KeempatpuluhDua
WARNING: SIAP-SIAP BAPER!
*******
Setelah tiga hari tidak masuk kerja membuat pekerjaan Kanaya menumpuk. Terlihat banyak tumpukan map dan kertas di meja kerjanya. Wanita itu larut dalam lembar demi lembar naskah hingga melupakan drama yang telah terjadi di Jakarta.
"Akhirnya, setelah beberapa bulan bisa cuci mata tiap hari, beberapa hari lagi bakalan tamat."
Kanaya yang sedari tadi menekuni pekerjaannya mendadak berhenti setelah mendengar celetukan salah satu teman kerja yang duduk di sebelahnya. Namun, dia yang tidak mengerti hanya bisa tersenyum kecil kemudian melajutkan pekerjaanya kembali.
"Pak Lana oh Pak Lana walaupun galak, tapi 'kan ganteng bisa buat cuci mata."
Kali ini dahi Kanaya mengernyit setelah mendengar nama atasannya disebut. Dia merasa ketinggalan suatu informasi.
"Kamu sih enak, Nay."
Kanaya yang merasa namanya dipanggil, akhirnya benar-benar menghentikan pekerjaannya. "Kenapa sama aku?"
"Iya, kamu 'kan sering diantar jemput Pak Lana sampai seluruh kantor ngira kalian itu pacaran."
Memang itu benar, tapi dia tidak mengira kalau ada rumor seperti itu. Kanaya pikir, hubungannya dengan itu normal jadi dia tidak pernah memikirkan perkataan orang lain.
"Tapi, kamu kok kelihatan nggak sedih gitu?"
"Sedih?" tanya Kanaya bingung.
"Iya, sedih, 'kan Pak Lana mau pindah."
Astaga. Salahkan dirinya yang terlalu cuek dengan keadaan, bahkan setelah laki-laki itu mengantarnya, dia tidak pernah mengirim kabar. Begitu pun sebaliknya. Dia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri hingga melupakan laki-laki yang terlalu baik itu.
"Pindah? Ke mana?" tanya Kanaya yang tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
Risa yang sejak tadi bicara mendadak diam. "Kamu nggak tahu?"
Kanaya menggeleng lemah.
"Oh iya, aku lupa kalau kamu udah lama nggak masuk kerja. Jadi mungkin belum tahu, tapi apa Pak Lana nggak ngasih tahu kamu, 'kan kamu dekat bahkan sama anak kamu juga?" cerocos Risa.
Kanaya termangu sebentar kemudian menggeleng lemah. Apa yang sedang terjadi sebenarnya di kantornya?
"Eh... eh itu lihat." Risa mencolek-colek lengan Kanaya sambil menunjuk Kelana yang berjalan dengan seorang laki-laki yang sudah berumur. Seorang laki-laki yang bertubuh sedikit gemuk dengan rambut yang sudah menipis.
"Itu yang bakalan gantiin Pak Lana, hilang sudah yang fresh ganti dengan aki-aki udah lumutan."
"Hush...," potong Kanaya.
Tak berselang lama Kelana kembali masuk ke ruang kerjanya. Dan laki-laki itu seolah tak melihat kehadiran Kanaya yang sudah kembali bekerja.
"Bentar, ya."
"Eh, Nay."
Kanaya buru-buru masuk ke ruangan Kelana tidak menghiraukan lagi panggilan Risa.
"Maaf, Pak mengganggu sebentar," ujar Kanaya setelah masuk dan berdiri di hadapan Kelana.
"Oh, kamu sudah kembali bekerja," balas Kelana yang terkesan biasa saja saat melihat Kanaya.
"Iya, Pak."
"Silakan duduk. Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya yang terdengar sangat formal di telinga Kanaya. Dan Kanaya merasa aneh dengan situasi sekarang.
"Maaf, Pak, apakah benar Bapak akan pindah?" tanya kanaya langsung karena sudah sangat penasaran.
Kelana tersenyum kecil sebelum menjawab, "Iya, saya akan pindah."
Mata Kanaya terbelalak, tak menyangka akan mendengar langsung jawaban yang masih belum bisa dipercayai.
"Kenapa?"
Bodoh. Dia merutuki pertanyaan konyolnya. Ini semua pasti karena dirinya, tapi apakah tidak dia terlalu percaya diri untuk hal ini. Kelana pindah karena dirinya? Mungkin, dia harus cepat-cepat menghapus pikiran konyolnya itu.
Kelana semakin tersenyum lebar. Baru kali ini, Kanaya melihat senyum tulus Kelana yang seperti tanpa beban.
"Kenapa kamu jadi penasaran?" tanya Kelana balik.
"Oh, itu ...." Kanaya salah tingkah, bingung harus menjawab apa. Bukankah, semua itu bukan urusannya, tapi kenapa sekarang malah jadi penasaran.
"Saya pindah karena mendapatkan tawaran kerja sekaligus sekolah lagi di luar negeri," ucap Kelana yang melihat sikap aneh dan bingung Kanaya.
"Oh." Ada nada kecewa yang terdengar dari balasan Kanaya.
"Kenapa? Kok kamu kelihatan tidak begitu senang?"
Kanaya buru-buru menggerakkan kedua tangannya di depan. "Saya senang kok, Pak, tapi kenapa mendadak?"
"Tidak mendadak. Saya sudah mendapatkan tawaran ini dari dua bulan yang lalu."
Kanaya ingin menanyakan apakah laki-laki ini menerima tawaran itu karena dirinya. Pertanyaan konyol yang tidak mau hilang dari pikirannya.
"Bagaimana kabar Tiara?" Suara Kelana mengejutkan Kanaya yang sedang teremenung.
"Ba-baik, Pak."
"Pasti, dia senang sekali ketemu sama ayahnya."
Kanaya tersenyum canggung kemudian mengangguk pelan.
Wanita itu merasa suasana saat ini sangat canggung antara dirinya dan Kelana. Dia merasa seperti dua orang asing yang tidak terlalu dekat.
"Baguslah kalau begitu. Apakah saya masih boleh mengunjunginya sebelum pergi ke luar negeri?"
Pertanyaan Kelana membuat rasa sesak tiba-tiba menjalar dalam dada Kanaya. Beginikah akhir hubungan mereka? Ah, Kanaya apa yang kamu harapkan, bukankah kamu sudah menolak laki-laki baik hati di depan kamu ini. Kenapa kamu seolah jadi korban dan minta dikasihani... batinnya menggerutu.
"Tentu saja, Pak. Tiara juga pasti senang kalau Bapak datang."
"Iya, tapi mungkin tidak sesenang dulu."
Mendengar itu membuat rasa bersalah semakin menumpuk di dalam hati Kanaya. Dia mungkin telah membuat patah hati laki-laki di depannya ini. Namun, apakah hubungan pertemanan mereka harus berakhir kaku seperti ini. Ah, Kanaya semakin tidak nyaman dengan suasana saat ini.
******
Kelana mengembuskan napas panjang setelah kepergian Kanaya. Hatinya bahagia sekaligus nyeri melihat wanita yang disukainya. Dia sebenarnya rindu setelah beberapa hari tidak bertemu. Ingin rasanya, dia mengetuk pintu rumah itu, tapi keberanian yang ia hanya miliki hanya sekadar lewat saja.
Dia sadar sikapnya tadi di depan Kanaya terlalu kaku, tapi itu harus dilakukan agar tidak bertambah luka dalam hatinya. Mungkin ini adalah keputusan yang terbaik untuk mereka.
Kelana bukan menyerah sebelum berperang hanya saja, darah lebih kental daripada air. Hubungan ayah dan anak tidak bisa dihapuskan begitu saja. Apalagi saat melihat bagaimana begitu antusiasnya Tiara ketika ingin bertemu ayah kandungnya. Dia sadar, betapa pun baik dirinya, tetap saja tidak bisa dibandingkan dengan hubungan yang mengalir di setiap titik nadi.
****
"Pak Lana?" Kanaya terkejut melihat atasannya sudah berdiri di depan pintu rumahnya pagi-pagi sekali.
"Kebetulan saya ada urusan nanti siang, jadi saya sempatkan untuk mampir. Saya kangen sama Tiara," jelas Kelana dengan wajah berbinar.
Kanaya sempat termangu sebentar mendengar penjelasan Kelana.
"Siapa Bunda?" tanya Tiara yang tiba-tiba muncul di ruang tamu.
"Hai Cantik," sapa Kelana dengan lembut. Ada rasa rindu yang membuncah dalam hatinya. Bagaimana pun, gadis kecil telah membuat hari-harinya lebih berwarna.
"Ayah Lana... Eh salah Om," ujar Tiara sambil menutup mulutnya karena salah memanggil Kelana.
Kelana tersenyum kecil. "Nggak apa-apa kok kalau masih mau manggil om dengan sebutan ayah."
Kanaya merasa tidak enak dengan situasi sekarang. Pasti laki-laki di depannya ini juga merasa tidak nyaman. Dia tidak pernah menduga jika putrinya akan dengan mudah melepaskan sebutan ayah untuk Kelana setelah tahu siapa ayah kandung sebenarnya.
"Tapi, Tiara udah punya Ayah."
"Tiara, nggak boleh gitu," potong Kanaya cepat.
"Tidak apa-apa. Sini," panggil Kelana sambil merentangkan kedua tangannya untuk Tiara.
Tiara kemudian berlari dan memeluk Kelana.
"Ayah eh maksudnya Om kangen banget sama Tiara," ujar Kelana setelah berhasil menggendong Tiara dan membawanya duduk di sofa. Laki-laki itu mengkoreksi kalimatnya, dia tahu panggilan 'ayah' memang bukan untuk dirinya lagi.
"Tiara juga kangen sama Om," balas sambil bermanja di pangkuan Kelana.
Kelana semakin mempererat pelukannya pada Tiara setelah mendengar balasan dari mulut gadis kecil itu. Kanaya yang melihat adegan di depannya hanya bisa diam. Andaikan waktu dapat terulang kembali, tapi tetap saja itu tidak mungkin.
"Om-Om," panggil Tiara dengan penuh semangat.
"Iya. Ada apa, Sayang?"
"Om, Tiara mau cerita. Om dengerin, ya?"
"Oke. Tiara mau cerita apa?" tanya Kelana mulai penasaran.
"Tiara udah ketemu sama Ayah di Jakarta, Om."
Kelana hanya ber "Oh" ria sebagai balasan. Dia tidak tahu harus memberi tanggapan seperti apa.
"Om pasti udah kenal sama ayahnya Tiara. Dulu pernah datang pas ulang tahun Tiara. Om ingat?"
Kelana mengangguk sebagai jawaban.
"Tiara senang banget ketemu sama Ayah."
"Kalau Tiara senang, Om juga senang," balas Kelana.
Kelana merasa kesempatan untuknya sudah tidak ada lagi. Gadis kecil dalam pangkuannya terlihat sangat bahagia ketika bertemu dengan ayah kandungnya. Sedangkan dirinya? Tetap saja bukan apa-apa. Hanya seorang laki-laki asing yang tiba-tiba muncul dan mengisi kekosongan di hati gadis kecil ini. Namun, sekarang kekosongan itu telah berubah menjadi sebuah kebahagiaan yang berlimpah ruah. Tentu saja itu semua bukan karena dirinya.
"Oh, ya sampai lupa," ucap Kelana dengan nada ceria.
"Lupa apa Om?" tanya Tiara penasaran.
"Sebenarnya, Om ke sini mau pamit."
"Pamit ke mana Om?" tanya Tiara dengan wajah polosnya.
"Om mau pergi."
"Ke mana? Jauh nggak?"
"Jauh karena harus naik pesawat. Tiara udah pernah naik pesawat, 'kan?"
Tiara mengangguk. "Rumah ayah juga jauh dan harus naik pesawat dulu. Apa Om mau pergi ke tempat ayah."
Kelana tersenyum kecil kemudian menggeleng. "Lebih jauh lagi, Sayang."
"Ke mana? Lama nggak?" tanya Tiara yang mulai terlihat sedih.
"Om belum tahu lama atau enggak."
"Apa Bunda harus ikut?" Tiara melihat Kanaya yang sedari tadi hanya duduk dan menyimak percakapan dua orang beda generasi di depannya.
"Emang boleh kalau Bunda ikut Om?"
Tiara langsung menggeleng tegas. "Enggak boleh. Nanti Tiara sama siapa?"
"Kan Tiara udah sama ayah sekarang. Jadi, bundanya sama Om aja."
Wajah Tiara tiba-tiba mendung. Bibirnya mulai cemberut. "Enggak boleh, pokoknya enggak boleh! Ayah udah janji sama Tiara kalau mau tinggal bareng, nanti!" tegas Tiara dengan suara lantang.
Kelana hanya bisa mendesah. Selesai sudah.
"Tiara, nggak boleh ngomong gitu," timpal Kanaya yang sudah merasa sangat tidak nyaman.
"Tidak apa-apa," balas Kelana maklum.
Kanaya merasa tambah bersalah. Entah kenapa laki-laki di depannya ini belum bisa membuat hatinya terbuka. Padahal, selama ini Kelana bersikap sangat baik padanya juga Tiara.
"Yaudah, kalau bundanya nggak boleh ikut sama om. Om akan pergi sendiri," ucap Kelana dengan nada getir.
"Om jangan pergi," rajuk Tiara dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Kok nggak boleh pergi?" tanya Kelana penasaran.
"Nanti siapa yang ngajarin Tiara naik sepeda lagi?"
Kelana mendesah kemudian tersenyum. "Kan udah ada ayahnya Tiara."
"Ayah rumahnya jauh, nggak bisa tiap hari ketemu kayak Om."
"Lho katanya tadi mau tinggal bareng ayah?" Kelana merasa Tiara sangat menggemaskan.
"Ayah janji, tapi nggak tahu kapan." Gadis kecil itu terlihat sedih. Wajahnya menunduk.
Kelana yang melihat perubahan sikap Tiara langsung memeluk gadis kecil kesayangannya dengan penuh rasa cinta.
"Kalau gitu, mau nggak kalau Tiara tinggal sama om?" pancing Kelana. Sebenarnya, dia hanya mencoba. Istilahnya, coba-coba berhadiah. Jika berhasil maka anda akan beruntung, jika tidak, itu tandanya anda belum beruntung.
Tiara terdiam. Mata kecilnya menilisik wajah Kelana dalam-dalam. Sedangkan Kanaya tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya setelah mendengar penuturan Kelana.
"Sama Bunda juga?" tanya Tiara terlihat sedikit bingung dan ragu-ragu.
Kelana mengangguk. "Tiara, om sama bunda tinggal bareng. Jadi, setiap hari om bisa nganterin Tiara sekolah, nggak cuma ngajarin naik sepeda, om bisa ngajarin pakai sepatu roda dan yang lain yang Tiara mau."
Entah setan apa yang merasuki Kelana hingga bisa mengucapkan kalimat tersebut. Seperti sebelumnya, dia hanya mencoba, siapa tahu dia beruntung dan bisa meluluhkan hati gadis kecil dalam pangkuannya lagi.
Tiara tidak menjawab, tapi malah melihat ke arah Kanaya yang duduk di seberang. "Bunda mau?" tanyanya dengan wajah ragu.
Kanaya yang mendengar pertanyaan Tiara tidak bisa tidak terkejut. Doa bingung harus menjawab apa.
"Tiara," panggil Kelana lembut. "Kalau Tiara mau pasti bunda juga mau, jadi tidak usah tanya bunda lagi."
Kelana melirik sekilas ke arah Kanaya. Dalam hati ada kobaran semangat lagi untuk berjuang.
"Tapi, gimana dengan Ayah?" tanya Tiara. "Ayah udah janji untuk tinggal bareng."
Kelana tersenyum. Dia menarik napas sebelum menjawab, "Sekarang, terserah Tiara saja mau tinggal sama siapa, yang penting Tiara senang."
Tiara diam. Walaupun dia sudah menemukan sosok ayah kandungnya, tapi dalam hati dirinya juga menyayangi Kelana.
"Tiara bingung. Tiara sayang sama Ayah, sama Om juga, tapi.... Oh iya, kita bisa tinggal berempat. Ayah, Bunda, Tiara dan Om."
Mendadak suasana di ruang tamu tersebut hening setelah kalimat yang terlontar dari mulut kecil Tiara.
Apa itu mungkin?
*****
Udah baper belum?
Oh ya, ini udah panjang loh kalau masih ada yang bilang kurang panjang, saya suruh ngukur rel kereta yang lebih panjang.
Satu lagi untuk pembaca yang beruntung komentarnya saya posting di Instagram, bisa membaca di Ig saya #veaaprilia.
Bagi yang ingin membaca cerita saya bisa berkunjung di Dreame dengan nama akun yang sama Vea Aprilia. Terima kasih.
Happy Reading
Vea Aprilia
Senin, 21 October 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top