Keduapuluhtujuh

Anji sedang duduk di ruangan kantornya. Di terlihat sibuk menuliskan sesuatu yang sama berulang-ulang kali sejak setengah jam yang lalu. Kertas putih yang tergeletak di meja kini sudah penuh dengan sebuah coretan yang sama. Sebuah coretan yang sudah satu minggu ini sangat mengganggu pikirannya semenjak kembali dari Semarang.

Jakarta, 20 Desember 2013

Ya, tulisan itu yang sudah mengusik pikirannya. Banyak pertanyaan yang bermunculan dari dalam kepalanya. Dia bahkan menghitung jarak antara pertunangan, pernikahan kemudian hari di mana Tiara dilahirkan. Konyol bukan. Di saat seharusnya dia berkonsentrasi dengan pekerjaan, tapi malah fokusnya terpecah oleh sebuah tempat dan tanggal lahir.

Anji mengingat kembali kapan dirinya bertunangan kemudian menikah. Dia bertunangan pada bulan Mei lalu menikah pada bulan September setelah itu Tiara lahir pada bulan Desember. Tiara lahir tiga bulan setelah hari pernikahannya. Laki-laki itu benar-benar merasa ada yang aneh. Satu pertanyaan yang bercokol di dalam pikirannya sejak beberapa hari dan belum juga mendapatkan jawaban.

Kapan Kanaya menikah?

Kalau dipikir lagi Kanaya mulai hamil sejak bulan April jika Tiara lahir bulan Desember dan saat itu mereka masih saling bertemu. Seingatnya, wanita itu bahkan tidak sedang dekat seorang laki-laki, bagaimana mungkin bisa hamil. Kecuali malam itu....

Anji mengetuk-ngetuk pulpen di meja. Apa mungkin?

Ah, tidak mungkin. Anji segera menggeleng, mengenyahkan pikiran liar yang sedang meracuni otaknya. Namun, dia masih saja penasaran dengan teka-teki kelahiran Tiara. Dia tidak mungkin bertanya langsung pada Kanaya mengingat pertemuan mereka di mana wanita itu menunjukkan sikap kurang bersahabatnya. Terus, dia harus mendapatkan jawaban dari siapa.

Siska Ambarwati

Nama itu terlintas dalam pikiran Anji. Tanpa pikir panjang dia menghubungi sekretarisnya untuk memanggil Siska ke ruangannya. Anji seperti mendapatkan jalan saat kebuntuan tengah melanda dan sahabat dari Kanaya itu mungkin bisa mengurai kebuntuan dalam otaknya.

Sepuluh menit kemudian terdengar pintu ruangannya diketuk dari luar.

"Masuk."

Setelah itu muncullah sosok mungil yang sedari tadi sudah ditunggu Anji.

"Bapak memanggil saya?" ucap Siska setelah tiba di depan meja Anji.

"Silakan duduk," balas Anji.

Mereka diam untuk beberapa saat setelah Siska duduk. Anji sibuk merangkai pertanyaan untuk dilontarkan pada Siska, sedangkan istri Mahesa itu juga sedang dilanda kebingungan. Ada apakah gerangan bosnya memanggil dirinya. Apakah gara-gara dia meminta jadwal siarannya dikurangi? Ataukah, ada masalah dengan pekerjaan suaminya.

Anji menangkap aura kegugupan dari wajah Siska. "Tenang saja, saya memanggil kamu bukan karena masalah pekerjaan." Laki-laki itu tersenyum hangat.

Siska merasa sedikit lega, tapi kelegaan itu tidak berlangsung lama ketika dia berpikir lagi jika bukan masalah perkerjaan lalu untuk apa Pak Anji memanggilnya.

"Apa kamu ingat kapan saya menikah lima tahun yang lalu?"tanya Anji dengan kedua tangan dilipat di depan dada.

Siska mengernyit mendengar pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Anji, tapi dia tetap menjawab. "Kalau saya tidak salah ingat pada bulan September, Pak."

Siska tidak akan pernah lupa karena hari itu adalah hari di mana sahabatnya terluka. Walaupun Kanaya tidak melakukan hal yang bodoh, tapi dia tahu bagaimana hancurnya perasaan sahabatnya waktu itu ditambah dengan kehamilannya.

Anji tersenyum mendengar jawaban Siska. "Kamu benar-benar ingat, ya?"

"Iya, Pak. Saya kan hadir dalam acara tersebut." Siska ikut tersenyum.

"Berarti kamu ingat juga, kapan Kanaya menikah?"

Senyum yang beberapa detik masih tersungging manis mendadak lenyap digantikan oleh kebekuan. Tubuh Siska terasa menegang setelah mendengar pertanyaan Anji.

Pernikahan Kanaya? Otak Siska tiba-tiba saja membeku.

Laki-laki yang sedang duduk di depannya pun tak luput melihat perubahan wajah Siska, bahkan terlalu kentara di mata Anji.

"Kok kamu diam? Kamu kan tadi ingat hari pernikahan saya, kok sekarang kamu kayak lupa kapan Kanaya menikah. Apa kamu nggak diundang?" Mata Anji menelisik penuh rasa ingin tahu.

Siska masih bingung dengan pikirannya sendiri. Dia sangat terkejut dengan pertanyaan Anji. Wanita itu tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu. Bagaiamana sekarang? Dia harus menjawab apa?

Alis Anji saling bertaut. "Kamu beneran lupa? Kamu sahabat karibnya Kanaya, kan?"

Demi putranya yang baru menginjak usia empat bulan Siska tidak tahu harus menjawab apa. Apakah dia harus merangkai kebohongan atau mengatakan yang sesungguhnya kalau sebenarnya Kanaya belum pernah menikah selama hidupnya walaupun sudah dikaruniai seorang putri cantik. Namun, jika dia mengungkapkan yang sebenarnya, pasti Kanaya akan marah padanya. Siska sudah pernah berjanji jika suatu saat Anji bertanya apa pun tentang Kanaya, wanita itu harus pura-pura tidak tahu. Ditambah jika Anji malah bertanya siapa ayah dari Tiara, pasti masalah akan bertambah rumit.

"Maaf, Pak. Tapi untuk apa Bapak menanyakan tentang hari pernikahan Kanaya?" Akhirnya setelah berkutat dengan pikirannya sendiri kalimat itu bisa meluncur keluar dari bibir mungilnya. Meskipun, Siska harus diam-diam menelan ludah beberapa kali. Dia juga merasa penasaran, kenapa Anji terlihat begitu ingin mengetahui kehidupan Kanaya.

"Saya hanya ingin memastikan sesuatu," balas Anji sambil menopangkan kedua sikunya di meja.

"Saya tidak mengerti dengan maksud Bapak, tapi jika hal itu berhubungan dengan Kanaya, Bapak bisa langsung bertanya pada yang bersangkutan."

Anji tersenyum dan menatapnya Siska hangat. Auranya pun tidak tampak mengintimidasi, masih terlihat ramah seperti yang biasa laki-laki itu tunjukkan pada seluruh staf perusahaan. Akan tetapi, entah kenapa Siska merasa tubuhnya seakan menggigil. Tatapan hangat itu justru seperti menusuknya. Mengulitinya hingga terasa sangat tidak nyaman.

Anji tersenyum sebelum berkata, "Saya cuma ingin tahu kapan tepatnya pernikahan Kanaya berlangsung? Masa kamu sebagai sahabat tidak tahu atau kamu tidak diundang?"

Pertanyaan yang dilemparkan Anji membuat Siska seperti mati kutu. Dia tidak tahu jawaban apa yang seharusnya diberikan.

Laki-laki berumur tiga puluh tiga tahun itu menatap lekat Siska. Dia tahu wanita di depannya ini sedang gugup. Anji sudah banyak sekali bertemu dengan orang-orang berbeda setiap harinya jadi dia tentu tahu bagaimana karakter mereka jika sedang gugup, gelisah atau yang lainnya. Seperti Siska sekarang, wajahnya jelas sekali menggambarkan kegelisahan di sana seperti ada yang tengah disembunyikan.

Siska menelan ludah serta menghirup napas panjang dan pelan. "Sebenarnya, saya tidak datang ke acara pernikahan Kanaya karena harus bekerja lagipula pernikahan tersebut dilangsungkan di Jogja dan hanya berupa acara ijab qabul saja."

Hebat. Wanita itu memuji dirinya sendiri dalam hati. Kalau ada Kanaya di sini mungkin wanita berambut keriting itu langsung memberikan Siska tepuk tangan karena bisa mengarang cerita seperti itu. Atau mungkin Kanaya akan menyuruh Siska untuk menulis cerita fiksi. Kebohongan yang sempurna.

"Kapan tepatnya?" tanya Anji lagi.

Siska meringis. Sial. Kenapa sih Anji tiba-tiba ingin tahu soal pernikahan Kanaya. Wanita itu sudah menggerutu dalam hati karena harus merangkai kebohongan lagi.

"Saya lupa, Pak."

Anji manggut-manggut. "Emm... kalau boleh tahu suami Kanaya orang mana?" tanya Anji dengan suara sopan. Laki-laki itu tidak terkesan memaksa, tapi Siska malah merasa sebaiknya. Di balik sikap ramah Anji,  Siska malah merasa terintimidasi.

"Jogja, Pak," jawab Siska. Dalam hati dia meringis. Sejak kapan dia pintar berbohong dan sampai kapan atasannya ini akan bertanya terus tentang Kanaya. Hebat. Satu kebohongan akan terus ditutupi oleh kebohongan lainnya.

"Terus kapan Kanaya cerai? Dari yang saya dengar, Kanaya cerai sejak masih hamil, benarkah?" Kini Anji menampilkan wajah sedikit serius tanpa senyum.

Siska menelan ludah lagi. Rasanya tenggorokannya sangat kering. "Bapak tahu dari mana?"

"Mahesa."

Siska menghela napas pelan. Memang dirinya pernah bercerita kalau Kanaya cerai saat masih mengandung Tiara pada Mahesa dan demi Tuhan itu semua bohong.

"Maaf, Pak. Saya tidak bisa menceritakan hal tersebut." Siska menunduk. Jari- jemarinya saling bertaut dan sudah berkeringat sejak tadi. Ibu satu anak itu sedang mencoba untuk tetap bersikap setenang mungkin. Walaupun detak jantungnya sudah dipacu sangat cepat sejak pertanyaan pertama Anji.

Anji mengangguk mengerti.

"Kalau Tiara, kapan dia lahir?" Anji bertanya sambil tersenyum. Sungguh senyum itu malah membuat Siska bertambah gugup.

"Pada bulan Desember, Pak." Kali ini Siska tidak bohong karena dia tidak akan pernah lupa hari kelahiran gadis kecil yang sudah seperti putrinya tersebut. Hari di mana laki-laki di depannya saat ini yang seharusnya berada untuk menemani Kanaya. Tiba-tiba saja ada rasa marah yang timbul dalam hati Siska.

"Wah,berarti  sebentar lagi ulang tahun Tiara, ya?" 

"Iya, Pak." Siska tersenyum meskipun dalam hatinya terasa marah. Dia ingin sekali memberi tahu jika Tiara adalah darah daging dari laki-laki yang sejak tadi menginterogasinya.

"Tanggal berapa?" tanya Anji basa-basi.

"Tanggal dua puluh, Pak."

"Kalau tempat Tiara lahir?"

"Di Jakarta, Pak."

Anji tersenyum kemudian menyandarkan punggungnya di kursi. Dia merasa puas dengan jawaban Siska.

Siska merasa ada yang aneh dengan sikap Anji saat ini. Apakah ada perkataannya yang salah?

"Jadi, Tiara lahir di Jakarta pada bulan Desember tanggal 20." Anji mengetuk-ngetuk dagunya kemudian berkata lagi, "Berarti, tiga bulan setelah saya menikah, ya?"

Siska tercengang. Otaknya seolah dipaksa berpikir dengan maksud pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan oleh Anji. Ada sesuatu yang aneh. Laki-laki di depannya ini, seolah ingin mengorek tentang masa lalu Tiara. Atau jangan-jangan....

"Maaf, saya cuma ingin tahu kapan hari ulang tahun Tiara karena saya ingin memberikan hadiah." Anji memberikan alasan agar Siska tidak curiga. Laki-laki itu tahu jika wanita di depannya sedang menumpuk pertanyaan di dalam otaknya. Siska pasti sedang berpikir kalau sikapnya aneh saat ini.

"Bapak mau memberikan kado untuk Tiara?" Siska merasa aneh oleh kalimat yang baru saja diungkapkan oleh Anji. Sejak kapan atasannya itu dekat dengan Tiara?

"Iya, kan pas di Semarang saya ketemu sama Tiara."

Siska manggut-manggut tanda mengerti. Namun, tiba-tiba saja dia disadarkan dengan fakta jika Anji bertemu dengan Tiara. Itu artinya, Anji sudah tahu di mana alamat Kanaya tinggal.

"Ya sudah, terima kasih. Kamu bisa kembali bekerja."

Siska seperti disadarkan dari lamunan ketika Anji menyuruhnya kembali bekerja setelah itu dia pun berpamitan. Siska keluar dari ruangan Anji dengan wajah pucat dan lutut yang lemas. Dia butuh asupan oksigen dan juga air. Siska perlu mengatur detak jantungnya dan membasahi tenggorokannya. Entah apa motif Anji memberondong dirinya dengan berbagai pertanyaan tadi. Siska merasa ada yang aneh.  Haruskah dia menelepon Kanaya sekarang? Ah, dia mendesah panjamg kemudian melangkah menuju pantry.

Anji menatap kembali coretan demi coretan di kertas setelah kepergian Siska. Jadi benar Tiara lahir di Jakarta, tapi bukannya Kanaya menikah di Jogja? Suaminya juga orang Jogja? Apakah setelah menikah Kanaya kembali ke Jakarta bersama sang suami kemudian melahirkan Tiara?

Ah, berjuta pertanyaan malah semakin memadati otaknya. Informasi dari Siska tidak banyak membantu, tapi setidaknya dia tahu jika wanita itu sedang menyembunyikan sesuatu, yaitu tentang kehidupan Kanaya setelah tiba-tiba menghilang lima tahun yang lalu. Anji tidak akan percaya begitu saja perkataan Siska.

Itu tidak penting untuk saat ini. Yang terpenting adalah jika Anji sudah benar-benar yakin bahwa Kanaya hamil sebelum pernikahan itu terjadi.

Kini ada satu pertanyaan yang bercokol dalam benak Anji. Siapakah ayah dari Tiara?

Apakah dirinya sendiri?

*****

Hello semuanya
Apa kabar?

Makin seru kan? Kira-kira apa yang akan dilakukan Anji ya?
Hayo, makin penasaran kan?

Maaf, baru update dikarenakan saya baru saja sakit. Ini juga masih dalam masa pemulihan, tapi kangen update.

Jika ada kalimat yang rancu atau tidak nyambung, tolong komentarnya ya?

Happy Reading
Vea Aprilia
Jumat, 08 Februari 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top