Kesembilanbelas
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit pagi. Kanaya sudah bersiap untuk mengantarkan Tiara ke sekolah sekaligus berangkat kerja. Dia kemudian mengeluarkan motor matic kesayangannya menuju halaman depan. Sedangkan Tiara, gadis kecil itu sudah menunggu dengan patuh di kursi teras.
Setelah mengunci pintu rumah dengan benar. Kanaya sudah siap menghidupkan motornya, dengan Tiara yang sudah duduk di jok belakang. Namun, ketika wanita itu menekan tombol start berulang kali, motor maticnya hanya mengeluarkan suara tersendat-sendat. Kanaya mulai merasa ada yang tidak beres dengan motornya tersebut.
"Kenapa Bunda?" tanya Tiara melongokkan kepala ke arah depan.
"Kayaknya ada yang macet, Sayang. Tiara turun dulu ya?" pinta Kanaya dengan sabar.
Gadis itu pun turun dari motor dan duduk kembali di kursi. Sedangkan Kanaya mencoba untuk menghidupkan motor itu berulang kali, tapi tidak berhasil juga. Dia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Sial. Sudah hampir setengah delapan.
"Sayang, kita naik taksi online aja ya?" tanya Kanaya yang buru-buru untuk membuka pintu rumahnya kembali.
Tiara mengangguk dengan patuh sambil melihat bundanya mendorong motor untuk dimasukkan kembali ke dalam rumah. Gadis itu sedang memainkan tas bekalnya ketika sebuah mobil berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Mata Tiara melihat dengan cuek sebelum akhirnya berlari ke depan setelah melihat siapa orang yang turun dari dalam mobil.
"Hallo Cantik. Selamat pagi."
"Hallo Om." Tiara tersenyum bahagia ketika melihat wajah tampan Kelana.
"Kok belum berangkat?" tanya Kelana penasaran.
"Pak Lana?" ujar Kanaya lirih tapi masih bisa didengar oleh Kelana dan Tiara. Mereka berdua kemudian menoleh ke arah Kanaya yang baru saja mengunci pintu.
Wanita itu kemudian berjalan mendekat.
"Selamat pagi, Pak," ucap Kanaya masih sedikit terkejut. Kenapa laki-laki ini bisa ada di depan rumahnya sepagi ini.
"Bapak ada perlu?" tanya Kanaya lagi setelah ucapan salamnya dibalas oleh Kelana.
Kelana menggeleng. "Saya kebetulan lewat saja."
Kanaya hanya ber 'oh' ria sambil mengangguk.
"Bunda, udah telat," rajuk Tiara sehingga menyadarkannya untuk segera memesan taksi.
"Oke, Bunda telepon taksi dulu ya."
Kanaya sudah tidak memperdulikan Kelana, dia sudah sibuk mencari lokasi taksi yang paling dekat dengan rumahnya.
"Bareng saya saja," tawar Kelana dan mendadak hal itu membuat Kanaya berhenti menatap ponselnya.
"Beneran Om?" tanya Tiara dengan senyum gemasnya.
"Beneran dong. Om anterin," balas Kelana sambil mengusap rambut lurus Tiara.
"Horeeee...!" Tiara bersorak kegirangan setelah itu dia segera berlari menuju mobil Kelana meninggalkan sang Bunda yang masih diam saja di tempatnya.
"Ayo, kamu mau Tiara terlambat." Suara Kelana mampu menyadarkan Kanaya dari keterkejutannya.
Laki-laki itu pun tersenyum kemudian membuka pintu untuk Tiara setelah itu menunggu Kanaya yang sepertinya masih ragu untuk menerima tumpangan darinya.
"Bunda, ayo cepet." Teriakan Tiara mampu sekali lagi menghempaskannya ke bumi. Kanaya buru-buru masuk ke dalam mobil sebelum Kelana menutup pintu kemudian menjalankan dengan cepat meninggalkan halaman depan rumahnya.
"Motor kamu kenapa?" tanya Kelana yang sedang fokus menyetir di depan. Sedangkan Kanaya duduk bersama Tiara di kursi tengah.
"Tidak tahu Pak. Tiba-tiba pagi tadi mogok, nggak mau nyala," jawab Kanaya jujur.
Kelana hanya berkata 'oh' sambil mengangguk.
"Trus nanti yang jemput Tiara siapa Bunda?" tanya gadis itu dengan wajah memelas.
"Ya Bunda dong." Kanaya tersenyum manis kemudian melanjutkan, "Bunda bisa naik taksi buat jemput kamu." Kemudian dia mengusap pucuk kepala Tiara dengan sayang.
"Kalau tidak keberatan saya bersedia untuk menjemput Tiara," tawar Kelana. Lagi.
Hari ini sepertinya terlalu banyak kejutan untuk Kanaya. Mulai dari motornya yang mogok, Kelana yang tiba-tiba muncul di depan rumahnya kemudian memberikan tumpangan. Lalu baru saja laki-laki itu menawarkan untuk menjemput Tiara juga. Wah, kalau sekarang Kanaya sedang ikut undian pasti dia baru saja mendapatkan dorprice berlipat ganda.
"Beneran Om?" tanya Tiara dengan suara imutnya.
"Bener dong. Masak Om bohong sih."
"Horeeee...!" Tiara sekali lagi bersorak bahagia. Anak kecil itu seperti baru saja mendapatkan permen.
Kanaya yang masih belum percaya sepenuhnya dapat melihat sebuah senyuman terukir dari bibir Kelana. Walaupun dia duduk di belakang tapi dia dapat melihat itu dari sisi samping.
"Terima kasih, Pak," ucap Kanaya sungguh-sungguh.
Wanita itu kemudian fokus pada putrinya yang terlihat begitu bahagia. Dia jadi penasaran apa yang membuat Tiara kecilnya begitu senang.
"Tiara kok seneng banget, kenapa?" tanya Kanaya penasaran.
Tiara tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan gigi putihnya. "Iya dong Bunda. Kan biasanya hanya Bunda dan Bi Indah aja yang jemput."
"Terus apa hubungannya?" tanya Kanaya lagi.
"Kan Tiara juga pengen kayak temen-temen yang dijemput sama ayahnya." Kali ini nada suara Tiara sedikit rendah. Kanaya dapat merasakan ada kesedihan di sana.
Kelana yang sejak tadi fokus menyetir mau tidak mau lebih memperhatikan ibu dan anak yang duduk di belakangnya.
"Kenapa gitu?" Bodoh. Kanaya merutuki mulutnya sendiri yang dengan sangat lancar bertanya seperti itu. Dia pasti tahu jika Tiara menginginkan sosok seorang ayah.
"Tiara kesel selalu dibilang nggak punya ayah." Gadis kecil itu akhirnya menunduk. Kanaya menyesal sekarang. Dia menyesal karena telah menanyakan hal tersebut. Dia benar-benar tidak peka. Wanita itu sudah menyakiti perasaan halus putri kecilnya dengan sengaja.
Kelana yang merasakan suasana canggung di belakangnya hanya bisa melirik dari kaca spion di depannya. Laki-laki itu sedang berpikir, apakah boleh dia mencampuri urusan ibu dan anak tersebut. Namun, entah dorongan apa laki-laki itu tidak mau berpikir lagi dan mencetuskan sebuah ide gila.
"Tiara boleh kok nganggap Om sebagai ayah Tiara," ucap Kelana sambil menoleh sebentar.
Oke fix. Kelana sudah gila. Bagaimana bisa dia memberikan ide seperti itu. Laki-laki itu apa tidak sadar jika hubungannya dengan Kanaya hanyalah sebatas atasan dan bawahan di kantor. Kelana sedikit menyesali keputusannya, tapi dia juga tidak bisa menarik perkataan tersebut setelah mendengar bagaimana gadis kecil itu terdengar ceria kembali.
"Beneran boleh, Om?" tanya Tiara memastikan.
"Tentu saja."
Oke. Sekarang Kanaya yang masih dibuat bingung dengan adegan yang baru saja terjadi. Perkataan atasannya yang membuat dirinya terkejut kembali. Ya Tuhan, sudah berapa kali sejak tadi pagi dia terkejut. Ini belum ada satu jam dan kejutan itu sudah datang berulang kali.
"Sudah sampai." Ucapan Kelana langsung membuat Kanaya tersadar.
Kelana langsung turun kemudian membukakan pintu untuk Tiara dan Kanaya.
"Anak Bunda rajin belajar ya, nggak boleh nakal dam patuh sama Bu Guru," ucap Kanaya kemudian mencium pipi Tiara dengan sayang.
Tiara kemudian beralih pada Kelana. Gadis kecil itu kemudian meraih tangan Kelana kemudian menciumnya. "Makasih ya, Om."
Kelana tersenyum lembut kemudian berjongkok sambil mengusap lembut rambut panjang Tiara. "Sama-sama, Cantik."
"Tiaraaa...!" Sebuah teriakan mampu membuat ketiga orang tersebut menoleh secara bersamaan.
Mereka melihat seorang anak laki-laki yang bertubuh sedikit gendut baru saja turun dari mobil dan berlari menuju Tiara.
"Sultan," panggil Tiara ketika anak laki-laki tersebut sudah sampai di depannya.
"Ini ayah kamu?" tanya anak laki-laki bernama Sultan tersebut tanpa babibu lagi. Dan itu tentu saja membuat Kanaya dan Kelana langsung terkejut. Terlebih laki-laki itu, dia memang berkata jika Tiara boleh menganggapnya sebagai ayah, tapi bukan secepat ini.
Tiara tidak langsung menjawab, dia sedikit ragu, lalu mendongak pada Kelana yang sudah berdiri. Gadis kecil tersebut seperti meminta persetujuan.
Kelana bukan tidak mengerti. Dia kemudian tersenyum kecil sambil mengangguk, tidak lupa tangannya mengusap lembut rambut lurus Tiara.
"Iya ini Ayah aku," ucap Tiara mantap dengan anggukan yang penuh semangat.
"Waaaahh... ternyata ayah kamu keren banget." Anak laki-laki terlihat takjub ketika melihat sosok tinggi Kelana. Sampai dia dengan semangat memberikan satu jempolnya pada Tiara.
Tiara tersenyum bahagia. Setelah itu mereka berpamitan, lalu masuk ke dalam sambil bergandengan tangan.
Kanaya seperti belum tersadar sepenuhnya, bahkan setelah Tiara dan Sultan sudah menghilang dari pandangannya. Dia masih terkejut. Ya, sekali lagi di pagi hari yang cerah ini dia terkejut. Namun, ada sesuatu yang terasa mencubit hatinya ketika mendengar Tiara memperkenalkan Kelana sebagai ayahnya.
Sebegitu bahagianya anaknya jika mempunyai seorang ayah.
Kelana melirik Kanaya yang masih diam mematung di depan pagar sekolah Tiara. Laki-laki itu merasa ada yang aneh dengan wanita di sampingnya ini.
"Naya," panggilnya lirih.
"Oh, iya Pak," balas Kanaya gelagapan.
Kelana tersenyum. "Ayo masuk. Kita sudah terlambat."
****
Kanaya duduk dalam diam setelah meninggalkan sekolahan Tiara. Dia kini duduk di bangku depan bersebelahan dengan Kelana. Namun, dia diam bukan karena canggung dengan atasannya tersebut. Kanaya masih teringat kejadian tadi. Hatinya terasa diremas.
Apalagi setelah mendengar Tiara berkata jika teman-temannya menyebut anaknya itu tidak mempunyai ayah. Mungkin Kanaya sudah kebal dengan sebutan perempuan yang tidak punya suami. Perempuan tidak benar yang hamil di luar nikah. Namun, tidak demikian dengan Tiara. Gadis itu terlalu kecil untuk menerima dan merasakan penghinaan seperti itu. Dia rela dirinya dihina asal bukan putrinya.
"Kamu kenapa?" tanya Kelana setelah memerhatikan sikap Kanaya yang sedikit murung. Laki-laki bertanya pada dirinya sendiri apa dia tadi telah melakukan kesalahan.
Kanaya tersadar sepenuhnya ketika bahunya disentuh. Dia kemudian menoleh ke arah Kelana.
"Kamu kenapa? Sakit?" tanya Kelana lagi setelah beberapa kali tidak mendapatkan respons.
Kanaya buru-buru menggeleng. Dia lupa jika saat ini masih berada di mobil bersama Kelana. Laki-laki yang telah berkorban untuk putrinya beberapa saat yang lalu. Dan dia dengan bodohnya tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Maaf, Pak," ucapnya lirih.
"Kamu beneran sakit?" tanya Kelana lagi kemudian menoleh sebentar melihat wajah Kanaya yang sedikit menucat.
"Saya baik-baik saja kok, Pak." Kanaya buru-buru menjelaskan. Dia tidak ingin laki-laki di sebelahnya tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan dia tidak sakit hanya sedikit terluka. Luka lama yang kini terkoyak kembali.
"Kalau begitu kamu boleh turun," ucap Kelana setelah mengembuskan napas.
Kanaya buru-buru melepaskan sabuk pengaman lalu turun. Sedangkan Kelana, melajukan mobilnya ke tempat parkir.
Wanita itu masuk ke dalam kantor tanpa menunggu Kelana. Langkah kaki dan otaknya sedang tidak sejalan. Dia memang melangkah ke dalam gedung, tapi pikirannya masih tertinggal di depan sekolahan Tiara. Kanaya seolah tidak dapat menghilangkan begitu saja senyum kebanggaan yang Tiara tunjukkan untuk temannya. Bahkan Kanaya sampai lupa untuk mengucapkan terima kasih pada Kelana. Ah, Kelana, kenapa laki-laki itu harus terlibat dalam kehidupannya dan Tiara.
Apakah kehadiran Bunda saja tidak cukup untukmu, Sayang. Tiara.
****
Hallo semuanya
Selamat Malam Minggu
Selamat Hari Ibu 22 Desember
Happy reading
Vea Aprilia
Sabtu, 22 Desember 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top