KetigapuluhDelapan
Seperti ada kupu-kupu bertebangan di perut Anji ketika mendengar suara seorang gadis kecil memanggilnya 'ayah'. Perasaannya sungguh tidak mudah digambarkan. Bahagia bercampur haru. Matanya pun sudah berkaca-kaca. Dia tidak pernah membayangkan jika panggilan 'ayah' akan membuat hatinya benar-benar bahagia.
Tiara, anaknya. Baru saja memanggilnya ayah. Panggilan yang seharusnya didengarnya sejak dulu. Anji menyesal karena baru mengetahui keberadaan darah dagingnya sekarang setelah hampir tujuh tahun.
Dua hari yang lalu ketika dia mengetahui jika Tiara mencuri dengar percakapannya dengan Kanaya. Wanita itu langsung menyuruhnya pergi. Anji dapat melihat raut wajah terluka dari gadis kecil itu. Namun, Kanaya memaksanya untuk pergi saja, padahal Anji ingin menjelaskan sekaligus menghibur putri kecilnya.
"Ayah, kapan ke sini?"
Satu pertanyaan yang membuat Anji dilema. Pasalnya, dia tidak bisa pergi ke tempat putrinya berada untuk satu minggu ke depan karena masalah pekerjaan. Andaikan jarak antara Jakarta-Semarang hanya beberapa kilo, pastilah Anji langsung menemui Tiara dan memeluk putrinya untuk menyalurkan rindu yang sudah bertahun-tahun.
"Sayang, maafkan ayah."
Hanya itu yang bisa Anji katakan untuk saat ini. Setelah itu hanya ada cairan hangat yang kini membasahi pipinya.
*****
"Om," panggil Tiara setelah panggilan teleponnya terputus. Matanya yang berkaca-kaca menatap pada Kelana.
Lkai-laki itu pun langsung memeluk tubuh Tiara. Mendekapnya dengan erat hingga terdengar isakan yang keluar dari mulut Tiara.
"Tiara jangan nangis, ya?" bujuk Kelana. Dia tidak tega melihat gadis kecil yang selalu tersenyum itu, kini menangis sesenggukan di pelukannya.
Kelana melirik ke arah pintu yang terbuka. Sudah tidak ada sosok Kanaya yang berdiri di sana. Entah kemana perginya wanita itu.
Tiara melepaskan pelukan Kelana. Mengusap kedua matanya dengan kasar. "Om, Tiara sekarang punya ayah." Tiara berkata masih dengan sesenggukan.
Kelana tersenyum simpul kemudian mengangguk. Ada perasaan lega sekaligus sedih. Lega karena Tiara sudah tahu siapa ayah kandung sebenarnya. Sedih karena mungkin dia tidak akan lagi dibutuhkan untuk menjadi sosok ayah.
"Sayang."
Tiba-tiba suara Kanaya menginterupsi mereka.
"Makan dulu, ya," bujuk Kanaya dengan suara lembut. Air matanya sudah dihapus hingga tidak meninggalkan jejak. Kanaya baru saja mencuci wajah sebelum mengambilkan bubur untuk Tiara.
Tiara tidak menjawab hanya sebuah gelengan sebagai balasan.
"Katanya tadi mau makan setelah telepon ayah," ucap Kanaya masih mencoba membujuk. Ada perasaan aneh dan asing dalam hatinya ketika mengucapkan kata 'ayah'. Bertahun-tahun dia adalah ibu sekaligus ayah untuk Tiara, tapi kini semua itu tidak mungkin lagi.
Sudah cukup, dia menjadi wanita egois dan keras kepala. Semua ini pasti sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Tidak ada suatu kebetulan di dunia ini.
"Ayah kapan dateng, Bun?" tanya Tiara dengan wajah pucat dan terlihat sedih.
Kanaya memaksakan tersenyum kecil, sebelum menjawab, "Ayahnya Tiara masih sibuk kerja, jadi mungkin nanti kalau sudah tidak sibuk lagi."
"Kita ke rumah Ayah ya, Bun?"
Permintaan Tiara membuat dua orang dewasa itu pun terdiam. Sebegitu inginnya, Tiara bertemu Anji, hingga tidak sabar lagi.
"Tiara kan masih sakit, jadi harus sembuh dulu," sela Kelana.
"Tapi, Tiara ingin ketemu Ayah."
Hati Kanaya semakin diremas melihat seberapa besar Tiara merindukan sosok ayahnya.
"Tiara makan lalu minum obat dulu ya, biar cepet sembuh," bujuk Kelana dengan sabar.
Hati laki-laki itu juga merasa nyeri. Dulu, gadis kecil dalam pangkuannya adalah sosok yang begitu bangga memanggilnya ayah. Sekarang, semua itu sudah berlalu. Memang panggilan ayah dari awal bukanlah miliknya. Kelana harus sadar dirimulai dari sekarang.
Tiara menggeleng berulang kali. Dia menatap rapat mulut kecilnya yang terlihat pucat.
"Tiara nggak boleh gitu, tadi bilangnya gimana?" bujuk Kanaya lagi.
Namun, gadis kecil itu masih tetap tidak mau dan terus menutup mulutnya serta menggeleng dengan keras.
Kanaya mendesah pelan. Tatapannya bertemu dengan mata Kelana. Laki-laki itu memberikan sebuah anggukan kecil. Entah apa artinya.
"Tiara, dengerin, Bunda ya? Kasihan Bunda kalau Tiara ngambek terus," ujar Kelana dengan lembut kemudian mendaratkan ciuman di pucuk kepala Tiara.
Tiara mendongak dan menatap wajah Kelana lalu mengangguk. Dia kemudian beralih pada Kanaya yang tampak putus asa.
"Tapi, Bunda janji dulu?"
Kanaya terdiam sejenak kemudian mengangguk. Dia belum tahu janji apa yang harus dibuat, asalkan Tiara mau makan dan minum obat.
"Janji, setelah Tiara sembuh, kita akan ke tempat Ayah."
Lidah Kanaya kelu. Dia terkejut dengan perubahan sikap Tiara. Putrinya bukanlah anak yang suka menuntut dan keras kepala, tapi sekarang, semua berubah. Mungkin ini adalah buah dari keegoisannya selama ini.
Kelana menatap lurus ke arah Kanaya yang terlihat dilema. Dia tahu, mungkin wanita itu belum siap untuk bertemu dengan Anji dalam waktu dekat. Tangan Kelana terulur dan menyentuh pundak Kanaya. Dia mengangguk ke arah Kanaya.
Kanaya sekarang mengerti dengan bahasa isyarat yang diberikan Kelana.Diam-diam dia menraik napas panjang untuk menenangkan hatinya.
"Baiklah, kita akan ke tempat ayahnya Tiara. Sekarang, Tiara makan dulu, ya?" Kanaya masih berusaha tersenyum meskipun hatinya terasa perih sejak tadi.
"Asiiik!" Tiara tampak bahagia walaupun wajahnya masih pucat. Gadis kecil itu tersenyum, setelah dua hari Kanaya tidak menemukan senyuman di wajah Tiara.
"Sekarang, Tiara makan, ya?" bujuk Kelana.
Tiara mengangguk. "Tiara mau disuapin Om Lana," ucapnya ketika Kanaya menyodorkan sendok yang berisi bubur ke arah mulut Tiara.
Kelana dan Kanaya saling pandang, kemudian Kelana mengangguk. "Tidak apa-apa," ucapnya kemudian mengambil mangkuk dari tangan Kanaya.
"Sekarang Tiara buka mulutnya," ucap Kelana kemudian menyuapkan setengah sendok bubur putih.
Kanaya terhanyut dengan suasana sekarang. Dia menatap Kelana yang dengan telaten menyuapi putrinya. Andaikan dulu, dirinya bertemu dengan laki-laki di depannya sebelum Anji. Apakah mereka akan bersama sekarang? Kanaya tahu jika Kelana laki-laki yang baik, tapi dia belum bisa membuka hatinya untuk cinta lagi. Dia tidak bodoh, Kelana menyukainya. Itu jelas terlihat dari setiap sikap yang laki-laki itu berikan.
Ah, dia seharusnya tidak memikirkan itu sekarang. Ada masalah yang lebih penting. Anji.
Dia sudah berjanji pada Tiara untuk bertemu dengan Anji. Hati dan pikirannya dilema. Kanaya tidak tahu harus berkata apa jika bertemu dengan laki-laki yang berstatus sebagai ayah kandung Tiara itu. Dirinya masih takut jika Anji akan mengambil satu-satunya sumber kebahagiaannya itu darinya. Namun, melihat wajah Tiara yang bahagia, Kanaya harus menekan segala egonya. Benar kata Anji, dia terlalu egois selama ini. Sudah saatnya Tiara bahagia. Membiarkan Tiara memiliki kebahagiaan yang selama hampir tujuh tahun dia renggut dengan berbagai kebohongan.
Kanaya sadar. Ini jalan hidupnya. Ini adalah takdirnya. Siapa yang bisa menghindar dari takdir? Kanaya hanya manusia biasa, hanya bisa pasrah dengan apa pun ketentuan Tuhan.
Kanaya tersenyum kemudian mengusap wajah putrinya. Tiara berhak bahagia.
****
Bentar lagi Tiara akan ketemu Anji sebagai ayahnya, hayo makin penasaran kan?
Maaf lama update karena masih sibuk ngurusin ini dan itu.
Semoga masih ada yang nunggu ini cerita.
SALAM KANGEN
TIARA
Selasa, 03 September 2019
note: NO EDIT
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top