Keempat

Hari Senin telah tiba. Hari di mana acara pertemuan wali murid sekolah Tiara akan dilaksanakan. Naya sudah menyiapkan kejutan yang tidak terduga untuk putri tercintanya.

"Bunda, nanti Bi Indah datang kan?"  Kali ini Tiara tidak ingin kecewa lagi dengan penolakan Naya. Jadi, dia bertanya tentang Bi Indah yang akan menganggantikan bundanya nanti.

"Memang kenapa?" tanya Naya sedikit menggoda. Karena dia yang akan menghadiri acara tersebut bukan Bi Indah.

"Kan Bunda, nggak bisa datang." Suara Tiara lirih. Naya bisa mendengar bahwa putrinya itu sedang sedih karena dia tidak bisa hadir.

Tiara memang bukan anak yang suka meledak-ledak jika kemauannya tidak terpenuhi. Anak itu cukup pintar untuk tidak merajuk ataupun merengek. Dia sangat pengertian dengan kondisi bundanya saat ini.

"Baiklah kita berangkat sekarang?" tanya Naya yang sudah siap melaju di atas jok motornya.

Tiara mengangguk setelah melingkarkan tangannya ke pinggang Naya dengan erat dan menempelkan wajahnya pada punggung sang Bunda.

Lima belas menit kemudian mereka telah sampai. Namun, ada yang aneh. Biasanya Naya tidak pernah memarkirkan motornya di depan gerbang sekolah. Dia juga tidak pernah melepas helmnya ketika mencium Tiara. Gadis kecil itu memperhatikan sikap tidak biasa dari sang Bunda dengan saksama.

"Bunda, mau ke mana?"  tanya Tiara heran.

Hari ini pun bundanya terlihat berbeda. Kalau biasanya Naya memakai dengan celana jeans dan kemeja setiap hari kerja, tapi hari ini wanita itu mengenakan celana kain dan blazer berwarna hitam dengan kemeja putih di dalamnya. Sangat berbeda. Tiara pun sempat dibuat bingung.

"Kan bunda mau ikut pertemuan wali murid," jawab Naya sambil berjongkok merapikan anak rambut Tiara yang sedikit berantakan karena tertiup angin.

Timbul senyum dari bibir mungil Tiara saat mendengar perkataan Naya. Dia tidak menyangka jika bundanya yang akan datang.

"Beneran Bunda yang akan hadir,  bukan Bi Indah?" tanya Tiara memastikan karena masih belum percaya.

"Beneran dong. Masa Bunda bohong sih sama Tiara. Apa Tiara milih Bi Indah aja yang datang?"

Pertanyaan terakhir Naya mampu membuat wajah Tiara cemberut. "Tiara ingin Bunda."

Gadis kecil itu pun memeluk Naya dengan sangat erat. Terlihat senyum bahagia merekah dari bibir Tiara. Mata gadis kecil itu pun terlihat berbinar.

"Kerjaan Bunda?" tanya Tiara lagi setelah melepaskan pelukannya.

"Bunda udah minta izin kok, Tiara nggak usah khawatir."

Tentu saja sudah walaupun ditolak oleh manusia kutub itu. Naya tidak jadi minta izin ke pihak General Manajer, dia takut jika jawabannya nanti adalah sama. Namun, tentu saja jangan panggil Kanaya Sumitra jika tidak bisa nekat. Ya, Naya membolos untuk setengah hari dan telah mengirimkan pesan pada Risa agar disampaikan kepada yang terhormat bapak manusia kutub, bahwa dirinya akan masuk ke kantor setelah makan siang. Dia tidak akan ambil pusing dengan reaksi atasannya nanti, atau mungkin dirinya akan dimarahi. Masa bodoh, yang penting sekarang adalah melihat Tiara tersenyum bahagia karena kehadiran dirinya dalam acara wali murid.

Ternyata membuat Tiara bahagia itu sangat sederhana. Gadis kecil itu tidak berhenti untuk mengintip ke arah ruang pertemuan agar bisa melihat ibundanya. Dia masih belum percaya bahwa bundanya yang duduk di sana bukan Bi Indah seperti biasa.

"Itu Bunda kamu?" tanya seorang anak laki-laki bertubuh sedikit gendut. Di tangannya terdapat susu kotak rasa coklat yang mungkin hampir habis karena suara sedotan yang sangat keras.

"Iya, Bunda aku cantik, 'kan?" Tiara tentu saja ingin pamer pada semua teman-temannya. Dia juga ingin menunjukkan bahwa bundanya juga bisa hadir seperti ibu mereka.

"Iya, cantik," balas anak tersebut.

"Ayah kamu mana?" Sekarang giliran anak perempuan yang pakai aksesoris banyak banget, mirip toko berjalan yang menyela obrolan Tiara.

Tiara bingung mau menjawab apa. Setiap kali dia bertanya tentang sang ayah, pasti bundanya berkata jika ayah sibuk bekerja dan tidak bisa pulang untuk saat ini.

"Ayah aku sibuk kerja." Tiara yang tadinya tersenyum, sekarang jadi sedikit murung. Pertanyaan tentang keberadaan sang ayah selalu saja menjadi teka-teki untuk gadis kecil tersebut.

Sama seperti Naya yang haram saat ditanya tentang suami. Tiara juga merasakan hal yang sama jika ditanya tentang keberadaan sang ayah.

"Sayang, ada apa?" tanya Naya yang sudah keluar dari ruang pertemuan dan berjongkok di depan Tiara.
Putrinya terlihat murung sekarang. Berbeda dengan tadi pagi saat Naya bisa melihat bagaimana Tiara begitu senang dengan kehadiran dirinya.

"Bunda," panggil gadis kecil itu dengan suara lembut. "Kapan Ayah pulang?" 

Deg.

Satu pertanyaan yang mampu menghancurkan hati Naya jadi berkeping-keping. Mungkin ini yang dinamakan, sakit tapi tidak berdarah.

Dulu dia tidak pernah memikirkan jika anaknya nanti akan bertanya tentang ayahnya seperti hari ini. Naya hanya berpikir jika kehadiran dirinya cukup untuk melindungi gadis kecilnya. Namun, ternyata tidak. Dia salah. Ayah tetaplah orang yang tidak bisa dipungkiri atau dihilangkan begitu saja keberadaannya.

Kanaya sekarang mengerti. Bagaimanapun juga putrinya akan selalu merindukan sosok seorang ayah yang entah kapan bisa Naya wujudkan dalam bentuk nyata.

****

Sesuai janjinya Naya tiba di kantor setelah jam makan siang. Setelah mengantarkan putrinya pulang tentu saja. Dia segera memakirkan motornya dan bergegas masuk ke dalam gedung.

Kelana yang baru saja kembali dari bertemu klien untuk makan siang bersama, tak sengaja menangkap bayangan Naya yang baru saja masuk ke dalam gedung kantornya. Dia merasa penampilan wanita itu sangat berbeda hari ini. Laki-laki itu menggeleng sesaat sebelum turun dari mobil Pajero putih miliknya.

"Kanaya ke ruangan saya."

Baru saja Naya duduk belum lima menit, tapi si beruang kutub itu sudah menyuruhnya menghadap. Wah, sungguh mengejutkan. Mungkin kali ini dia akan kena marah karena bolos setengah hari.

"Sabar ya, Nay," ucap Risa sambil mengintip dari balik kubikelnya.

Naya membetulkan atasan blazernya kemudian berjalan ke arah ruangan Kelana dengan mantap. Dia tidak akan mundur. Memang dirinya pantas mendapatkan omelan.

Demi Tuhan. Naya sudah mempersiapkan diri, tapi kenapa tetap saja ada rasa gugup ketika berhadapan dengan manusia es di depannya saat ini.

"Ini adalah rekaman obrolan narasumber yang baru saja saya temui. Kamu bisa mulai untuk menulis artikelnya. Dia adalah ibu hebat dengan lima anak. Jadi, jangan permalukan saya dengan artikel yang tidak berbobot."

Kanaya hampir tidak percaya dengan semua yang baru saja didengarnya. Kelana, si manusia kutub itu tidak memarahinya? Ini adalah sebuah keajaiban, bukan? Apakah ini mimpi?

"Bapak tidak memarahi saya?" tanya Naya karena dia merasa itu janggal. Kelana tidak marah padanya adalah suatu kejanggalan yang patut dipertanyakan agar dia bisa tidur nyenyak malam ini.

"Untuk apa?  Apa kamu berbuat kesalahan?" tanya Kelana dengan mode dinginnya.

Naya buru-buru menggelengkan kepalanya. Dia akan benar-benar terlihat bodoh jika bertanya tentang ketidakhadirannya dalam rapat tadi pagi.

"Itu saja. Kamu bisa langsung bekerja."

"Baik, Pak."  Naya buru-buru mengambil rekaman tersebut dan akan keluar dari ruangan Kelana ketika suara berat laki-laki itu menghentikannya.

"Jangan ulangi lagi. Saya tidak mau bawahannya saya bolos tanpa alasan yang jelas." 

Kanaya membeku sesaat sebelum menjawab, "Baik, Pak."

Kanaya seperti hampir mati ketika masuk ke dalam ruangan Kelana. Dia yakin pasti akan dimarahi habis-habisan, tapi ternyata dugaannya salah. Laki-laki itu bahkan tidak membahas tentang aksi bolosnya dan hanya mengingatkan dirinya untuk tidak mengulangi hal yang sama.

Wah, ini benar-benar suatu keajaiban dunia yang harus dicatat dalam sejarah. Tanpa sadar Kanaya tersenyum lega. Semua ini dia lakukan hanya untuk Tiara, putri tercintanya sekaligus belahan jiwanya. Dia rela melakukan apa saja jika sudah berurusan dengan Tiara.

****

Anak tetaplah sebuah anugerah walaupun tanpa adanya ikatan pernikahan yang benar.
~Kanaya

*****

Happy Reading
Vea Aprilia
Sabtu, 01 Desember 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top