KeEmpatpuluhEmpat
"Ayaaah...!"
Tiara berteriak sambil berlari ke arah Anji yang berdiri di depan gerbang sekolahnya.
"Upss... anak ayah yang cantik." Anji langsung menyongsong tubuh mungil Tiara, memeluknya kemudian menggendong dengan rasa rindu yang sudah membuncah.
"Ayah kapan datang?" tanya Tiara yang sudah dalam gendongan Anji.
"Hari ini dan langsung jemput kamu."
Anji menggendong Tiara menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari gerbang. Laki-laki itu sengaja datang dari Jakarta untuk menemui putri tercintanya. Jauh dari Tiara membuatnya sangat rindu.
Kanaya yang baru saja sampai di depan gerbang sekolah Tiara, langsung tertegun melihat pemandangan di depannya.
"Bunda," panggil Tiara ketika melihat Kanaya.
Kanaya hanya membalas dengan senyuman lalu berpindah menatap laki-laki yang kini sedang menggendong putri kecilnya. "Kapan datang?"
"Baru saja dan lamgsung ke sini, jemput Tiara," jawab Anji diiringi sebuah senyuman. Tak bisa dipungkiri jika dia juga merindukan wanita di depannya ini.
"Ayah, Tiara laper."
Rengekan Tiara membuat Anji sedikit terperanjat karena terlalu asik menatap wajah Kanaya.
"Ayuk, kita cari makan. Tiara mau makan apa?" tanya Anji sambil membukakan pintu untuk putrinya.
"Ayam goreng," pekik Tiara kegirangan.
"Oke."
Anji menutup pintu mobil dan kembali ke hadapan Kanaya.
"Aku harus kembali ke kantor," ucap Kanaya sebelum Anji membuka mulut.
"Kamu nggak ikut makan siang bersama kami?" tanya Anji dengan dahi berkerut. Dia merasa jika wanita di depannya ini masih berusaha menghindarinya.
Kanaya menggeleng. "Maaf, tolong jaga Tiara. Jangan kasih minum minuman bersoda. Kalau sudah selesai tolong langsung pulang saja."
Usai mengucapkan itu Kanaya berbalik hendak menaiki motornya, tetapi tangannya dicekal.
"Tunggu, kamu tidak berpikir jika aku akan membawa lari Tiara, kan?" tanya Anji. Dia tidak begitu suka dengan perkataan yang baru saja diucapkan Kanaya. Seolah dia akan menculik anaknya sendiri.
Kanaya tersentak lalu menarik napas panjang. "Aku hanya tidak ingin Tiara terlalu capek. Lagipula, Tiara juga masih harus mengerjakan tugas sekolahnya."
Anji tersenyum kecil. "Aku tahu kamu masih khawatir. Tapi, kamu juga harus ingat, Tiara juga anakku. Kamu tenang saja, aku tidak akan membawa Tiara tanpa seijin kamu. Lagi pula, aku tidak akan membawa Tiara tanpa ibunya."
Setelah mengucapkan itu, Anji langsung masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Kanaya yang masih mematung.
******
Pukul 05:30 sore, Kanaya telah tiba di rumah. Dia melihat mobil yang digunakan Anji siang tadi terparkir di depan pintu gerbang rumahnya. Kanaya menarik napas kemudian berjalan masuk. Dari ambang pintu dia bisa mendengar suara Tiara dan Anji saling bersautan.
"Ayah, rambut Tiara biasa dikuncir dua oleh Bunda."
Kanaya membuka pintu dan masuk. Kakinya berjalan perlahan. Suara mereka semakin jelas terdengar berasal dari kamarnya.
"Bunda...!" pekik Tiara ketika melihat Kanaya sudah berdiri di depan pintu kamar.
Gadis kecil itu langsung berlari dan menghambur memeluk Kanaya. "Bunda, Ayah nggak bisa nguncir rambut Tiara."
Dahi Kanaya mengernyit. Dia melihat rambut anaknya yang sudah dikuncir satu, tapi tidak begitu rapi.
Anji hanya bisa menggaruk tengkuknya mendengar aduan putrinya.
"Yasudah, biar bunda yang nguncir rambutnya Tiara."
Kanaya masuk lalu meminta sisir yang dipegang Anji. Dengan sigap, tangan Kanaya menyisir rambut Tiara. Tidak sampai lima menit, rambut panjang Tiara telah dikuncir dua. Anji diam-diam menikmati momen di mana dia belum pernah lihat sebelumnya.
"Ayah, cantik, 'kan?" tanya Tiara mendekat ke arah Anji.
Tangan Anji pun langsung memeluk tubuh Tiara kemudian menciumnya. "Cantik. Putri ayah memang yang paling cantik."
"Makasih," ucap Anji seraya menatap Kanaya.
Kanaya tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak mengerti untuk apa Anji berterima kasih.
"Ayo, kita keluar, bunda mau mandi," ajak Anji sambil menggandeng tangan Tiara. Namun, Anji berhenti sebentar di samping Kanaya. "Terima kasih telah melahirkan Tiara." Dan sebuah kecupan mendarat di pipi Kanaya dengan cepat.
Anji sudah berlalu, tapi Kanaya masih saja mematung. Apa yang baru saja dilakukan Anji benar-benar membuatnya terkejut. Laki-laki itu semakin agresif dan itu membuat Kanaya semakin dilema.
Kanaya sudah selesai mandi dan berganti baju. Dia bergegas menuju dapur, kakinya terhenti tatkala melewati ruang tamu dan melihat pemandangan di mana Anji sedang membantu Tiara mengerjakan tugas. Laki-laki itu terlihat begitu sabar dan telaten. Puas memandang mereka, Kanaya langsung masuk dapur, membuka kulkas dan mengambil bahan makanan untuk dimasak. Dia mengambil ayam yang sudah difilet dan dua buah jagung. Rencana, dia akan memasak ayam bumbu kecap dan juga sup jagung. Tiara sangat suka kedua masakan tersebut.
Kanaya sudah larut dalam dunianya sehingga tak menyadari jika Anji sudah duduk di salah satu kursi ruang makan. Walaupun dapur dan ruang makan jadi satu, tapi posisi Kanaya yang membelakangi, sehingga wanita itu tidak sadar sedang diperhatikan.
Senyum terukir di bibir Anji. Dia seperti memiliki keluarga kecil. Ia membayangkan Kanaya yang sedang memasak adalah istrinya. Anji semakin tersenyum lebar. Dia tidak ingin hanya membayangkan saja. Semua itu harus segera diwujudkan. Apa pun akan dia lakukan agar impiannya terwujud.
Kanaya tersentak ketika berbalik dan melihat Anji yang sedang duduk sambil memerhatikannya. Entah sejak kapan laki-laki itu sudah duduk di sana karena dia sibuk dengan bahan makanan yang akan dimasak.
Kanaya yang merasa canggung langsung berbalik kembali. Dengan cepat dia mengalihkan pikirannya dan saat membuka tutup panci tak sengaja terjatuh hingga tangan Kanaya terkena uap air yang mendidih.
Anji yang terkejut, langsung berdiri dan mematikan kompor. "Kamu nggak apa-apa, Nay?" tanya Anji dengan raut wajah khawatir. Dia segera meraih tangan Kanaya dan menyalakan kran. Membilas tangan Kanaya di bawah air mengalir.
Kanaya merasa tidak nyaman langsung menarik tangannya. "Aku bisa sendiri."
Anji yang mengerti kalau Kanaya masih menjaga jarak darinya, langsung mundur. Dia berjongkok untuk mengambil tutup panci yang jatuh.
"Bunda kenapa?" tanya Tiara yang sudah berada di belakang Kanaya.
"Bunda nggak apa-apa kok, Sayang. Tiara belajar lagi, ya?" pintanya.
Gadis kecil itu mengangguk kemudian kembali ke ruang tamu.
"Terima kasih," ucap Kanaya saat Anji menyodorkan tutup panci.
"Nay."
Kanaya tidak menjawab, seolah tidak mendengar panggilan dari Anji. Dia kembali fokus pada masakannya. Menyalakan kompor kembali.
"Sampai kapan kamu akan seperti ini?"
Sebuah pertanyaan membuat gerakan Kanaya yang akan memasukkan garam ke panci terhenci sejenak.
"Aku tidak akan pernah menyerah, Nay."
Lagi-lagi Kanaya tidak merespon apa pun. Dia masih fokus dengan sup jagung di depannya.
"Kamu tahu, aku tadi membayangkan jika kita ini adalah kerluarga. Kamu sebagai seorang istri yang sedang memasak untukku dan Tiara. Tapi, aku ingin semua itu bukan hanya banyangan. Aku ingin mewujudkannya."
Gerakan tangan Kanaya yang sedang mengaduk telur dalam sup jagung terhenti.
"Aku tahu, jika mungkin kamu belum bisa memaafkanku, tapi setidaknya pikirkan tentang Tiara. Dia ingin kita menjadi keluarga yang sebenarnya."
Kanaya masih tidak merespon perkataan Anji. Tangannya dengan gesit mematikan kompor dan beralih pada ayam yang sudah dia rendam dengam bumbu. Mengambil teflon kemudian menyalakan kompor kembali. Seolah semua perkataan Anji hanya sebuah suara yang keluar dari kaset rusak.
"Nay."
Kanaya terlonjak karena terkejut ketika Anji yang kini sudah berlutut di sampingnya. Tubuhnya seperti terkunci di tempat. Oh astaga, Kanaya mengembuskan napasnya kasar. Ini adalah hal gila.
"Bangun, Sat," lirih Kanaya.
Anji menggeleng. "Aku tidak akan bangun sebelum kamu mau menerimaku lagi."
Laki-laki itu lalu mengeluarkan sebuah kotak beledru dari saku celananya.
"Menikahlah denganku, Nay."
Kanaya memejamkan mata, mematikan kompor kembali. Acara memasaknya telah gagal.
"Ayah ngapain?" tanya Tiara yang tiba-tiba sudah berada di dekat mereka. Gadis kecil itu terlihat bingung dengan apa yang tengah dilakukan oleh Anji.
Anji tersenyum lalu menarik tubuh Tiara dengan tangannya yang tidak memegang kotak. "Ayah sedang bujuk bunda."
Gadis kecil itu masih kebingungan. Mata polosnya melihat ke arah Anji dan Kanaya bergantian.
"Ayah mau ngasih Bunda cincin?" tanya Tiara saat melihat cincin yang dipegang oleh Anji.
Anji mengangguk. "Iya, tapi sepertinya bunda nggak mau terima."
Tiara langsung mendongak untuk melihat ke arah Kanaya. "Kenapa, Bun?" tanyanya polos.
Kanaya menelan ludah. Bingung harus menjawab apa. Tiba-tiba tangan kecil Tiara sudah memegangi tangannya. "Ayo, Bun, terima."
Anji menarik sudut bibirnya, melihat Tiara berada di pihaknya. Buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya.
Kanaya berjongkok agar bisa sejajar dengan Tiara. Dia harus segera memberi pengertian pada putrinya. Drama seperti ini harus segera diakhiri.
"Sayang," ucap Kanaya lembut pada Tiara. Lalu menarik napas, merangkai kata dalam otaknya agar putrinya bisa mengerti. "Tangan Bunda masih kotor, jadi nggak bisa nerima cincin dari ayah."
Kalimat macam apa yang keluar dari mulut Kanaya dan wanita itu pun langsung merutuki kebodohannya. Tiara tidak sepolos itu.
"Yaudah, cuci tangan dulu," ucap bocah itu dengan polosnya.
Anji hanya bisa tersenyum mendengar alasan yang diberikan oleh Kanaya dan kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut Tiara.
"Sayang." Kanaya mulai kelabakan. Dia melirik Anji yang sedang tersenyum ke arahnya.
"Sini." Tiara menuntun tangan Kanaya menuju wastafel. Sedikit berjinjit dia membuka kran dan membantu Kanaya mencuci tangan dengan sabun. Setelah itu, gadis kecil itu mengambil serbet dan mengelap tangan ibunya. "Sudah."
Anji semakin takjub dengan apa yang dilakukan putrinya. Tiara begitu cerdas. Semesta juga mendukung dengan adanya Tiara.
Kanaya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, menurut saja dengan apa yang dilakukan oleh putrinya. Kembali gadis berumur tujuh tahun itu menuntun ibunya ke hadapan Anji.
"Sini." Tiara menarik tangan Kanaya untuk disodorkan pada Anji.
Anji yang paham dengan yang dilakukan oleh putrinya dengan cepat mengambil cincin itu dan memasangkannya di jari manis Kanaya.
Kanaya hendak menarik tangannya, tapi pegangan Tiara membuatnya urung.
"Horeeeee...! sorak Tiara kegirangan setelah cincin itu terpasang di jari manis ibunya.
Anji segera meraih tubuh Tiara lalu menggendongnya, menciuminya. "Terima kasih, Sayang," ucap Anji dengan raut wajah bahagia.
Kanaya masih gamang. Kini cincin putih bermata berlian itu melingkar di jari manis kirinya. Hatinya galau, haruskah dia melepaskan cincin itu atau membiarkannya?
******
Hallo-hallo pembaca yang budiman. Semoga kita semua selalu diberi kesehatan.
Maaf, baru bisa update karena sibuk mengejar masa depan cieeeeeee.... (othornya minta ditimpuk)
Selamat membaca, semoga part ini bisa mengobati rasa kangen kalian pada Tiara. Doakan agar ide lancar dan bisa menulis part selanjutnya.
happy reading dan selamat menjalankan ibadah puasa.
vea aprilia
TA, Selasa, 06-05-2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top