KeempatpuluhTiga


"Omongan Tiara jangan diambil hati," ucap Kanaya setelah tinggal dia dan Kelana saja. Sementara Tiara sudah asik menonton film kartun kesukaannya.

Kelana tersenyum menanggapi. Laki-laki itu mengerti jika Tiara masihlah anak-anak yang belum mengerti masalah dunia orang dewasa. Ucapan Tiara baginya hanya sebuah nyanyian merdu yang sedikit bisa mendamaikan jiwanya. Dia juga tahu bahwa perkataan Tiara tidak mungkin dapat diwujudkan.

"Nay," panggil Kelana lembut.

"Iya."

Kelana menarik napas sebelum berbicara. "Aku serius datang ke sini untuk pamit."

Kanaya terdiam untuk sesaat. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Hanya dalam benaknya, secepat inikah?

"Maaf, kalau selama ini aku banyak menyita waktumu atau mungkin pernah melakukan kesalahan...."

"Tidak, Pak." Buru-buru Kanaya membalas karena selama ini Kelana-lah yang banyak membantunya. Malah dia harusnya yang minta maaf karena mungkin sudah memberikan sebuah harapan palsu untuk Kelana.

Kelana tersenyum simpul. 

"Saya yang seharusnya minta maaf karena selama ini telah banyak merepotkan Bapak."

"Aku tidak merasa direpotkan. Sama sekali tidak," balas Kelana tulus.

Kanaya bingung harus bicara apalagi. Namun, ada satu pertanyaan yang hingga saat ini masih saja mengganggu pikirannya.

"Pak, boleh saya ajukan satu pertanyaan?" 

Kelana mengangguk.

Kanaya menarik napas dalam-dalam sebelum membuka mulut. "Apa Bapak menerima tawaran itu karena ... saya?"

Kelana tersenyum. "Kalau benar, memang kamu akan peduli? Kamu akan melarangku untuk tidak pergi?"

Mendengar jawaban Kelana membuat wajah Kanaya berubah pias seketika. Darahnya seperti disedot habis. Dan bibirnya pun mendadak kelu. Otaknya seolah berhenti berpikir. Berarti apa yang membuat hati dan pikirannya tidak nyaman akhir-akhir ini ternyata benar.

"Kenapa kamu diam?" desak Kelana.

Kanaya semakin bingung harus menjawab apa. Dia sungguh tidak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu.

"Kita sudah dewasa Nay, dan kamu tahu jika tidak akan pernah ada sebuah pertemanan yang murni antara dua orang laki-laki dan wanita dewasa."

"Maksud Bapak?"

Bodoh. Satu kata itu yang muncul dalam benak Kanaya setelah melontarkan pertanyaan konyol itu pada Kelana.

"Kamu masih belum mengerti atau pura-pura tidak mengerti?" tanya Kelana semakin mendesak.

Kanaya menarik napas dalam diam. Dia bukannya tidak mengerti, bahkan Anji pun pernah berkata seperti itu.Namun, dia harus bagaimana? Harus menjawab apa?

"Aku menyukaimu dan kamu pasti sudah menyadarinya walaupun kamu mungkin terkesan tidak peduli, tapi aku yakin kamu tahu hal itu dengan baik."

Kanaya semakin dibuat tidak berkutik. Sekarang apalagi? Seorang Kelana Wiraatmaja mengungkapkan perasaannya? 

"Tapi, aku tidak akan memaksa kamu untuk menerima perasaan ini. Aku cukup tahu diri dan tahu posisiku di sini."

"Pak...." 

"Tidak perlu memberikan alasan. Kamu lihat Tiara." Kelana menunjuk Tiara yang tengah menonton tv ditemani boneka pemberian Anji.

Pandangan Kanaya pun mengikuti arah tunjuk Kelana.

"Darah akan tetap lebih kental daripada air. Ikatan batin antara seorang anak perempuan dan ayahnya lebih kuat dari apa pun termasuk kehadiranku yang bukan apa-apa."

"Pak ...." Kanaya mencoba membalas, tapi hanya kata itu yang selalu keluar dari mulutnya.

"Aku menyukaimu itu nyata dan jika kamu datang padaku, aku akan dengan senang hati menerimamu dan juga Tiara, tapi itu mustahil bukan, Nay?"

Kelana memang sudah merencanakan untuk menyatakan perasaannya pada Kanaya sebelum dia pergi. Entah wanita di depannya ini akan menerima atau menolak. Dia sudah tidak peduli. Dirinya hanya ingin pergi tanpa membawa beban apa pun. Melepaskan apa yang harus dilepaskan.

Kanaya semakin terdiam. Laki-laki yang sedang duduk di depannya ini memang baik dan perhatian. Dia bukan wanita bodoh yang tidak tahu bentuk perhatian seorang Kelana padanya bukan hanya sebatas seorang teman saja. Namun, Kanaya bisa apa?

Wanita itu menatap sosok putrinya, mengingat kembali bagaimana Tiara bahagia saat bertemu dengan Anji dan saat itu pula sosok Kelana pun sudah diabaikan. Memang benar ikatan darah takkan pernah putus bagaimanapun caranya. Apalagi dari dulu Tiara selalu mendamda sosok ayah kandungnya.

"Maaf, Pak." Hanya kata itu yang mampu dia ucapkan.

"Tidak perlu minta maaf karena tidak ada yang salah di sini. Mungkin waktunya saja yang tidak tepat."

Kelana menarik napas. Ada rasa lega dalam hatinya. Dia sadar jika sebuah perasaan tidak bisa dipaksakan. Namun, rasa suka tetap bisa dinyatakan entah diterima ataupun tidak. Hanya membutuhkan sebuah keberanian saja.

"Bagaimanapun juga Tiara berhak bahagia, berhak memiliki sebuah keluarga yang sempurna. Ayah dan ibu yang lengkap. Dia berhak tumbuh di lingkungan yang penuh dengan kasih sayang. Masa depannya masih panjang. Kita sebagai orang dewasa tidak boleh egois hanya mementingkan keinginan diri sendiri."

Kanaya mearsa tertohok dengan ucapan Kelana. Selama ini, dia terlalu egois. Terlalu memikirkan dirinya sendiri dan lebih jahatnya lagi itu dia lakukan atas nama Tiara. Padahal anak sekecil Tiara tidak tahu apa-apa. Tidak tahu masalah yang dihadapi oleh ibunya. 

"Aku bukan bermaksud menggurui, bukan hakku untuk melakukan itu, tapi aku akan bahagia bila kamu dan Tiara juga bahagia. Dan jika suatu hari nanti bahagia itu tidak kamu dapatkan, kamu bisa datang padaku."

Kanaya merasa tersentuh dengan semua yang telah diucapkan Kelana. Kenapa dalam kehidupannya, dia harus bertemu dengan laki-laki sebaik Kelana dan itu pun sudah terlambat. Meskipun tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu, tapi Kanaya terlalu takut untuk melakukannya. Katakanlah dia pengecut, dan yang pasti kisahnya dulu belum usai. Kisah lama yang mungkin bersemi kembali.

"Terima kasih." Tidak ada kata lagi yang mampu dia ucapkan. Bahkan mungkin kata tersebut tidak layak untuk  diucapkan.

"Tidak perlu berterima kasih, aku boleh memegang tanganmu," pinta Kelana.

Kanaya terdiam sejenak mendengar permintaan Kelana, tapi setelah itu dia mengangguk.

Kelana tersenyum simpul kemudian meraih kedua tangan Kanaya. Menggenggamnya dengan erat seolah enggan untuk melepaskan. Matanya menatap lekat pada manik Kanaya.

"Terima kasih telah hadir dalam hidupku dan mengisi kekosongan hatiku. Aku bukan mau menyerah sebelum berperang, tapi aku tak bisa melihat hati seorang anak kecil terluka. Mencintai tidak harus memiliki, bukan?"

Kanaya hanya mampu diam dan menatap Kelana. Ya Tuhan, kenapa tidak ada tempat untuk laki-laki di depannya ini, bahkan setelah apa yang dia lakukan selama ini.

"Kamu harus janji untuk bahagia dan membahagiakan Tiara," pinta Kelana dengan sungguh-sungguh.

Ragu, tapi kemudian Kanaya mengangguk.

"Aku akan pergi dengan tenang dan tanpa menanggung beban apa pun. Semua yang ingin kukatakan telah terucap. Kamu harus lebih berani lagi menghadapi kenyataan. Memaafkan dirimu sendiri dan memulai hidupmu yang baru."

Mata Kanaya mulai berkaca-kaca, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa berdoa, semoga suatu saat laki-laki di hadapannya ini akan mendapatkan seorang wanita yang dengan tulus mau mencintai dan menyayanginya. Bukan wanita seperti dirinya.

"Aku bukannya tidak mau berjuang untuk cinta, hanya saja mungkin sudah cukup langkahku sampai di sini saja. Yang harus selalu kamu ingat, aku akan terus menyayangi kamu dan juga Tiara sampai kapan pun."

Setelah mengucapkan hal tersebut, Kelana kemudian mencium tangan Kanaya sedikit lebih lama. Kanaya pun tersentak dengan apa yang tengah dilakukan oleh Kelana, tapi dia tidak ingin merusak momen dengan melarang atau bahkan menarik tangannya yang saat ini dicium. Biarkan saja, mungkin ini adalah hal terakhir yang diinginkan laki-laki itu.

"Pak," panggil Kanaya lirih.

Kelana pun mendongak, melepaskan ciumannya, tapi tetap menggenggam tangan Kanaya. Matanya menatap wajah ayu Kanaya. Kelana mengamati dengan saksama seolah ingin mematrinya dalam hati. Dia ingin ketika tidak bisa bertemu dengan Kanaya, dirinya masih ingat dengan wajah ayu di depannya ini.

"Maaf, kalau aku sudah melampaui batas. Jaga diri baik-baik. Semoga kamu dan Tiara selalu bahagia."


*****

Maaf lama tidak update karena menulis Bab-bab akhir itu bener-bener sulit.

Saya tidak yakin bab kali ini akan bisa memuaskan para readers semua. Tapi, memang seperti ini adanya.

Happy Reading


Vea Aprilia


Sabtu, 15 November 2019



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top