Kesebelas
Sekitar pukul dua dini hari Kanaya baru sampai di rumahnya. Tentu saja rasa lelah dan letih masih menggelayuti tubuh dan otaknya, tapi dia tidak bisa bolos kerja. Bisa-bisa gajinya dipotong atau malah akan dipecat. Sedangkan Tiara, tidak masuk ke sekolah karena Naya melihat putrinya tersebut masih mengantuk dan capek. Jadi, dia cukup pergi ke sekolah untuk mendapatkan izin dari wali kelasnya.
"Saya pikir kamu tidak akan masuk hari ini," ucap Kelana dengan nada yang menurut Naya sedang menyindir dirinya.
Mereka baru selesai rapat rutinan setiap hari Senin bersama dengan seluruh staff. Dan sekarang Kanaya terjebak dalam ruangan Kelana. Entah apa yang diinginkan laki-laki ini darinya sepagi ini.
"Maaf Pak, tapi saya tidak pernah berencana untuk bolos hari ini," jawab Naya. Sejujurnya kalau bukan karena manusia kutub di depannya ini, pasti Kanaya sudah minta izin tidak masuk, karena badannya masih terlalu capek. Namun, dia tidak ingin mempunyai masalah dengan laki-laki satu ini.
Kelana menatap penampilan Kanaya hari ini tidak seperti biasanya. Wanita itu terlihat masih keletihan setelah perjalanan jauh. Sangat jelas terpancar dari wajahnya yang tidak begitu semangat. Oh ya, sejak kapan Kelana mulai mengamati penampilan Naya, kok rasanya dia tahu betul tentang bagaimana keseharian wanita itu.
"Minggu ini saya ingin kamu menulis artikel tentang Ibu dan Anak yang berbeda."
"Temanya apa, Pak?"
"Ibu tunggal."
"Saya akan mencari narasumbernya lebih dahulu."
Biasanya Kelana sudah menyiapkan narasumber, atau Kanaya yang harus mencari dan mewawancarai sendiri. Walaupun dia bertanggung jawab untuk rubrik tersebut, tapi kadang ada campur tangan atasannya.
"Kamu saja narasumbernya."
"Saya, Pak?" Kanaya bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri menggunakan jari.
"Iya kamu. Bukankah kamu itu ibu tunggal."
Bertahun-tahun Kanaya menulis artikel mengenai ibu dan anak, tapi baru sekarang dia merasa kalau rubrik tersebut tidak cocok untuknya.
"Kamu keberatan?" tanya Kelana yang tidak mendapatkan respons dari Kanaya.
"Bisa diganti orang lain saja, Pak?" Kanaya mencoba tawar-menawar sekarang.
"Kenapa?"
Kanaya bingung harus menjawab apa, karena sejujurnya sangat sulit untuk menulis tentang dirinya sendiri dan Tiara. Apa yang akan ditulisnya? Ibu tunggal yang tidak pernah menikah atau wanita yang hamil tanpa suami? Gila. Itu tidak mungkin ditulisnya.
"Saya pikir tidak ada yang menarik dengan kehidupan pribadi saya untuk dijadikan sebuah artikel dan dimuat di majalah," jelasnya kemudian.
Demi Tuhan tolong ubah pikiran laki-laki di depannya sekarang juga, Kanaya mencoba berdoa dalam hati.
"Saya pikir kehidupanmu menarik." Kelana memperbaiki posisi duduknya sambil melipat kedua tangannya di dada. "Kenapa kamu tidak mau menulisnya?"
Kenapa laki-laki ini begitu ngotot untuk mengulik kehidupan pribadinya agar dikonsumsi umum. Cukup dirinya saja yang tahu, tidak perlu orang lain. Dia juga tidak butuh rasa empati ataupun simpati untuk dia dan Tiara. Sudah cukup olokan atau gunjingan tentang dirinya selama ini. Jadi, dia tidak perlu menambah lagi.
"Maaf Pak, kehidupan pribadi saya bukan untuk konsumsi umum."
Jawaban Kanaya membuat Kelana sedikit tercengang. Wanita di depannya ini seperti menyembunyikan sesuatu yang tidak boleh orang lain sampai tahu.
"Kenapa? Bukankah lebih mudah dan tidak perlu mencari orang lain?" tanya Kelana lagi. Rupanya laki-laki ini tidak mudah menyerah.
"Saya pikir penjelasan saya tadi sudah cukup untuk dijadikan sebuah alasan."
Kanaya tidak mau berdebat lagi untuk masalah pribadinya.
"Saya akan mencari narasumber lain." Setelah mengucapkan kalimat tersebut Kanaya keluar dari ruangan Kelana tanpa permisi. Biar saja laki-laki itu menganggap dirinya tidak sopan, yang jelas sampai kapan pun dia tidak akan sudi untuk menulis artikel mengenai kehidupan pribadinya.
Kelana tentu saja merasa terkejut dengan sikap yang ditunjukkan oleh Kanaya. Walaupun wanita itu sering tidak setuju dengan jalan pikirannya tapi tidak pernah dia melihat Kanaya semarah itu. Bahkan meninggalkan ruangannya tanpa permisi.
Laki-laki itu benar-benar tidak menduga jika Kanaya sangat tidak setuju dengan idenya tersebut. Selama Kelana menjabat posisinya saat ini dan telah mengamati kebiasaan Kanaya, dia dapat menyimpulkan jika kehidupan wanita itu menarik untuk ditulis. Namun, dia tidak menyangka jika akan mendapatkan respons seperti ini.
*****
Jam kantor telah selesai. Para karyawan pun berhamburan untuk pulang ke rumah masing-masing. Namun, ada beberapa orang yang masih sibuk menyelesaikan pekerjaannya.
Kanaya sudah berjalan keluar dari gedung kantornya menuju area parkir sepeda motor. Dia terkejut ketika akan menstarter motornya, ternyata ban bagian belakangnya telah kempes. Sial sekali hari ini.
Wanita itu kemudian berjongkok untuk melihat lebih dekat. Ternyata ada ada paku payung yang menempel mesra pada ban motornya.
"Kenapa?"
Kanaya terkejut dengan suara yang tiba-tiba muncul dari arah sampingnya. Dia kemudian mendongak dan mendapati Kelana berdiri di sana. Kenapa dari semua orang harus atasannya yang ada di sini? Kanaya menggerutu dalam hati. Dia masih sedikit kesal dengan kejadian tadi di kantor.
Laki-laki itu pun ikut berjongkok sebentar untuk melihat lebih jelas.
"Ban kamu bocor?" tanyanya kemudian berdiri kembali.
"Iya, Pak." Kanaya kemudian ikut berdiri.
Wanita itu kemudian mencoba memutar otak untuk menemukan cara agar motornya sampai di tempat tambal ban. Gedung kantornya yang berada di pusat kota menyulitkan dirinya untuk mendapatkan tukang tambal ban terdekat. Kalau pun ada itu mungkin dua kilo lebih.
"Kamu ikut saya saja."
Kalimat Kelana mampu membuyarkan semua pikiran yang sedang campur aduk dalam otaknya. Dia tidak salah dengar bukan? Atasannya baru saja menawarkan tumpangan? Oh tidak mungkin.
"Tidak perlu, Pak."
Kanaya tidak ingin ikut dalam mobil atasannya. Tentu saja dia akan merasa sangat canggung nantinya.
Demi Tuhan. Kenapa hari ini begitu sial. Padahal Kanaya rutin mengganti ban motornya dan juga ini adalah pertama kalinya dia mendapati bannya bocor.
"Tolong, urus motornya Bu Naya. Carikan tempat tambal ban, kalau perlu ganti bannya sekalian. Ini ongkosnya." Kelana menyodorkan beberapa lembar uang pecahan lima puluh ribuan pada Pak Asep –satpam perusahaannya, yang entah sejak kapan sudah berdiri di antara mereka berdua.
Kanaya melebarkan matanya dengan mulut setengah terbuka mendengar percakapan Kelana dan Pak Asep.
"Tidak perlu, Pak. Saya bisa sendiri," tolak Naya secara halus sambil mencegah tangan Pak Asep untuk menerima uang dari Kelana. Namun, tangannya ditepis dengan halus oleh Kelana dan uang itu sudah berada di tangan Pak Asep.
Tentu saja dia tidak ingin merepotkan siapa-siapa. Ini adalah motornya, jadi dia harus mengurusnya sendiri.
"Sudah Bu, biar saya saja. Lagipula ini sudah hampir magrib. Tempat tambal ban lumayan jauh dari sini. Jadi, lebih baik Ibu ikut dengan Pak Lana saja."
Ya Ampun. Kanaya seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Keberadaan Pak Asep ternyata malah menyudutkannya bukan membantu untuk keluar dari ajakan Kelana.
"Ayo saya antar kamu."
Setelah mengucapkan kalimat tersebut Kelana berjalan menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh.
Kanaya tampak menimbang-nimbang dengan keputusannya. Ini sudah mulai gelap dan dia juga tidak mungkin mendorong motornya sendiri untuk mencari tukang tambal ban. Tapi, dia juga tidak mau terjebak satu mobil dengan Kelana.
Suara klakson yang cukup keras membuat Kanaya langsung tersadar. Mobil Kelana sudah berada tepat di sampingnya. Laki-laki itu membuka kaca jendela dan menyuruh Kanaya untuk cepat masuk.
Dengan langkah berat Kanaya menuju mobil Kelana, tapi dia tidak langsung masuk.
"Saya naik ojek saja Pak," ucap Kanaya masih gigih untuk menolak.
"Lebih baik kamu masuk daripada terus membuang waktu saya untuk berdebat."
Ucapan Kelana langsung membuat nyali Kanaya menciut. Lagipula laki-laki itu sudah menyuruh Pak Asep untuk mengurus motor sekaligus memberikan ongkosnya. Kanaya jadi tidak enak. Akhirnya dengan berat hati, dia masuk ke dalam mobil tersebut.
Suasana canggung langsung tercipta di dalam mobil. Kanaya seperti terjebak dalam lemari pendingin dengan suhu paling rendah. Jadi, dia lebih memilih untuk diam saja.
"Rumahmu di mana?"
"Apa Pak?" tanya Kanaya karena tidak begitu mendengar perkataan Kelana. Dia sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Saya tanya dia mana alamat rumah kamu?" Kelana mengulangi kalimatnya menjadi lebih panjang dan jelas.
"Di daerah Banyumanik, Pak."
Setelah itu tidak ada percakapan lagi. Kanaya juga tidak mempunyai minat mengajak atasannya ini untuk mengobrol.
"Kamu terlihat gugup jika bersama dengan saya," ucap Kelana memecah kebisuan.
"Huh?"
Lagi-lagi Kanaya tidak fokus.
"Bapak bicara sesuatu?" tanya Kanaya memastikan.
"Tidak ada. Kita hampir sampai."
Setelah itu mobil pun berhenti tepat di depan rumah Kanaya. Bukan rumah Bi Indah.
Kanaya turun setelah mengucapkan terima kasih dan berpamitan. Setelah beberapa saat mobil tersebut sudah tidak terlihat lagi. Namun, Kanaya seolah disihir dengan kalimat terakhir yang diucapkan oleh Kelana.
Jangan terlalu banyak melamun, tidak baik untuk wanita cantik seperti kamu.
*****
"Jangan pernah berharap untuk sesuatu yang belum pasti."
~Kanaya
*****
Cieeee cieeee ada yang kangen sama Bang Lana nggak nich 😀😀😀
Hari ini Bang Lana muncul ya, giliran Anji aku sembunyiin.
Jangan lupa vote dan spam komentar yang banyak biar saya lebih semangat update tiap hari.
Happy reading
Vea Aprilia
Senin, 10 Desember 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top