagi sebagai sahabat, tapi sudah seperti musuh.

"Bagaimana rasanya berkencan?" tanya Anji dengan nada tidak suka.

"Itu bukan urusanmu," balas Kelana sengit.

Anji mendengkus. "Kamu pasti bangga bisa dipanggil 'ayah', padahal kamu bukan siapa-siapa."

Kali ini kedua tangan Kelana terkepal. Entah kenapa dia tidak suka dengan semua ucapan yang keluar dari mulut Anji.

"Lalu siapa yang pantas dipanggil ayah?"

Pertanyaan Kelana begitu menohok. Tangan Anji ikut mengepal. Jelas dirinyalah yang pantas dipanggil ayah oleh putri kandungnya sendiri.

"Kamu tidak tahu apa-apa dan tidak usah ikut campur," tegas Anji dengan nada yang penuh penekanan.

Kelana menarik sudut bibirnya kemudian berkata, "Aku memang tidak berniat ikut campur, tapi jika terjadi sesuatu yang buruk pada Tiara atau Kanaya, maka aku akan ikut campur."

Anji mendengkus sekali lagi. "Pasti Kanaya sudah menceritakan semua."

"Tidak. Dan aku tidak tertarik."

Dahi Anji mengernyit. Pikirannya dipenuhi banyak pertanyaan. 

"Apa kamu berniat menikahi Kanaya?" tanya Anji dengan mimik wajah serius dan penuh rasa penasaran yang terlihat jelas di sana.

"Pak Lana  sebaiknya pulang saja," sela Kanaya yang baru saja muncul di depan rumahnya setelah menidurkan Tiara, "ada yang ingin saya bicarakan berdua dengan Pak Anji."

Kelana hendak menolak, tapi melihat situasi yang ada, dia akhirnya mengangguk kemudian berpamitan.

Setelah kepergian Kelana. Kanaya masuk dan duduk di kursi ruang tamu. Tak berapa lama Anji muncul dan duduk tak jauh dari Kanaya.

"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Anji tanpa ingin berbasa-basi lagi.

"Apa sih mau kamu?" Bukannya menjawab pertanyaan Anji, tapi Kanaya malah ganti bertanya.

Anji tertawa kecil seolah pertanyaan Kanaya adalah sesuatu yang lucu.

"Apa kamu sudah memberitahu Tiara kalau kamu adalah ayah kandungnya?" tanya Kanaya yang terlihat penasaran juga diliputi sedikit rasa takut.

Rahang Anji mengetat, sangat tidak suka dengan pertanyaan Kanaya. Apakah seburuk itukah dirinya di mata Kanaya. Sehingga mengungkapkan kalau dia adalah ayah kandung Tiara pun tidak boleh.

"Apa kamu takut?"

Jujur. Kanaya sangat takut, tapi Tiara juga berhak tahu apa yang sebenarnya.

"Kay ... Kay ... apa kamu pikir aku serendah itu? Seburuk itu?"

Kanaya melengos.

"Seharusnya aku yang marah dan kesal dengan kamu. Kamu membiarkan Tiara memanggil orang lain ayah, tapi kamu takut kalau Tiara tahu, aku adalah ayahnya. Kamu benar-benar picik, Kay."

Anji sudah terlalu kesal dengan sikap Kanaya. Dia bukan laki-laki pengecut dan tidak bertanggung jawab, tapi kenapa Kanaya seolah tidak mau memberi kesempatan untuknya. Dirinya bahkan bahagia ketika mengetahui jika Tiara adalah anak kandungnya. Namun, dengan sekuat tenaga dia menahan mulutnya untuk tidak mengatakan kebenaran jika dirinya adalah ayah kandung Tiara di depan gadis berumur enam tahun itu. 

"Lalu sampai kapan kamu akan merahasiakan semua ini?" tanya Anji lagi masih dengan sisa-sisa rasa kesalnya. "Sampai kapan kamu siap untuk memberitahu Tiara?"

Kanaya diam. Dia tidak tahu kapan dirinya akan siap. Pastinya, bukan sekarang.

"Kamu benar-benar egois, Kay."

"Aku akan memberitahu Tiara, tapi bukan sekarang."

Jawaban Kanaya dibalas tawa cemooh oleh Anji. "Aku ayahnya, Kay. Aku punya hak atas anakku yang kamu sembunyikan selama ini. Kalau kamu tidak siap, biar aku sendiri yang memberitahu Tiara."

"Om Anji, ayahnya Tiara?"

Suara gadis kecil yang berasal dari depan kamar menyadarkan keduanya. Empat mata yang sejak tadi saling menunjukkan rasa kesal berubah menjadi terkejut. Ternyata, mereka tidak berdua, tapi bertiga entah sejak kapan.

Gadis kecil itu menatap kedua orang dewasa di depannya dengan bingung. Tadi, dia memang tertidur, tapi kemudian terbangun karena mendengar suara berisik.

Kanaya segera bangkit dan berlutut di depan Tiara, memeluk putri kesayangannya. Tidak. Tidak mungkin Tiara mendengar semuanya. Kalaupun mendengar, Tiara pasti tidak akan paham.

"Sayang, Tiara kok bangun, sih?" tanya Kanaya dengan suara gugup sambil merapikan rambut lurus putrinya.

Tiara tidak menjawab, tapi tatapannya tertuju pada Anji. Laki-laki yang kini berdiri tak jauh dari mereka.

"Bunda, beneran ayah Tiara itu Om Anji?" tanya Tiara lagi sambil mengarahakan telunjuk mungil kepada Anji.

Kanaya semakin gelagapan ditanya seperti itu. Sementara Anji memilih untuk diam. Dia ingin Kanaya-lah yang menjawab sendiri pertanyaan Tiara.

"Bunda kok diam aja sih?" protes Tiara yang sudah mulai kesal.

"Tiara ... Tiara ... bobok lagi ya, Bunda kelonin," bujuk Kanaya. Dia benar-benar belum sanggup mengungkapkan semuanya sekarang. Kanaya butuh waktu.

"Bunda jawab dong?" Tiara tetap kekeh ingin mendengar jawaban dari Kanaya.

"Sayang, kita bobok lagi, ya?" Kanaya tetap berusaha membujuk Tiara.

"BUNDA JAHAAAAT!!" Satu jeritan dari Tiara membuat Kanaya dan Anji terkejut. Gadis kecil itu langsung berlari ke dalam kamar kembali.

Sedangkan Kanaya hanya mampu terdiam di depan kamar. Selesai sudah semua. Dia tidak bisa lagi berbohong atau mengelak. Apa yang sudah dimulainya harus dia selesaikan sekarang juga.

*****

Puk... Puk...  Tiara sini-sini tante peluk. 😘

Happy Reading

Vea Aprilia
Sabtu, 27 July 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top