KeEmpatpuluhLima
Kanaya menatap cincin emas putih bertahta berlian di jari manisnya dengan gamang. Pasalnya, dia belum memberikan jawaban apa pun. Sebenarnya, dia sudah melepaskan cincin pemberian Anji tersebut, tapi ketahuan oleh Tiara dan gadis kecil itu memasangkannya kembali. Tiara juga berkata jika Kanaya tidak boleh melepaskan cincin pemberian ayahnya. Entah, itu pemikiran Tiara sendiri atau hasutan dari Anji, tapi hal tersebut berhasil membuat Kanaya dilema. Putrinya bahkan berencana mogok makan saat Kanaya memberikan penjelasan.
Sikap Tiara akhir-akhir ini juga sedikit berubah. Bukan lagi Tiara yang penurut jika Kanaya yang menasihati. Akan tetapi, jika Anji sudah bicara maka Tiara akan patuh. Entahlah, Kanaya sendiri juga bingung, magnet apa yang diberikan oleh Anji hingga Tiara seperti itu. Mungkin karena selama ini putrinya tidak mendapatkan kasih sayang dari Anji.
"Bunda," panggil Tiara yang sudah cantik dengan mengenakan gaun princess berwarna merah muda dan bando dengan warna senada.
"Iya, Sayang."
"Bunda sudah siap? Ayah udah nungguin."
Malam ini mereka berencana untuk makan malam di restoran. Kanaya sama sekali tidak bisa menolak. Apalagi saat Tiara mulai merengek. Ah, kehadiran Anji membuat perubahan yang begitu besar pada diri putrinya.
Akhirnya, Kanaya keluar dengan digandeng tangan kecil Tiara. Dia hanya mengusapkan mek-up tipis di wajahnya. Dan memakai gaun pemberian Anji. Sekali lagi dia tidak bisa menolak barang-barang pemberian Anji. Gaun berwarna silver di bawah lutut dengan atasan broklat, sungguh membuat Kanaya terlihat semakin cantik dan menawan.
"Kamu cantik, " puji Anji setelah Kanaya mendekat.
"Tiara juga cantik," ucap Tiara tak mau kalah.
Anji tersenyum lalu menggendong Tiara. "Iya, anak ayah yang paling cantik."
Tiara yang memakai gaun princess berwarna pink senada dengan pita dan sepatunya juga. Terlihat semakin cantik dan menggemaskan.
"Ayo." Anji meraih satu tangan Kanaya sambil menggendong Tiara. Mereka pun menaiki mobil menuju restoran yang dituju.
***
Kanaya tercengang setelah mobil yang mereka naiki, berhenti di depan sebuah bangunan bertingkat. Dia ingin bertanya, tapi diurungkan karena seorang pelayan sudah membukakan pintu untuknya.
"Ayo," ajak Anji.
Kanaya masih menatap sekeliling. Jujur, dia sangat terkejut. Haruskah, mereka makan malam di hotel berbintang seperti ini. Apa ini tidak terlalu berlebihan? Namun, mengingat siapa Anji, tentu saja sebuah makan malam haruslah berkelas.
"Kita makan di sini, Yah?" tanya Tiara dengan riang.
"Iya, Sayang."
"Wah, keren."
Setelah menaiki lift, akhirnya mereka sampai di sebuah ruangan VIP. Seorang pelayan membantu membukakan pintu untuk mereka.
Kaki Kanaya berhenti melangkah ketika mendapati pemandangan yang sungguh tidak diduga. Wajahnya mendadak pias. Pantas saja Anji mengajaknya untuk makan malam di restoran berbintang dan memberikannya juga Tiara baju yang bagus. Ternyata laki-laki itu mempunyai rencana lain.
"Kalian sudah datang?" sapa seorang wanita yang tadinya duduk lalu berdiri setelah melihat kedatangan Anji, Kanaya serta Tiara.
"Maaf, kami telat, Ma, Pa," balas Anji kemudian mengecup pipi wanita yang dipanggilnya mama tersebut. Sedangkan laki-laki yang dipanggilnya papa hanya berdeham saja.
Kanaya semakin dibuat terkejut.
"Bun," panggil Tiara yang membuat Kanaya langsung tersadar.
Anji yang melihat Kanaya dan Tiara yang masih berdiri di ambang pintu langsung menghampiri.
"Apa maksudnya ini, Sat?" tanya Kanaya lirih, tapi penuh dengan tekanan.
"Maaf, tapi aku harus melakukan ini."
Kanaya menatap Anji tajam, tapi laki-laki itu seolah tidak memberikan respon. Bahkan sedikit rasa bersalah pun tak nampak.
Anji kemudian menuntun Tiara untuk mendekat pada orang tua Anji. "Kenalkan, ini Opa dan ini Oma," tunjuk Anji pada kedua orang tuanya.
"Opa," panggil Tiara lirih sambil mencium tangan laki-laki paruh baya, tapi masih terlihat gagah dengan setelan jas hitamnya. Laki-laki itu hanya mengusap pucuk kepala Tiara sejenak.
Lalu, gadis kecil itu beralih pada mamanya Anji. "Oma," panggilnya, sama seperti sebelumnya dia mencium punggung tangan wanita itu.
"Sayang." Mamanya Anji langsung menggendong kemudian menciumi pipi gembil Tiara dengan sayang. "Kamu cantik, nama kamu siapa?"
"Tiara, Oma," jawab gadis itu dengan polosnya.
Kanaya semakin tertegun dengan situasi di depannya. Dia masih setia berdiri dan hanya menjadi penonton.
"Ayo," ajak Anji yang entah sejak kapan sudah di sampingnya. Dia pun mengikuti langkah Anji walaupun dengan perasaan tidak nyaman.
"Ma, Pa, ini Kanaya."
Kanaya tersenyum dengan canggung. "Selamat malam Om dan Tante."
"Malam, Nak," balas papa Anji. Terlihat laki-laki separuh baya itu sedikit tersenyum ramah.
"Ayo duduk," ajak mamanya Anji.
"Mama tadi sudah memesankan makanan terenak di restoran ini."
"Makasih, Ma."
Sungguh Kanaya merasa tak nyaman. Ini bukan makan malam yang ia bayangkan sebelumnya. Dan bertemu dengan kedua orang tua Anji adalah suatu hal yang dia tidak pernah impikan.
"Jadi kapan kalian akan segera menikah?" tanya mamanya Anji sekonyong-konyong tanpa basa-basi terlebih dahulu.
Kanaya yang sedang meminum air putih langsung tersedak begitu mendengar pertanyaan dari mamanya Anji.
Anji yang melihat Kanaya terbatuk-batuk langsung mengusap punggung wanita itu dengan lembut. "Kamu nggak apa-apa?"
Kanaya menggeleng seraya memegang dadanya.
"Benar Ayah sama Bunda mau menikah, Oma?" tanya gadis kecil itu polos.
"Benar dong, Sayang."
Kanaya yang melihat Tiara masih di pangkuan mamanya Anji memberikan instruksi pada putrinya. "Sayang, sini."
"Gak apa-apa," balas mamanya Anji ramah.
"Tiara duduk sendiri, ya?" pinta Kanaya lagi. Tak enak rasanya dengan kedua orang tua Anji. Walaupun keduanya terlihat ramah.
Tiara pun mengangguk. Turun dari pangkuan mamanya Anji dan duduk di sebelahnya.
"Sebaiknya pernikahan kalian dipercepat," ucap laki-laki paruh baya yang sejak tadi hanya diam.
Belum selesai dengan pertanyaan dari mamanya Anji dan kini pernyataan dari laki-laki di depannya membuat Kanaya semakin terkejut.
"Inginnya seperti itu, Pa, Ma. Tapi, aku masih nunggu, gimana dengan Kanaya."
"Memangnya kenapa dengan Kanaya?" tanya mamanya Anji dengan tatapan selidik.
Anji menoleh pada Kanaya yang duduk di sebelahnya. "Aku pikir Kanaya belum siap."
"Belum siap?" Lagi-lagi mamanya Anji buka suara. Kali ini dengan menatap wajah Kanaya lekat.
Kanaya hanya bisa diam untuk saat ini. Entah ke mana perginya wanita yang tangguh itu.
"Sampai kapan itu? Apa kamu tidak melihat Tiara? Tiara semakin tumbuh besar." Laki-laki berwajah tegas itu pun ikut menyuarakan suaranya.
Kanaya tertunduk. Dia tahu betul, bagaimana tumbuh kembang Tiara selama ini dan perubahan pada putrinya sejak kehadiran Anji.
"Nak," panggil mamanya Anji dengan lembut.
Kanaya menatap wanita yang telah melahirkan Anji tersebut dengan lembut.
"Anji sudah menceritakan semunya dan kami sebagai orang tua yang telah membesarkan Anji merasa sangat bersalah. Harusnya dari dulu, Anji mencari kalian. Anji pernah bersalah, maka sekarang berikan satu kesempatan untuknya menebus salah dan dosanya padamu dan Tiara. Dan maafkan kami juga karena sebagai orang tua kami terlalu egois."
Kanaya tercengan dengan semua ucapan yang terlontar dari wanita itu. Tidak pernah menyangka jika keluarga Anji akan meminta maaf dan membuka pintu lebar-lebar untuknya dan Tiara masuk.
"Kami tidak akan memaksa jika kamu benar-benar belum siap. Tapi pikirkanlah Tiara," tambah mamanya Anji.
Kanaya menatap lekat wajah Tiara. Gadis kecil itu sedang asik menyendok spagheti lalu memakannya dengan lahap.
"Kami sudah merestui kalian. Lagipula mama juga sudah mulai sayang dengan Tiara," imbuh wanita itu sambil mengusap kepala Tiara.
Perasaan Kanaya sekarang sulit untuk dilukiskan. Haruskah dia bahagia atau malah sebaliknya. Dia tidak pernah bermimpi akan ada momen di mana kedua orang tua Anji memberikan restu bahkan menerima Tiara dengan hangat dan penuh kasih sayang.
Anji yang melihat keragu-raguan dari wajah Kanaya perlahan menggenggam tangan wanita itu. Laki-laki itu ingin menyalurkan sebuah keyakinan dalam hati Kanaya. Dan sekarang tinggal Kanaya.
Wanita itu melihat wajah Anji, lalu beralih pada Tiara yang sedang dilap mulutnya oleh omanya. Papanya Anji yang terseyum saat mendengar celotehan Tiara.
Tiba-tiba rasa hangat menjalar dalam hatinya. Gunung es yang selama ini menutupi hatinya perlahan mencair. Tembok kokoh yang ia bangun, perlahan runtuh oleh kehangatan keluarga Anji.
Mungkin ini saat yang tepat untuk menyongsong masa depan dan meninggalkan masa lalu.
*****
Ada yang nungguin Tiara?
Baaaanyakkkk... (ditimpuk berjamaah)
Maaf, baru dapat ilham wkwwkwk....
Oh ya ini udah menuju End wwwkkw....
Happy Reading....
Vea Aprilia
24072020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top