KetigapuluhDua

Kanaya menatap Tiara yang sudah terlelap di ranjang dengan perasaan campur aduk. Antara lega dan juga takut. Beberapa kali juga wanita berumur tiga puluhan itu mengusap wajahnya. Menarik napas panjang lalu membuangnya. Kejadian tadi siang benar-benar membuatnya hampir gila. Jika benar Tiara diculik mungkin dia sudah tak ingin hidup lagi. Hanya Tiara bagian berharga dalam hidupnya. Untunglah Tiara bersama Anji, tapi itu juga menjadi masalah bagi Kanaya sekarang. 

Apa yang ditakutkan Kanaya akan benar-benar terjadi. Anji membawa Tiara pergi. Mungkin hari ini laki-laki itu masih mengembalikan putrinya, tapi jika Anji tahu yang sebenarnya, akankah Tiara akan pulang ke dalam pelukannya kembali. Kanaya tidak tahu.

Perlahan jemari Kanaya mengusap pelan wajah Tiara kemudian menunduk untuk mencium keningnya. Ikut merebahkan diri lalu memeluk tubuh mungil putri tercintanya. Sedangkan air mata yang sedari tadi ditahannya kini sudah membasahi pipi. Sungguh Kanaya tidak sanggup jika harus berpisah dengan Tiara.

"Sayang, jangan tinggalin Bunda ya? Bunda nggak akan bisa hidup tanpa kamu," lirih Kanaya semakin mempererat pelukannya. Mendaratkan ciuman berulang kali di puncak kepala Tiara. 

Setegar dan sekuat apa pun Kanaya di luar, dia tetaplah wanita yang rapuh di dalam. Apalagi jika itu sudah menyangkut Tiara. 

"Jangan pergi tanpa izin dari Bunda lagi, ya? Bunda takut kehilangan kamu," gumamnya semakin terisak.

****

"Gue takut kalau Anji bawa pergi Tiara, Cha," ujarnya dengan suara serak sambil sesekali mengusap air matanya yang masih saja keluar. Kanaya tidak bisa tidur. Ada perasaan takut jika matanya terpejam sebentar saja, Tiara akan menghilang. Akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi Siska. Hanya sahabatnya itu yang mau mendengarkan keluh kesahnya dan Siska juga satu-satunya orang yang tahu rahasianya. Baru saja Kanaya menceritakan tentang kejadian tadi siang.

"Gue nggak tahu harus bilang apa, Nay. Gue nggak tahu jika Anji bakalan senekad itu untuk membawa Tiara tanpa izin dari loe. Kalau gue jadi loe, gue nggak cuma nampar aja, tapi udah gue laporin ke polisi." Wanita satu anak itu menjadi emosi setelah mendengar cerita Kanaya. Ingin sekali Siska memeluk sahabatnya saat ini, tapi jarak mereka terlalu jauh. Hanya bisa menyalurkan rasa pedulinya lewat telepon.

"Loe yang sabar, ya," sambungnya.

"Gue nggak mau kehilangan Tiara, loe tahu kan? Gue takut, Cha." Kanaya kembali terisak.

Siska tiba-tiba ingat jika Anji pernah mengintrogasinya tentang asal usul Tiara. Namun, dia ragu untuk mengatakannya saat ini pada Kanaya. Ibu satu anak itu takut jika akan malah membuat Kanaya kepikiran.

"Cha, loe masih di sana kan?" tanya Kanaya karena tidak mendapat balasan dari Siska.

"Iya-iya gue masih di sini," jawab Siska kelagapan karena memikirkan kejadian waktu bersama Anji.

"Loe ada masalah? Sorry, kalau gue malah ganggu loe," ucap Kanya merasa bersalah.

"Gue baik-baik saja, cuma ada sesuatu yang mengganggu pikiran gue."

"Apa?"

"Tapi, loe janji jangan panik?"

"Maksud loe?" tanya Kanaya bingung.

"Ini soal Tiara."

"Tiara?" Kanaya buru-buru menghapus air matanya. "Ada apa dengan Tiara?"

"Loe jangan panik, oke?" pinta Siska dengan hati-hati. "Dengerin baik-baik gue ngomong, oke?"

"Oke," balas Kanaya patuh. Dia jadi penasaran apa yang akan Siska bicarakan. Apalagi tentang Tiara.

Siska menarik napas panjang sebelum berbicara. Wanita itu harus merangkai kata agar Kanaya tidak terkejut walaupun itu tidak mungkin. Pasti sahabatnya akan kaget jika mendengarkan apa yang akan dia katakan.

"Sebelum hari ulang tahun Tiara, Anji pernah manggil gue ke ruangannya."

Kanaya menelan ludah. Perasaannya mulai tidak enak, tapi dia masih ingin mendengar apa yang akan Siska katakan.

"Gue pikir masalah kerjaan, ternyata bukan." Terdengar kembali tarikan napas dari Siska.

"Terus?" tanya Kanaya semakin penasaran.

"Dia tanya tentang asal-usul Tiara."

"APA?" Jelas sekali nada suara Kanaya yang terkejut.

"Loe tenang dulu oke? Jangan panik," ucap Siska mencoba menenangkan Kanaya. Siska tahu jika Kanaya sangat sensitif dengan masalah yang berhubungan dengan Tiara.

"Terus loe bilang apa? Dia tanya apa lagi?" cecar Kanaya tidak sabar.

Siska membuang napas sebelum bicara. "Dia tanya kapan loe nikah, trus kapan Tiara lahir, kapan loe cerai, di mana Tiara lahir, siapa suami loe, tinggal di mana ...?"

"Trus loe jawab apa?" potong Kanaya.

"Ya gue bohong tentang pernikahan loe, tapi ...."

"Tapi apa?"

"Gue keceplosan soal tanggal lahir Tiara."

Kanaya menarik napas panjang. "Oh, pantes saja, dia dateng pas ulang tahun Tiara."

"Anji dateng?"

"Iya."

"Sorry, gue pikir nggak penting makanya gue nggak kasih tahu loe, tapi setelah loe cerita kejadian yang baru saja, gue jadi ingat waktu itu. Sorry."

Kanaya menarik napas. "Loe nggak salah kok. Gue yang harusnya bilang makasih."

"Nay ... apa mungkin Anji sudah curiga kalau Tiara itu anaknya?" tanya Siska hati-hati. "Sorry, tapi ini cuma dugaan aja, loe jangan pikirin, oke? Anggap aja gue nggak pernah ngomong kayak gitu." Siska buru-buru meralat ucapannya. Dia takut jika Kanaya jadi memikirkannya dan membuat sahabatnya bertambah takut. Kini dirinya merasa bersalah.

Kanaya terdiam untuk beberapa saat. Ucapan Siska membuatnya tersadar akan sesuatu. Kejadian tadi siang mungkin berkaitan dengan dugaan yang Siska berikan.

"Nay, loe nggak apa-apa?" tanya Siska, takut terjadi sesuatu pada Kanaya.

"Gue baik-baik saja, loe tenang aja," kilahnya. Padahal pikirannya sudah berkelana pada dugaan yang baru saja Siska katakan.

"Loe nggak mikirin apa yang gue katakan barusan, kan?" 

"Loe nggak perlu khawatir, gue tutup dulu ya."

Tanpa menunggu balasan dari Siska, Kanaya telah memutuskan sambungan teleponnya. Namun, tak berapa lama ada sebuah pesan masuk.

Nay, gue tahu loe lagi mikirin apa yang baru saja gue omongin, tapi gue harap loe nggak terlalu khawatir, oke? Gue minta maaf, kalau omongan gue malah bikin loe ketakutan, tapi apa nggak sebaiknya loe bicara sama Anji. Bagaimanapun juga Anji berhak tahu, Nay. 

Loe yang berhak mutusin yang terbaik bagi Tiara. Sebagai sahabat gue cuma bisa ngasih saran dan yang pasti selalu dukung apa pun keputusan loe. Tapi, sampai kapan loe akan terus nyembunyiin semua ini? Ingat, Tiara semakin dewasa, Nay.

Sorry, kalau gue banyak ngomong. Gue sayang sama loe juga Tiara dan gue berharap loe bisa memilih keputusan yang bisa membuat Tiara bahagia. Love u.

Kanaya membaca pesan yang panjang tersebut kemudian menarik napas lalu membuangnya. Mengusap wajahnya yang tampak lelah. Apa yang ditulis Siska ada benarnya, dia harus memikirkan kebahagiaan Tiara. Apa lagi Tiara juga semakin dewasa dan mungkin akan lebih sering lagi menanyakan tentang keberadaan ayahnya. Dia tidak bisa terus-menerus menyembunyikan kebenaran. Ya, dia harus bicara pada Anji. Entah bagaimana respon laki-laki itu, Kanaya tidak peduli lagi, yang pasti dia harus jujur. Walaupun mungkin sulit, Kanaya akan memikirkan caranya mulai dari sekarang. Namun, hal pertama yang perlu dia persiapkan adalah hatinya dan juga melawan rasa takut pada dirinya sendiri.


*****

Selamat malam #teamanji dan #teamkelana

Kalau saya #teamupdate aja 

Sebentar lagi rahasia Tiara akan terbongkar, kalian boleh menerka-nerka sendiri, tapi jika tidak sesuai ekspetasi atau khayalan kalian, mohon maaf.

Saya itu adalah tipe penulis yang kalau udah mau akhir alias mau tamat suka lelet, jadi maklumi saja ya. Karena menulis awal itu lebih gampang, percayalah. Mikirin ending itu lebih nguras otak daripada 10 part awal.

Terakhir, terima kasih untuk semua.

Salam Hangat 

Vea Aprilia

Sabtu, 29 Juni 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top