Kesepuluh
Acara potong rambut dan pemberian nama sudah selesai sekitar satu jam yang lalu. Naya sedang sibuk membantu membereskan sisa dari acara tersebut. Sedangkan Tiara berada di kamar bayi yang baru saja diberi nama Satria Putra Birawa. Putrinya tersebut sangat menyukai bayi laki-laki tersebut. Mungkin benar kata Mahesa, jika Tiara menginginkan seorang adik untuk diajak bermain. Namun, Kanaya langsung menepis pikiran gilanya itu.
"Kamu apa kabar?" tanya Anji yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Naya.
Naya yang tiba-tiba ditanya seperti itu tentu saja terkejut. Pasalnya, dia mengira kalau laki-laki itu telah pulang dari tadi. Tubuhnya menegang untuk beberapa saat.
"Maaf, kalau aku mengejutkanmu."
"Tidak apa-apa," balas Naya sedikit canggung.
"Kamu belum jawab pertanyaanku," ucap Anji lagi.
"Pertanyaan apa?" Entah kenapa kehadiran Anji di dekatnya sedikit banyak membuat Naya tidak nyaman.
"Bagaimana kabarmu?" Anji mengulangi pertanyaannya.
"Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja dan... sehat." Jujur, Kanaya belum benar-benar siap untuk berhadapan dengan Anji sekarang dan mungkin juga nanti. Ada perasaan cemas dan takut yang tiba-tiba muncul dari dalam hatinya.
"Anakmu sudah besar, ya?"
Naya hanya mengangguk sebagai balasan. Tangannya masih sibuk untuk membersihkan beberapa sisa kue basah yang ada di ruang tamu.
"Kapan kamu nikah, kok nggak kabar-kabar?" tanya Anji lagi.
Naya memejamkan mata untuk beberapa detik, kemudian menghentikan aktivitasnya. Dia lalu menoleh pada Anji dengan senyum yang sulit diartikan.
"Baiklah, aku tidak akan bertanya." Anji mengerti dengan kode yang diberikan oleh Naya tersebut. Walaupun tanpa bicara, tapi dengan Naya tersenyum aneh padanya itu pertanda bahwa wanita itu tidak mau jika dia ikut campur urusannya.
"Permisi. Aku harus ke dapur," pamit Naya yang entah disetujui atau tidak oleh laki-laki itu. Sebenarnya itu hanyalah alasan untuk menghindari Anji.
Setelah sampai dapur Naya menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Kanaya mencoba menenangkan debaran jantungnya. Dia tidak menyangka jika laki-laki itu akan mengajaknya bicara. Padahal, selama acara berlangsung Anji seperti tidak pernah melihat atau memperhatikan keberadaannya. Jadi, tentu saja kejadian tadi membuatnya terkejut.
Naya mendesah, kenapa laki-laki itu harus muncul kembali sekarang?
****
Kanaya dan Tiara sudah bersiap untuk kembali ke Semarang. Jadwal keretanya sekitar pukul enam lebih lima belas menit. Jadi, dia harus sampai di stasiun tiga puluh menit sebelum kereta tiba.
"Kamu sudah mau pulang?" tanya Anji saat melihat Naya sudah bersiap di depan rumah Siska.
"Iya."
"Naik apa?" tanya Anji lagi.
"Kereta," balas Kanaya singkat dan Anji hanya mengangguk sekilas.
"Om siapa?" tanya Tiara penasaran karena laki-laki ini terlihat akrab dengan sang Bunda.
"Hai, Cantik," sapa Anji yang baru sadar dengan keberadaan anak Naya.
"Namanya siapa?" tanya Anji yang sudah berjongkok untuk mensejajarkan tinggi gadis kecil itu.
"Tiara, Om."
"Nama yang cantik sama kayak kamu."
Tiara yang dipuji seperti itu, tentu saja menjadi malu dan menunduk.
"Kenapa, malu ya?" goda Anji.
Kanaya hanya bisa diam sambil menyaksikan interaksi antara Anji dan anaknya tersebut. Dia tidak pernah membayangkan pertemuan seperti ini akan terjadi. Andaikan Anji tahu yang sebenarnya, apakah dia akan masih bersikap seperti sekarang ini?
"Nay," panggil Siska yang sudah berjalan ke teras.
"Ya."
"Kayaknya lo harus pesen taksi online deh, laki gue kejebak macet. Apalagi tadi Mama minta mampir ke apotek dulu, jadi mungkin nggak bakalan keburu buat nganterin lo ke stasiun," jelas Siska dengan nada sedikit menyesal.
"Gapapa, gue pesen taksi online aja."
Ketika Naya sibuk dengan ponselnya untuk memesan taksi tiba-tiba Anji menyela, "Aku anterin aja gimana?"
Naya yang sejak tadi menunduk pada layar ponselnya langsung menoleh ke arah Anji begitu juga Siska, ibu muda itu bahkan melotot tidak percaya.
"Ada masalah?" tanya Anji pada dua orang wanita yang tiba-tiba bersikap aneh.
"Enggak usah deh. Aku pesan taksi online aja," tolak Naya secara halus. Namun sial, taksi yang paling dekat membutuhkan waktu sekitar lima belas menit untuk tiba di rumah Siska. Sedangkan sekarang sudah jam lima lebih.
"Sudah bareng aku aja. Aku juga mau pulang. Lagipula kita searah, kamu ke Senen 'kan?" tawar Anji lagi.
Naya melirik sahabatnya untuk beberapa saat. Dia sedikit bingung apakah menolak atau menerima. Siska juga terlihat bingung dengan hanya memberikan gelengan kecil sebagai balasan. Bukan tanda tidak boleh tapi sebagai tanda terserah Kanaya saja.
"Bareng Om aja, Bun," ucap Tiara yang hampir dilupakan keberadaannya oleh Naya.
"Itu Tiara udah setuju," ucap Anji kemudian membawa tas Naya tanpa permisi dan memasukkannya ke dalam bagasi.
Tiara pun seperti dikomando telah berjalan untuk menyusul Anji. Naya dan Siska saling pandang untuk beberapa saat. Mereka berdua seperti kehabisan alasan untuk menolak tawaran Anji. Apalagi sekarang Tiara sudah berdiri di samping mobil Fortuner milik Anji sambil melambaikan tangan sambil memanggil Naya. "Bunda cepet dong!"
"Sepertinya lo kudu ikut mobilnya Anji sekarang. Anggap aja ini untuk terakhir kalinya," gumam Siska di samping Naya. Wanita seperti memberi kekuatan untuk Kanaya. Dia tahu ini pasti akan sulit untuk sahabatnya itu.
Naya mengembuskan napas panjang sebelum menoleh pada Siska, kemudian berjalan ke arah Tiara. Siska pun melakukan hal sama sampai mereka berdua tiba di samping Tiara.
"Tiara nggak mau pamit sama Mami?" goda Siska. Padahal mereka sudah melakukan ritual tersebut sejak setengah jam lalu. Bahkan Tiara sudah berpamitan pula dengan Satria. Menciumi anak Siska berulang kali hingga bayi tersebut menangis kencang.
"Mami, Tiara pulang dulu ya." Gadis kecil itu kemudian memberikan pelukan dan juga ciuman pada Siska.
Setelah itu dia masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibuka oleh Anji.
"Gue balik dulu ya," pamit Naya kemudian memeluk erat sahabatnya.
"Iya, lo hati-hati ya di jalan. Padahal gue masih kangen," balas Siska sambil merajuk.
"Saya pulang dulu. Terima kasih sudah diundang," ucap Anji setelah Naya masuk menyusul Tiara.
"Saya yang seharusnya berterima kasih karena Bapak sudah datang dan mau mengantar Naya."
"Tidak masalah," balas Anji kemudian masuk ke dalam mobil. Setelah itu mobil pun bergerak meninggalkan rumah Siska.
Tiara duduk di bangku penumpang bagian tengah bersama Kanaya. Tentu saja Kanaya sangat menghindari untuk duduk di samping Anji. Biarlah Anji duduk sendiri di depan.
"Kamu sekarang tinggal di Semarang?" tanya Anji memecah kebisuan di dalam mobil.
"Iya."
"Om temannya Bunda, ya?" tanya Tiara penasaran karena sejak tadi pertanyaan tersebut belum dijawab.
"Iya, Cantik."
"Kok Tiara nggak pernah tahu."
"Om tinggal di Jakarta, Sayang. Makanya Tiara nggak tahu," jawab Naya supaya Tiara tidak bertanya lebih lagi.
"Tiara sudah sekolah?" tanya Anji sambil melirik gadis kecil itu dari kaca spion di depannya.
"Sudah Om. Tk kecil."
"Wah, pinter dong."
Kanaya tidak pernah bermimpi atau membayangkan akan terjebak dalam situasi seperti ini. Melihat anaknya yang tersenyum bahagia ketika menjawab semua pertanyaan dari Anji. Laki-laki itu juga tampak menyukai putri kecilnya.
"Om kapan-kapan main dong ke rumahnya Tiara."
"Om-nya sibuk, Sayang," sela Naya cepat. Demi Tuhan Naya tidak pernah berharap laki-laki itu untuk datang ke rumahnya. Sekarang atau nanti.
"Jangan suka ngajarin anak kecil bohong, Kay. Aku nggak sibuk banget kok."
Kay adalah panggilan khusus yang diberikan oleh Anji. Dulu.
Mendengar Anji memanggilnya seperti itu tentu saja terasa aneh. Naya bahkan sudah lupa kapan tepatnya Anji memanggilnya seperti itu terakhir kali.
"Jadi, Om mau kan main ke rumah Tiara?" tanya Tiara lagi. Naya merasa kalau Tiara juga menyukai Anji. Terbukti bagaimana dia begitu gigih menawarkan untuk mengajak Anji ke rumah mereka.
"Om mau, Sayang, tapi Om nggak janji ya."
Obrolan pun berlangsung antara Anji dan Tiara. Kanaya hanya sesekali menimpali. Perjalanan ke stasiun dirasa sangat lama. Naya sudah tidak tahan terjebak dalam suasana canggung seperti ini.
Andaikan Anji tahu jika Tiara adalah darah dagingnya? Atau andaikan Tiara tahu jika laki-laki di depannya adalah ayah kandungnya, apakah putrinya akan bahagia?
Apakah akan ada perubahan dalam hidupnya dan juga Tiara?
Ah, Kanaya tidak mau memikirkan hal yang masih abu-abu. Berharap atau bermimpi tentang Anji adalah suatu kemustahilan. Sekarang ataupun nanti. Namun, Kanaya percaya jika Tuhan sudah menyiapkan yang terbaik untuk dirinya dan juga Tiara. Jodoh, rejeki, dan mati sudah ada yang mengatur. Jadi, Kanaya menyerahkan semuanya pada Sang Pencipta.
*****
"Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, Tuhan yang menentukan segalanya."
******
Selamat hari Minggu.
Bagaimana sosok Anji, apakah masih misterius? 😂
Sabar ya, masih panjang kok ceritanya.
Happy reading
Vea Aprilia
Minggu, 09 Desember 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top