KeduapuluhSembilan
Sore sepulang kerja, Kanaya menyempatkan diri untuk mampir di sebuah toko roti. Dia akan membeli kue ulang tahun untuk Tiara karena hari ini adalah hari ulang tahun putrinya yang genap berusia enam tahun. Wajah Kanaya terlihat bahagia sekali. Sebuah kue berwarna merah muda dengan hiasan strawberry di atasnya yang menjadi pilihan Kanaya. Wanita itu pun segera melajukan motornya setelah keluar dari toko untuk pulang. Kanaya harus cepat-cepat karena Tiara pasti sudah tidak sabar menunggunya di rumah.
Duapuluh menit kemudian Kanaya sudah sampai di depan rumah, tapi ada sesuatu yang mengusik pandangannya. Sebuah mobil terparkir tepat di depan pintu gerbang dan Kanaya hapal betul siapa yang empunya.
"Bunda...! Tiara berteriak dan berlari ke arah Kanaya, saat wanita itu baru saja masuk.
"Ayah mau ngajak Tiara jalan-jalan, Bun," ucap Tiara semangat. Raut bahagia terlihat jelas di wajah gadis yang baru genap berumur enam tahun itu.
Kanaya menatap putrinya lembut, tapi tidak berkomentar. Dia kemudian beralih melirik laki-laki yang kini sedang duduk di sofa sambil tersenyum. Laki-laki itu adalah Kelana.
"Maaf, kalau saya lancang, tapi saya pernah janji pada Tiara untuk mengajaknya jalan-jalan di hari ulang tahunnya." Laki-laki itu masih bersikap sopan seperti biasa. Sedangkan Kanaya masih belum membuka mulut untuk membalas. Bukan karena masih marah atau kesal, hanya saja Kanaya sedang bingung sekaligus terkejut.
"Boleh ya, Bunda," rengek Tiara dengan wajah memelas.
Kanaya dilema, tapi apa dia bisa menolak kalau putrinya sendiri yang meminta.
"Baiklah. Bunda mau bersiap dulu. Tiara juga ganti baju dulu ya."
Kanaya dan Tiara masuk ke kamar setelah meminta izin pada Kelana. Bibir Kelana menyunggingkan sebuah senyuman. Dia tentu saja senang. Mungkin sekarang adalah awal yang tepat untuk memperbaiki hubungannya dengan Kanaya yang sempat mendingin. Dia sadar jika tidak sepatutnya memaksa Kanaya untuk menceritakan masalah pribadinya. Ada batas-batas antara laki-laki dan perempuan serta ada rahasia atau masalah yang tidak bisa dibagikan dengan orang lain. Kelana akan meminta maaf untuk sikapnya waktu itu walaupun dia sudah pernah meminta maaf di kantor, tapi sepertinya Kanaya belum sepenuhnya memaafkan dirinya.
Tiga puluh menit kemudian Kanaya dan Tiara sudah keluar dari kamar dengan dandanan yang berbeda. Lebih terlihat rapi, segar dan cantik tentu saja. Kedua perempuan beda generasi itu membuat hati Kelana terasa menghangat. Dia sadar jika sudah tumbuh benih rasa sayang untuk kedua perempuan tersebut.
"Tiara sudah siap?" tanya Kelana ketika gadis itu tampak malu-malu mendekat ke arahnya. Sedangkan Tiara membalas dengan anggukan penuh semangat.
"Maaf, Pak. Kalau boleh saya tahu, kita mau ke mana?" tanya Kanaya akhirnya mau membuka mulut.
"Makan malam untuk merayakan ulang tahun Tiara, tapi kita mampir dulu ke toko roti untuk membeli kue," balas Kelana yang kini sudah menggendong Tiara.
"Tidak usah beli kue, Pak."
Kelana terdiam. Alisnya terangkat, belum paham betul, maksud perkataan Kanaya.
"Maksud saya, tadi saya sudah beli kue. Kita bawa saja daripada beli lagi," jelas Kanaya dan dibalas anggukan oleh Kelana.
"Horeee...! Tiara bersorak dengan wajah yang berseri-seri.
"Tiara turun," pinta Kanaya, tapi bukannya gadis kecil itu menurut malah semakin mengeratkan kedua tangannya pada leher Kelana.
"Tidak apa-apa, ini kan hari ulang tahunnya. Lagipula Tiara nggak minta, tapi ini, inisiatif saya sendiri." Kanaya tidak membalas apa-apa. Dia hanya mengangguk, tapi tetap merasa tidak enak dengan Kelana.
"Tiara senang?" tanya Kelana sambil terus menggendong Tiara sampai ke mobil.
"Iya. Apalagi ada Ayah."
Kanaya yang berada di belakangnya tidak tahu harus bersikap bagaimana. Melihat betapa bahagianya putri semata wayangnya, apalagi dengan kehadiran sosok laki-laki yang telah gadis kecil itu anggap sebagai ayahnya. Apakah Tiara akan bahagia ketika mengetahui ayah kandungnya sendiri? Pertanyaan itu belum bisa Kanaya jawab karena dia terlalu takut. Sampai sekarang hatinya belum siap untuk mengungkapkan semuanya.
"Sebenarnya, Bapak tidak perlu repot-repot mengajak Tiara makan malam hanya untuk merayakan ulang tahunnya." Kanaya membuka obrolan ketika mobil sudah meninggalkan rumahnya kira-kira lima menit.
"Saya tidak merasa repot."
"Tapi, Bapak kan baru pulang kerja. Pasti lelah."
Senyum di bibir Kelana mengembang. Hatinya menghangat. Entah apa maksud Kanaya sebenarnya, tapi dia merasa jika wanita itu sedang memberikan perhatian padanya.
"Saya bisa beristirahat setelah makan malam nanti. Lagipula, saya juga sudah berjanji pada Tiara. Bukankah, dia akan kecewa jika saya tidak datang." Lagi-lagi bibir laki-laki itu tersenyum manis.
Kanaya hanya mengangguk. Mereka kemudian sama-sama diam. Hanya suara Tiara yang beberapa kali berteriak karena melihat sesuatu yang menarik dari jendela. Kanaya melirik Kelana yang sedang fokus menyetir. Penampilan laki-laki sudah terlihat segar dan kemeja yang dikenakan pun sudah berganti, bukan seperti yang dipakai saat di kantor, tadi ketika di rumah, Kanaya tidak terlalu memperhatikan.
"Saya sudah membuat reservasi di sebuah restoran, semoga kamu dan Tiara suka." Kelana menjelaskan tujuan mereka tanpa ditanya.
Setelah kira-kira dua puluh menit perjalanan, mereka telah sampai di sebuah restoran keluarga. Restoran yang terlihat nyaman dan sangat cocok dengan anak-anak. Kanaya sampai tidak percaya jika Kelana memilih tempat seperti ini. Laki-laki itu sungguh cocok menjadi seorang ayah idaman jika menikah kelak.
"Ayo, masuk," ajak Kelana.
Mereka bertiga pun masuk ke dalam restoran dan duduk di tempat yang sudah dipesan oleh Kelana sebelumnya. Restoran ini sebenarnya tidak mewah, hanya saja sangat nyaman untuk acara keluarga. Kelana sengaja memilih tempat ini setelah dia mencari tahu di internet.
"Kita pesan makanan dulu, baru setelah itu tiup lilin," ujar Kelana dan Kanaya setuju.
Kelana dan Kanaya memilih memesan steak sapi sedangkan Tiara, gadis itu ingin makan spagethi. Sambil menunggu pesanan datang, Kanaya mengambil kue yang dia bawa tadi kemudian meletakkan lilin kecil warna-warni berjumlah enam buah.
"Sekarang Tiara berdoa dulu," ujar Kanaya setelah selesai menyalakan lilin.
"Baik, Bun." Tiara menurut kemudian menutup kedua mata dan menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Tiara berdoa kira-kira lima menit dengan sangat khyusuk.
"Tiup lilinnya," ucap Kanaya dan setelah itu enam buah lilin tersebut padam.
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Kanaya kemudian mencium pipi Tiara kanan dan kiri. Begitu juga dengan Kelana, dia melakukan hal sama dengan Kanaya.
" Makasih Bunda, makasih Ayah. Boleh potong kuenya sekarang, Bunda?" tanya Tiara dengan tidak sabar.
"Boleh dong, Sayang," balas Kanaya sambil mengusap lembut rambut putrinya.
"Tapi, Tiara pengen Bunda sama Ayah juga ikut motong." Kanaya dan Kelana terkejut dan belum sempat mereka mengerti maksud dari perkataan Tiara, tangan keduanya telah dipersatukan dengan tangan mungil gadis kecil itu.
Kanaya merasa sangat canggung begitu pun dengan Kelana, tapi laki-laki itu juga merasa bahagia secara bersamaan.
"Kita potong ya, Bun?" Kanaya mengangguk.
"Satu... dua... tiga." Mereka berkata bersamaan.
"Horeee...!" Tiara bersorak senang setelah berhasil memotong kue tersebut. Kanaya buru-buru menarik tangannya, sedangkan Kelana masih setia memegangi tangan kecil Tiara.
"Ini potongan pertama, mau diberikan pada siapa?" tanya Kelana setelah selesai membantu Tiara memotong kue.
Tiara tersenyum malu-malu kemudian berkata, "Ini untuk Ayah."
Kelana merasa terkejut begitu juga dengan Kanaya. Mereka tidak pernah menyangka jika Tiara akan memilih Kelana. Dalam benak Kanaya, kue itu pasti diberikan padanya. Sedangkan Kelana juga berpikiran sama.
"Karena Ayah sudah mau datang di hari ulang tahun Tiara, jadi kue ini buat Ayah." Kelana tidak tahu harus berkata atau bersikap bagaimana, dia hanya berterima kasih serta mengucapkan kalimat selamat ulang tahun lagi, menerima kue tersebut dan terakhir mencium pipi Tiara.
Kanaya yang melihat adegan di depannya merasa pilu. Tiara begitu bahagia dengan adanya Kelana, begitu pula laki-laki itu yang terlihat sangat menyayangi putrinya. Dia jadi ingat perkataan Bi Indah.
Kalau saya jadi Eneng. Saya bakalan pilih yang sayang sama saya sekaligus sama Tiara. Kan, banyak laki-laki jaman sekarang cuma mau sama ibunya, nggak mau sama anaknya.
Tiba-tiba Kanaya terbayang Anji, bagaimana jika laki-laki itu yang duduk bersama mereka dan bukan Kelana. Apakah suasananya masih akan sama? Ah, dia tidak ingin membayangkan sesuatu yang masih abu-abu.
"Naya... Kanaya," panggil Kelana membuat Kanaya terhenyak.
"Ada apa, Pak?" tanya Kanaya gelgapan.
"Kamu melamun?" tanya Kelana, "Ini kue buat kamu." Kemudian menyodorkan sepotong kue pada Kanaya. Kanaya menerima kue tersebut sambil menahan malu karena ketahuan sedang melamun.
"Kuenya enak, Sayang?" tanya Kanaya sambil mengelap pipi Tiara yang terkena krim.
"Enak Bunda, manis," jawab Tiara kemudian melanjutkan makannya.
Kanaya melirik ke arah Kelana yang juga sedang makan kue ulang tahun Tiara. Dia jadi ingat sesuatu. "Bapak, kan tidak suka manis?"
Kelana menghentikan gerakan tangannya kemudian tersenyum. "Saya memang tidak suka makanan manis, tapi jika ditambah dengan kehangatan seperti ini, rasa manisnya akan berbeda."
Kanaya terperangah dengan penjelasan Kelana. Dia tidak menduga jika Kelana akan bisa berkata semanis itu.
Tak berapa lama, makanan pesanan mereka pun datang. Tiara dengan semangat memakan spagethi walaupun telah makan kue sebelumnya. Sesekali Kelana menyuapi Tiara dengan potongan daging steak dan Kanaya yang juga mengelap mulut Tiara karena belepotan oleh saus. Dari kejauhan, mereka seperti potret sebuah keluarga kecil yang bahagia.
*****
Setelah makan malam selesai mereka memutuskan untuk pulang karena besok Tiara masih harus bersekolah. Sebenarnya, Kelana masih ingin mengajak Tiara jalan-jalan, tapi karena alasan seperti itu jadi dia mengurungkan niatnya.
"Tiara capek?" tanya Kelana saat mengantarkan Tiara dan Kanaya pulang.
"Enggak, Yah," jawab gadis itu masih penuh dengan semangat.
"Oh, ya. Om punya hadiah untuk Tiara."
"Hadiah?" Mata Tiara berbinar bahagia mendengar kata hadiah.
"Iya, dong. Masa Om nggak kasih hadiah untuk Tiara."
"Apa hadiahnya, Yah?"
Kelana menoleh sebentar. "Coba Tiara lihat ke bagasi belakang."
"Woahhhh... sepeda...!" Tiara bersorak kegirangan.
"Bunda, Tiara dapat hadiah sepeda," ujarnya sambil terus menghadap ke belakang. "Warnanya pink."
"Tiara suka?" tanya Kelana sambil melihat dari arah spion depan.
"Suka, Yah."
Kanaya tersenyum melihat wajah putrinya begitu senang. Dirinya juga merasa bahagia. "Bilang apa, Sayang?"
"Makasih, Yah."
"Sama-sama."
"Sebenarnya, Bapak tidak perlu untuk memberikan hadiah lagi untuk Tiara, apalagi sebuah sepeda. Tiara kan belum bisa naik sepeda."
"Ayah kan bisa ngajarin,Bun. Iya kan, Yah?"
Kelana mengangguk. "Iya, nanti Om ajarin."
"Horeee... asyik!"
"Saya minta maaf jika merepotkan, Bapak. Tapi, saya sangat berterima kasih atas malam ini." Kanaya tersenyum.
"Sama-sama. Saya juga ingin meminta maaf sekali lagi atas kejadian waktu itu. Saya tidak bermaksud untuk memaksa kamu."
Kanaya langsung mengerti ke arah mana pembicaraan mereka. "Tidak apa-apa, Pak. Saya juga merasa agak kasar waktu itu. Saya minta maaf."
"Kalau begitu kita impas."
Obrolan mereka berhenti ketika mobil Kelana semakin berjalan pelan.
"Apakah ada tamu yang datang ke rumah kamu?" tanya Kelana saat melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah Kanaya.
"Saya tidak tahu, Pak." Kanaya berpikir siapa gerangan yang memarkir mobil di depan rumahnya.
"Ayo, Yah. Cepat turunin sepedanya." Belum sempat Kelana menjawab, Tiara sudah keluar dari mobil dan langsung menuju ke bagian bagasi.
Kanaya masih diam mematung sambil menatap mobil berwarna hitam di depan rumahnya ketika Kelana turun. Namun, tak berapa lama dia juga ikut turun. Kakinya berjalan menuju mobil berwarna hitam yang terparkir di depan rumahnya. Dia menoleh ke arah teras dan mendapati sosok yang beberapa waktu lalu sempat dipikirkannya.
"Ayo, Yah... dorong terus." Tiara tiba-tiba sudah berada dekat dengan tempat Kanaya berdiri.
"Bunda ngapain sih?" tanya Tiara yang sedikit kesal karena Kanaya menghalangi jalannya. Gadis kecil itu sedang menaiki sepeda sambil didorong oleh Kelana dari belakang.
"Kamu...?" Belum sempat Kelana selesai bertanya pada Kanaya ketika melihat seorang laki-laki yang sudah berdiri beberapa meter dari tempat mereka.
"Om Anji," panggil Tiara dengan keras, tapi tak urung turun dari sepedanya.
"Hallo, Cantik," balas Anji.
"Ayah, ini Om Anji temannya Bunda." Tiara begitu bersemangat mengenalkan Anji pada Kelana.
Mata Anji langsung bersirobok dengan manik hitam Kelana. Dia terkejut, saat Tiara menperkenalkan Kelana sebagai ayahnya.
"Jadi, ini ayahnya Tiara?" Pertanyaan Anji ditujukan pada Kanaya tentu saja dengan nada terkejut, tapi wanita itu hanya diam saja. Kanaya masih dilingkupi oleh perasaan terkejut juga karena kehadiran Anji.
"Aku datang jauh-jauh dari Jakarta untuk memberikan kejutan, tapi aku malah yang mendapatkan sebuah kejutan." Anji memberikan tatapan tidak percaya pada Kelana. Laki-laki itu tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri. Dia tidak menyangka jika ayah Tiara adalah Kelana. Orang yang sangat dikenalnya.
Sedangkan Kelana, dia tidak tahu harus bersikap bagaimana karena kehadiran Anji di rumah Kanaya sudah menjadi sebuah pertanyaan besar untuknya sendiri. Dia semakin penasaran dengan hubungan antara Anji dan Kanaya.
Kanaya sendiri tidak tahu harus berkata atau berbuat apa, hanya diam dan mematung. Dia tidak pernah membayangkan jika akan berada dalam situasi seperti sekarang ini. Kepala Kanaya tiba-tiba terasa penuh. Dia bingung, apakah dirinya harus meluruskan kesalahpahaman ini atau hanya diam saja?
******
Hello semuanya?
Apa kabar?
Hayo, gimana? Apakah Kanaya bakalan ungkap semuanya atau enggak? 😂😂😂 #teamkelana #teamanji tunjukkan suaramu...
Maaf, baru bisa update karena Pak Suami baru saja sakit dan agak lama, jadi saya fokus untuk urusan kesembuhan beliau. Tapi, alhamdulillah beliau sudah sembuh sekarang.
Terima kasih banyak untuk semua yang sudah mau menunggu cerita ini up.
Peluk cium
Vea Aprilia
Sabtu, 23 Maret 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top