KetigapuluhEmpat
Kanaya baru saja memarkir sepeda motornya di halaman kantor, tapi dia dikejutkan oleh sebuah cengkeraman di lengan kanannya.
"Apa-apaan sih kamu. Lepasin," pinta Kanaya sambil mencoba melepaskan lengannya.
"Kita perlu bicara."
"Tidak ada yang perlu kita bicarakan," tolak Kanaya dengan tegas.
"Ada. Ini tentang Tiara."
****
Kanaya mengernyit ketika mobil yang ditumpanginya berbelok masuk ke dalam sebuah area masjid terbesar di Jawa Tengah. Diliriknya laki-laki yang kini sedang menyetir di sebelahnya dengan tatapan penasaran dan marah. Untuk apa dirinya dipaksa ikut ke masjid.
Sedangkan laki-laki di sebelahnya tampak sedikit berbeda. Entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi sejak masuk ke dalam mobil, laki-laki itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Kanaya juga memilih untuk diam.
Mobil pun sudah terparkir di tempat yang disediakan. Laki-laki itu pun turun kemudian membuka pintu samping.
"Turun," perintahnya membuat Kanaya sedikit jengah.
Bunyi pintu mobil yang tertutup dengan kasar membuat Kanaya sedikit terlonjak. Belum selesai rasa terkejutnya, tangan Kanaya sudah ditarik masuk ke area masjid.
"Lepasin! Apa-apaan sih kamu!" teriak Kanaya sambil terus meronta, tapi sia-sia karena tenaga laki-laki itu lebih kuat darinya.
Sepatu laki-laki itu dilepas serampangan sebelum menginjak lantai keramik di halaman masjid.
"Cepat lepas sepatu kamu," perintahnya.
Kanaya bergeming. Dia tidak mengindahkan perintah laki-laki itu. Dia masih mencoba menyentakkan tangannya agar terlepas.
"Apa sih mau kamu?" tanya Kanaya dengan suara yang keras.
"Kita menikah."
Bagai disambar petir di siang bolong. Tubuh Kanaya langsung membeku. Belum juga dia mencerna perkataan laki-laki itu, kakinya sudah dilucuti. Kini kaki telanjangnya telah menginjak lantai keramik.
Seolah tidak peduli lagi dengan keterkejutan Kanaya, laki-laki itu membawa Kanaya berjalan untuk masuk.
"Lepasin!" teriak Kanaya, tapi tetap saja tidak berguna.
"Satya, lepasin!"
Mendengar namanya dipanggil, laki-laki itu pun berhenti. Ya, laki-laki yang memaksa Kanaya untuk ikut dengannya adalah Satya. Anji Satya Wiraguna.
"Kamu sudah gila!" teriak Kanaya frustasi.
Anji masih diam saja. Namun, ada gemuruh dalam dadanya yang ingin segera dia keluarkan. Tadi malam dia langsung mencari tiket penerbangan ke Semarang. Dia merasa marah. Merasa dibohongi selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, Anji ingin mendengar semuanya langsung dari mulut Kanaya.
Sebenarnya Anji hanya mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Mahesa. Rasa penasarannya pun memuncak. Dia pun bertanya, tapi bukannya mendapat jawaban, malah Mahesa menyuruhnya untuk bertanya langsung pada Kanaya.
"Mengakui apa?"
"Sebaiknya kamu tanyakan langsung pada Kanaya."
Begitulah jawaban dari Mahesa dan laki-laki itu langsung menyeret istrinya pergi, bahkan sampai pulang kerja pun Anji tidak bertemu dengan mereka lagi. Ponsel Mahesa dan Siska pun seolah kompak dimatikan. Namun, sekitar pukul sembilan malam, dia mendapatkan sebuah pesan.
Temui Kanaya jika Pak Anji penasaran dengan asal-usul Tiara. Tiara mungkin akan senang bertemu dengan ayah kandungnya.
Sebuah pesan yang menjadi jawaban dari pertanyaannya selama ini walaupun dia juga terkejut. Namun, otaknya masih mencoba mencerna sedikit demi sedikit, apakah semua itu benar. Dia tidak bisa percaya begitu saja, tapi mengingat fakta dan semua kecurigaannya, Anji sudah tidak bisa berpikir lagi. Jalan satu-satunya adalah menemui Kanaya dan mencari tahu semuanya. Dan, di sinilah dia berada. Di Masjid Agung Jawa Tengah.
"Kamu sudah gila," maki Kanaya yang sudah kehilangan kesabarannya.
"Ya, aku memang sudah gila," jawab Anji dengan tatapan yang tajam.
Mereka kini berada di tengah pelataran masjid, di bawah payung raksasa. Untung saja masih pagi jadi tidak banyak orang yang akan melaksanakan ibadah.
"Apa sih yang kamu inginkan?" tanya Kanaya lagi, kali ini dia sudah bisa menguasai emosinya.
"Kita menikah."
Jawaban Anji sontak membuat emosi Kanaya naik lagi. Dia tadi mau mengikuti Anji karena tidak ingin menjadi tontonan karyawan kantor dan lagi Anji juga mengatakan jika dia ingin berbicara serius tentang Tiara. Tentu saja, ada rasa penasaran sendiri ketika itu menyangkut soal Tiara. Apalagi Anji baru saja mengajak Tiara jalan-jalan. Alarm di otak Kanaya berbunyi. Dia menduga jika Anji mungkin mengetahui sesuatu.
Kanaya menarik napas panjang dan membuangnya kasar. "Kamu benar-benar sudah tidak waras."
Kanaya menyentakkan cengkeraman tangan Anji hingga terlepas. Dia pun berbalik untuk pergi. Percuma saja jika mereka terus di sini, yang ada mungkin malah jadi sebuah pertengkaran dan tontonan untuk umum.
"Ya, aku memang sudah tidak waras," teriak Anji, "karena tahu, Tiara adalah anakku."
Langkah kaki Kanaya terhenti seketika. Tubuhnya terasa dipasung. Dia mencoba menelan ludah. Mencoba mengatur detak jantungnya yang malah semakin cepat. Kedua tangannya terkepal. Apa yang ditakutinya selama ini akhirnya terjadi juga.
"Apa itu benar?" tanya Anji yang kini sudah berada di belakang Kanaya dan dengan sekali sentak tubuh Kanaya pun berbalik menghadap padanya.
"Jawab Kay!" teriak Anji yang membuat Kanaya berjingkat.
"Kenapa kamu diam saja?" tanya Anji lagi, tapi kali ini suaranya sedikit melunak.
Kanaya ingin menjawab bahkan berteriak jika semua itu bohong. Dia ingin menolak semua pernyataan Anji, tapi entah kenapa hatinya merasa sakit. Dirinya sudah tidak sanggup lagi menutupi semua kenyataan yang ada. Bahkan otaknya sudah tidak sanggup berpikir dari mana Anji mengetahui hal itu.
"Kenapa kamu diam saja?!" teriak Anji lagi.
Wajah Kanaya mendongak. Matanya langsung bersirobok dengan manik hitam milik Anji.
"Kalau benar kamu mau apa?" tantang Kanaya. Entah dari mana dia mendapatkan kekuatan itu. Namun, hati kecilnya berkata mungkin ini saatnya dia harus berkata jujur. Dia tidak peduli lagi dengan reaksi Anji.
Tangan Anji yang tadi memegang kedua lengan Kanaya perlahan luruh.
"Kenapa? Apa kamu terkejut?" tanya Kanaya sinis.
"Jadi, benar Tiara adalah anakku?" tanya Anji dengan suara bergetar.
"Tidak perlu aku mengulanginya. Sekarang kamu sudah tahu, jadi semua terserah padamu. Tapi, tenang saja aku tidak akan menuntut apa pun."
Mendengar perkataan Kanaya membuat ego lelaki Anji tersentil. "Apa maksudmu?"
"Terserah kamu mau mengakuinya atau tidak."
Emosi Anji tersulut. Dia kembali meraih lengan Kanaya dan mencengkramnya dengan kuat. "Apa maksud kamu dengan mengatakan semua itu? Apa kamu pikir aku adalah laki-laki pengecut?"
Kanaya diam.
"Sekarang jawab dengan jujur. Apa benar hubungan satu malam kita menghasilkan Tiara?"
Kanaya mendengkus sebelum berbicara, " Ya, aku hamil setelah malam itu."
"Kenapa kamu tidak pernah bicara?!" teriak Anji tepat di depan wajah Kanaya.
Mata laki-laki itu terlihat terluka.
"Apa kamu pikir aku tidak akan bertanggunng jawab, hah?"
Kanaya memejamkan matanya seraya mencoba menenangkan gejolak dalam hatinya.
"Kamu akan bertunangan waktu itu, lalu aku harus bicara kalau aku sedang hamil, begitu?" Kanaya balik berteriak.
Kali ini Anji yang memejamkan mata. Menarik napas dan membuangnya kasar. "Bukankah aku sudah pernah bilang, akan menikahimu, tapi kamu menolaknya mentah-mentah ?"
"Karena ...." Lidah Kanaya kelu, dia seperti kehabisan kata-kata.
"Karena apa?" cecar Anji.
"Karena aku belum tahu kalau akan hamil waktu itu."
Anji membuang napas. Menyisir rambutnya kasar. Berjalan gontai ke arah tiang payung raksasa.
"Seharusnya kamu jujur kalau tahu hamil," ujar Anji menoleh ke arah Kanaya.
"Terus kamu mau batalin pertunangan kamu?" tanya Kanaya yang juga sudah tersulut amarah sejak tadi.
"Apa kamu pikir aku tidak bisa melakukan itu? Kamu terlalu picik menilaiku, Kay."
Kanaya kembali terdiam. Anji benar, dia telah salah menilai laki-laki itu. Dia terlalu takut pada angan-angannya sendiri.
"Apa kamu pikir aku laki-laki pengecut yang mau lepas tanggung jawab begitu saja?"
Anji menatap lurus ke wajah Kanaya yang menunduk.
"Aku tidak serendah itu Kanaya. Walaupun aku sering gonta-ganti pasangan, tapi aku tidak sepicik seperti yang ada dalam otakmu." Jari telunjuk Anji menunjuk kening Kanaya.
"Lalu bagaimana dengan nama baik keluargamu?" Kanaya tidak ingin kalah. Dia punya alasan jika mungkin keluarga Anji tidak akan setuju.
Anji mendengkus. "Sebenarnya apa yang kamu takutkan? Apa kamu takut keluargaku tidak akan setuju?"
Kanaya tidak membalas, tapi melemparkan tatapan tajam.
Terdengar kekehan yang keluar dari mulut Anji. "Kebanyakan wanita akan menuntut pertanggungjawaban, tapi kamu malah menyembunyikan semuanya. Kamu terlalu pintar atau terlalu bodoh?"
"Kamu jangan berputar-putar, benar bukan jika keluargamu tidak akan setuju?"
Anji kembali terkekeh. "Kamu tahu kenapa aku menikah? Itu karena orang tuaku ingin aku berubah, menjalin hubungan yang serius. Mereka tidak peduli dengan siapa, asalkan aku menyukainya. Dan pilihan pertama itu adalah kamu," Anji menunjuk Kanaya "tapi ... kamu menolaknya."
Kanaya tertunduk. Dia tidak tahu harus membalas apa.
"Kamu menganggap aku hanya main-main, bukan?"
Setelah itu tidak ada lagi yang bicara. Mereka berdua larut dalam pikiran masing-masing. Hingga lima menit berlalu, suasana masih hening.
Anji menarik napas panjang dan membuangnya. Percuma dia meneruskan pembicaraan mereka yang sudah menjurus pada pertengkaran. Menatap Kanaya yang masih diam di tempatnya.
"Aku bahagia mengetahui bahwa Tiara adalah anakku, jadi mulai sekarang jangan halangi aku untuk ketemu dengan anakku sendiri," ucap Anji dengan suara lebih lunak, tapi tetap tegas.
Anji mulai melangkah meninggalkan Kanaya. Namun, baru tiga langkah dia berbalik. "Dan satu lagi aku serius untuk mengajakmu menikah, dulu, sekarang dan sampai kapan pun."
Kanaya masih berdiri di tempatnya ketika sosok Anji sudah menghilang. Namun, tak berapa lama tubuhnya pun luruh di lantai. Bendungan air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya tumpah juga. Dia menepuk-nepuk dadanya sendiri yang terasa sesak. Hatinya tetap sakit walaupun dia sudah mencoba untuk kuat. Kejujuran kadang memang menyakitkan.
Kanaya tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Apakah dia harus mengatakan kebenaran pada Tiara secepatnya?
*****
Nah, sudah terjawab semua. Terserah kalian menilai bagaimana mereka karena saya membuat karakter tokoh itu tidak ada yang sempurna. Seperti manusia pada umumnya yang punya kelebihan dan kekurangan. Dan saya mencintai semua karakter di setiap cerita yang saya buat.
Untuk #teamAnji atau #teamKelana terima kasih masih setia mensuport cerita ini. Saya tidak bisa menjajikan Kanaya dengan siapa. Mungkin salah satu dari mereka, tapi mungkin bukan keduanya. Namun, satu yang pasti Tiara harus bahagia.
Terima kasih untuk vote dan komentarnya. Semakin banyak komentar, semakin membuat saya semangat.
Salam Hangat
Vea Aprilia
Sabtu, 13 July 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top