Keduapuluhsatu
Kanaya baru selesai masak dan memandikan Tiara ketika suara ketukan pintu rumahnya terdengar. Dia buru-buru menuju ke depan untuk membuka pintu dan seketika wajahnya memucat ketika melihat siapa yang berada di balik pintu. Kelana Wiraatmaja.
Laki-laki itu tersenyum simpul setelah melihat Kanaya membukakan pintu untuknya. Matanya mengamati sedikit penampilan Kanaya pagi ini. Daster selutut, wajah natural tanpa make up, dan juga rambut keritingnya yang dijepit asal.
"Pak Lana?" panggil Naya dengan suara lirih masih dengan suasana terkejut. Demi Tuhan, ini masih cukup pagi, pukul tujuh saja belum ada, tapi atasannya sudah sampai di depan rumahnya dengan dandanan yang sangat santai tapi masih terlihat rapi.
"Bapak kok bisa ke sini?" tanya Kanaya heran.
Kelana mengernyit. "Bukankah saya sudah janji untuk mengajak Tiara jalan-jalan hari ini?"
Oh, iya. Kanaya dengan refleks menepuk keningnya sendiri. Kenapa dia tiba-tiba mendadak lupa, padahal sedari tadi putri kecilnya sudah berbicara tentang liburan hari ini. Memang efek bertemu Kelana selalu membuat otaknya blank seketika.
"Silakan masuk, Pak." Akhirnya Kanaya mempersilakan tamunya untuk masuk. Tentu saja sambil menggerutu dalam hati.
Janji sih janji tapi ya nggak sepagi ini juga kales.
Dia belum mandi dan masih mengenakan daster harian yang warnanya sudah mulai usang. Wajahnya pun tanpa make up walaupun tadi sudah mencucinya, tapi dia kan malu. Mau ditaruh di mukanya besok kalau mereka bertemu di kantor.
"Silakan duduk, Pak. Saya permisi dulu," ujar Kanaya lagi setelah itu dia pergi ke mana saja asal jangan satu ruangan dengan Kelana. Dia masih sangat malu.
"Om Ganteng sudah datang, ya?" teriak Tiara sambil berlari ke arah ruang tamu.
"Iya, Cantik. Kamu sudah siap?" tanya Kelana setelah mengangkat tubuh Tiara kemudian menggendongnya.
"Sudah dong, Om."
Kelana mengangguk setuju dengan melihat bagaimana penampilan gadis kecil tersebut. Tiara mengenakan jumpsuit berbahan denim dengan dalaman kaos putih berlengan panjang. Rambu panjang gadis kecil itu juga sudah dikepang rapi. Kelana pun mengusap rambut Tiara dengan lembut. Dia sedikit gemas dengan gadis kecil tersebut. Jujur, Kelana menyukai Tiara sejak pertama kali bertemu.
"Rambut kamu panjang dan lurus ya. Dikepang jadi tambah cantik," puji Kelana sambil terus mengusap rambut Tiara.
"Cantik, ya, Om? Ini Bunda yang dandanin Tiara."
Kelana manggut-manggut tanda mengerti. "Kok, bunda rambutnya keriting sih, nggak kayak Tiara?"
Entah kenapa ada sesuatu yang aneh ketika melihat rambut Tiara dan Kanaya. Hal itu yang membuat Kelana penasaran. Apakah wanita itu sering mengkriting rambutnya?
"Tiara juga nggak tahu, Om. Soalnya Bunda nggak pernah ke salon selain potong rambut."
Jawaban itu cukup untuk mengobati rasa penasarannya. Ternyata itu adalah rambut asli Kanaya dan untuk Tiara, mungkin rambutnya adalah keturunan dari sang ayah. Ayah? Kelana jadi penasaran dengan sosok laki-laki tersebut. Dia jadi teringat ucapan Kanaya tentang wanita itu yang tidak mempunyai suami. Kelana masih merasa ambigu dengan kata-kata tersebut. Tidak punya suami karena cerai atau memang tidak pernah menikah?
"Tiara, yuk sarapan dulu," ajak Kanaya yang sudah kembali ke ruang tamu dengan dandanan yang berbeda dan jelas wanita itu baru saja selesai mandi, karena wangi sabun yang menguar dari tubuhnya.
Tiara pun beranjak dari pangkuan Kelana. Kanaya masih melihat atasannya tersebut dengan canggung.
"Bapak sudah sarapan?" tanya Kanaya basa-basi.
"Belum. Saya tadi cuma minum kopi dan segera ke sini."
"Bapak mau sarapan bersama kami?" tanya Kanaya dengan ragu kalau laki-laki itu mau menerima tawarannya.
"Mau ya, Om? Masakan Bunda enak loh," sela Tiara yang sudah menarik jemari Kelana dengan semangat.
Kelana melirik ke arah Naya sebelum mengangguk. "Oke."
"Asikkk...!" Tiara bersorak kegirangan kemudian menuntun laki-laki itu untuk menuju meja makan.
Kanaya masih sedikit linglung dengan adegan yang baru saja terjadi. Dia tadi hanya basa-basi demi kesopanan, tapi malah disetujui. Wow.
Setelah merenung beberapa saat, Kanaya akhirnya menyusul dua orang yang kini sudah duduk di kursi ruang makan. Untung saja dia tadi masak sedikit banyak. Bukan hanya nasi goreng untuk dua porsi seperti biasa.
"Maaf, Pak, ini cuma menu sederhana," ucap Kanaya seraya mengambilkan nasi untuk Tiara kemudian beralih pada piring Kelana.
"Tidak apa-apa. Saya juga sudah lama tidak makan makanan rumahan." Kelana berkata jujur, karena dia hanya tinggal di Semarang sendirian. Jadi, laki-laki itu biasa membeli makanan di luar selain junk food tentu saja.
Kelana hampir meneteskan air liurnya saat melihat makanan yang tertata rapi di atas meja ketika baru saja duduk tadi. Sebenarnya, hanya ada nasi, sayur bening entah apa jenis sayuran tersebut, tapi dia bisa melihat ada wortel di sana, tempe dan tahu goreng juga telur mata sapi. Tidak lupa sambal di mangkuk kecil.
"Ini cukup, Pak?" tanya Kanaya sambil menaruh piring Kelana yang sudah diisi nasi kembali di depan laki-laki itu setelah mendapatkan anggukan.
"Silakan dimakan, Pak," ujarnya sambil duduk di samping Tiara.
Kanaya merasa sedang meladeni suami untuk makan bersama. Dia merasa menjadi seorang istri yang berbakti dengan mengambilkan makanan untuk sang suami. Wanita itu buru-buru membuang pikiran absurdnya. Cukup. Istri apanya? Mimpi aja yang tinggi, mana mungkin beruang kutub melirik dia. Kanaya menggeleng dengan cepat. Ngeri sendiri membayangkan dirinya jadi istri Kelana.
"Masakan Bunda enak kok Om," puji gadis kecil tersebut sambil mengacungkan satu jempolnya di depan Kelana.
Kelana tersenyum tipis kemudian menyendokkan nasi yang sudah tercampur dengan sayur juga sambal ke dalam mulutnya.
Enak.
Satu kata itu yang muncul dalam benaknya. Bibirnya kemudian menyunggingkan senyuman tipis lalu menyendok kembali sarapannya.
Kanaya tentu tidak akan melewatkan momen di mana atasan kutubnya memakan masakan miliknya. Dia tentu saja harap-harap cemas dengan reaksi yang akan diberikan oleh laki-laki tersebut. Namun, sepertinya dia harus kecewa. Laki-laki itu tidak memberikan respon apa-apa kecuali terus saja makan tanpa berbicara. Malah Kelana makan seperti orang yang benar-benar sedang kelaparan. Akhirnya Kanaya hanya bisa mendengkus pelan dan mencibir dalam hati.
Makan sih makan, tapi ngomong kek, bilang enak kek atau apa gitu. Gue kasih racun baru tahu. Astagfirullah.
Kanaya langsung mengelus dadanya sendiri sambil menggeleng.
"Kenapa kamu sakit?" selidik Kelana karena melihat tingkah aneh Naya dari tadi.
Kanaya buru-buru menggeleng. "Tidak kok, Pak. Saya baik-baik saja."
Kelana mengangguk kemudian melanjutkan acara sarapannya.
Akhirnya mereka sudah selesai dengan sarapan masing-masing. Tiara dan Kelana sedang duduk di ruang tamu sambil bercengkerama. Sedangkan Kanaya sibuk mencuci piring di dapur.
Kelana mencuri-curi pandang ke arah dapur. Hari ini ada dua hal yang membuat hatinya bahagia. Dia mendapatkan dua buah anugerah secara bersamaan.
Pertama. Saat dia pertama kali melihat dandanan Kanaya yang hanya mengenakan daster dan dia yakin kalau wanita itu belum mandi walaupun sudah mencuci muka, mungkin.
Kedua. Ketika dia memakan masakan Kanaya. Enak. Sangat enak malah. Dia sudah lama tidak sarapan seperti itu. Mungkin dia hanya akan sarapan roti dan juga minum kopi di pagi hari.
Dari dua hal tersebut Kelana boleh tidak berharap jika dia bisa melihat dan merasakan suasana itu setiap hari. Setiap hari. Ketika dia membuka mata melihat Kanaya yang sudah bangun dan sedang menyiapkan sarapan di dapur. Lalu, dia akan memakan masakan Kanaya setiap hari, bukan hanya ketika sarapan. Pagi, siang, dan malam, Kelana menginginkan itu. Membayangkan hal tersebut tanpa sadar bibirnya sudah tersenyum lebar.
Kanaya sudah selesai membereskan dapur dan bersiap untuk mendadani dirinya sendiri. Tentu saja aktivitasnya tadi masih diiringi dengan perasaan kesal, canggung dan malu tentu saja.
Hari ini benar-benar adalah hari yang memalukan. Mimpi buruk yang benar-benar nyata. Pertama, dia harus muncul dengan daster butut di depan laki-laki itu. Kedua, dia harus kehilangan nafsu makan juga karena laki-laki itu. Ah, kalau dipikir-pikir hari ini, dia sial banget sih. Mana setelah makan, Kelana tidak mengucapkan apa-apa. Kanaya bukan kesal lagi tapi dongkol. Ya, misalnya memberikan pujian atau bagaimana seharusnya untuk menyenangkan Kanaya. Namun, itu mungkin hanya ada dalam khayalan Kanaya saja, buktinya laki-laki itu masih lempeng aja dan mengajak Tiara pergi setelah gadis kecil itu sudah selesai sarapan.
"Mari, Pak. Saya sudah siap," ucap Kanaya setelah sampai di ruang tamu.
Tangannya menenteng sebuah tas dan bahunya juga tersampir tas kecil.
"Kamu bawa bekal?" tanya Kelana setelah mengamati barang bawaan Kanaya.
"Iya, Pak."
Kanaya memang sudah menyiapkan bekal makan siang mengingat mereka akan pergi ke pantai. Walaupun hanya capcay dan ayam goreng, tidak lupa sambal karena Kanaya sangat suka dengan sambal.
Kelana mengangguk kecil kemudian menggiring Tiara untuk keluar dan masuk ke dalam mobil. Laki-laki itu tersenyum tipis setelah Kanaya masuk dan memilih untuk duduk di sampingnya. Dia merasa seperti mempunyai keluarga kecil yang harmonis. Senyumnya merekah kembali ketika memikirkan hal tersebut.
Kanaya merasa ada yang aneh dengan laki-laki di sampingnya ini. Sejak dia membuka pintu rumahnya dan sampai sekarang sedang di perjalanan, atasannya tidak berhenti tersenyum. Sampai-sampai Kanaya harus berkedip berulang kali untuk memastikan kalau dia tidak salah lihat.
"Masakan kamu enak."
Kanaya yang sibuk dengan pikirannya sendiri langsung tersadar ketika suara Kelana terdengar dalam telinganya.
"Apa Pak? Masakan saya kenapa?" tanya Kanaya dengan bingung. Dia tadi mendengar dengan jelas perkataan Kelana, tapi hatinya menolak untuk berbangga diri sebelum laki-laki itu mengulangi kalimatnya.
"Saya bilang masakan kamu enak. Saya suka."
Laki-laki itu hanya berkata sambil terus fokus menyetir. Kanaya berkedip beberapa kali. Dia merasakan ada yang aneh dalam dadanya. Kenapa jantungnya berdegup sangat cepat, lalu kenapa wajahnya juga terasa lebih panas. Waw. Apa ini efek dari perkataan Kelana?
Setelah itu sepanjang perjalanan Kanaya lebih banyak diam sambil mendengarkan Tiara yang berceloteh dengan Kelana. Efek dari perkataan Kelana masih ada. Apalagi beberapa kali, laki-laki itu tersenyum manis padanya. Mendadak Kanaya merasa kalau atasannya itu berkali-kali lipat lebih tampan ketika tersenyum. Apa
Kanaya sudah mulai tidak waras?
******
Cieeee cieeee jangan marah atau kesel yak teamAnji 😂 😂 Aku takut, yakin.
Kalau mau kesel sama Kelana aja #disleding Kelana
Oh ya ini udah yang kedua dalam seminggu jadi sampai ketemu minggu depan....
Oh ya, aku mau tanya ada yang mau Cast mereka? Tapi aku tidak yakin imajinasiku sama kayak kalian.
Makasih banyak untuk yang udah baca, vote dan komentar.
Happy reading
Vea Aprilia
Kamis, 27 Desember 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top