Keduapuluhlima
Pagi hari yang cerah, Kanaya sudah siap dengan sepeda motornya untuk berangkat bekerja sekaligus mengantarkan Tiara sekolah. Rutinitas yang normal terjadi setiap hari. Terlihat baik-baik saja, tapi sebaliknya. Hati Kanaya sedang tidak baik-baik saja setelah kedatangan Anji di rumahnya. Tentu saja dia memikirkan kalimat Anji waktu itu. Bukan Kanaya berharap, tapi dia takut, harapan tidak seindah kenyataan. Ah, sudahlah, biarkan Tuhan yang mengatur hidupnya. Biarkan waktu yang akan menjawab semuanya.
Kanaya menghela napas kemudian memakai helmnya, tapi gerakannya terhenti ketika melihat sebuah mobil berwarna putih yang dia kenal betul siapa pemiliknya, berhenti tepat di depan rumahnya. Seorang laki-laki yang mengenakan kemeja berwarna abu-abu dan celana kain hitam turun dari mobil tersebut. Ah, kenapa laki-laki ini harus muncul sekarang.
"Om Ganteng!" teriak Tiara sambil berlari ke arah laki-laki itu.
"Selamat pagi, Tiara Cantik," sapa Kelana sambil menyejajarkan tubuhnya dengan Tiara.
"Pagi, Om," balas Tiara malu-malu. "Om mau jemput Tiara, ya?"
Kelana mengangguk sambil tersenyum.
"Hore! Bunda, Om Ganteng jemput Tiara." Gadis kecil itu bersorak bahagia. Dia tidak tahu jika sang Bunda sedang sedikit kesal.
Kanaya melepas helmnya kembali kemudian berjalan ke arah Kelana. "Bapak ada urusan apa kemari?" tanya Kanaya tidak ingin basa-basi.
"Ih, Bunda. Kan, Om Ganteng mau anterin Tiara ke sekolah," sela gadis kecil itu.
"Benar kata Tiara."
"Tidak perlu, Pak. Saya bisa mengantarkan Tiara sendiri. Ayo Tiara," tolak Kanaya dengan tegas.
Gadis kecil itu bukannya nurut, tapi malah berdiri di belakang kaki Kelana. Tanda jika dia tidak mau diantar oleh Kanaya.
"Tiara," panggil Kanaya sedikit kesal.
"Bunda, Tiara mau naik mobil." Gadis kecil itu kemudian berlari ke arah mobil Kelana.
"Saya pikir lebih baik, Tiara saya antar saja. Dan juga ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu."
"Tapi, tidak ada yang ingin saya bicarakan dengan Bapak," potong Kanaya.
Ah, kenapa dengan dua orang laki-laki yang muncul secara bergantian kemudian mengusik hidupnya. Masalah dengan Anji belum juga selesai, kenapa muncul Kelana. Kanaya menghela napas panjang dan membuangnya.
"Bunda...,"teriak Tiara," ayo dong, nanti Tiara telat."
"Tidak perlu berdebat lagi, masukkan motormu dan naiklah." Kelana menunjuk motor yang terparkir di depan rumah.
"Baiklah. Kalau Bapak bersikeras untuk mengantarkan Tiara, saya bisa berangkat ke kantor sendiri." Kanaya masih belum mau menuruti perkataan Kelana. Jujur, dia tidak ingin satu mobil dengan laki-laki ini. Sebenarnya, dia tidak ada masalah dengan laki-laki di depannya ini, tapi entah kenapa kehadiran Kelana malah memperburuk suasana hatinya.
"Bunda!!!" Tiara kembali berteriak.
Kanaya memejamkan mata sejenak, membuang napas kemudian berbalik untuk memasukkan sepeda motornya kembali. Ah, sepertinya kali ini dia harus mengalah.
*****
"Duduk di depan," perintah Kelana, ketika mereka akan berangkat ke kantor.
"Saya di belakang saja, Pak." Kanaya membuka pintu mobil tengah, tapi sial dikunci.
"Saya bilang duduk di depan, Nay," ulang Kelana.
Mau tak mau Kanaya menurut untuk duduk di samping Kelana. Sebenarnya apa yang diinginkan laki-laki ini sekarang. Memaksanya?
"Bapak tidak perlu repot-repot untuk menjemput Tiara," ujar Kanaya tidak mau menyembunyikan perasaan kesalnya.
"Kamu ada masalah sama saya?" tanya Kelana menoleh sebentar kemudian fokus kembali pada jalanan.
Kanaya menghela napas. Dia memang tidak punya masalah dengan laki-laki ini, tapi gara-gara Kelana juga, Anji bisa datang ke rumahnya. Seharusnya dia menolak saja waktu itu saat Kelana mengajaknya untuk bertemu narasumber yang berujung pertemuannya dengan Anji. Ah, kenapa takdir selalu tidak mau berpihak padanya.
"Ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu," ujar Kelana memecah keheningan.
Kanaya kembali menghela napas. Saat ini, dia hanya ingin mendinginkan kepala. Namun, sepertinya dia harus mengurungkan niatnya tersebut untuk sementara waktu.
"Masalah pekerjaan?" tanya Kanaya. Wanita itu ingat hubungan di antara mereka hanyalah sebatas atasan dan bawahan. Terlepas mereka pernah jalan-jalan bersama Tiara.
"Bukan."
Kanaya menoleh, matanya menyipit.
"Saya ingin menanyakan hal yang pribadi."
Kali ini mata Kanaya terbelalak. Belum sempat otaknya memproses, dia sudah mendengar lagi suara Kelana.
"Apa hubungan kamu sama Anji?"
Dahi Kanaya mengernyit. Untuk apa atasannya ini menanyakan hal tersebut.
"Itu bukan urusan Bapak," jawab Kanaya dengan cepat disertai nada kesal.
Cukup. Dia tidak ingin memikirkan laki-laki bernama Anji itu sekarang, tapi atasannya malah mengungkit namanya dan membawa topik sensitif yang sudah membuat suasana hatinya mendung.
Tiba-tiba mobil berjalan pelan dan menepi di bahu jalan yang sepi. Kanaya tentu saja kaget.
"Kenapa berhenti?" tanya Kanaya menatap Kelana.
"Karena saya ingin kita bicara sebentar."
Kanaya menghela napas. "Maaf Pak, tapi saya sedang dalam mood yang kurang bagus untuk berbicara sekarang, apalagi kalau Bapak ingin membahas masalah pribadi."
"Apa karena Anji?" Suara Kelana terdengar dingin.
Kanaya memutar bola matanya malas. Demi Tuhan. Ada apa sebenarnya dengan laki-laki di sebelahnya ini? Kenapa Anji dan Anji lagi yang dibahas?
"Maaf Pak. Saya tidak ingin berbicara apa-apa. Jika Bapak tidak ingin ke kantor, saya bisa naik ojek sendiri."
"Tunggu," cegah Kelana memegang lengan Kanaya ketika wanita itu hendak membuka pintu.
"Maaf," ucap Kelana buru-buru melepaskan pegangan tangannya ketika mendapati sorot kurang bersahabat dari manik mata Kanaya.
"Maaf, Pak. Saya menghormati Anda sebagai atasan saya, tapi bukan berarti Bapak bisa ikut campur dalam urusan pribadi saya." Suara Kanaya terdengar tegas. Dia mencoba untuk tidak marah saat ini.
"Apa saya harus jadi seseorang yang spesial untuk bisa mencampuri urusan pribadi kamu?" tanya Kelana tanpa melepaskan tatapan matanya pada Kanaya.
Kanaya terperangah mendengar perkataan Kelana. "Maksud Bapak?"
"Saya berbicara di sini sebagai seorang pria dewasa bukan atasan kepada bawahannya."
Kanaya menatap mata hitam Kelana tanpa berkedip. Untuk beberapa saat otaknya serasa tersumbat hingga tidak bisa berpikir.
"Saya tahu siapa Anji dan bagaimana dia."
Otak Kanaya seolah bisa berfungsi kembali ketika topik tentang Anji dibahas lagi.
"Saya memang tidak tahu, apa hubungan kamu dengan Anji, tapi saya tidak mau kamu terlalu dekat dengan laki-laki itu."
Bibir Kanaya serasa mati rasa. Dia ingin membalas semua perkataan kelana, tapi suaranya seolah hilang.
"Saya tahu. Saya memang tidak tidak punya hak untuk mencampuri urusan pribadi kamu, tapi sebagai seorang laki-laki dewasa, saya peduli."
Mata mereka masih saling menatap. Bahkan Kanaya dapat melihat keseriusan dari wajah Kelana.
"Saya peduli sama kamu juga Tiara," ucap Kelana sebelum akhirnya memutus kontak mata mereka kemudian menyalakan kembali mesin mobil.
Suasana hening menemani mereka hingga mobil memasuki perataran kantor. Kanaya buru-buru keluar dari mobil. Dia tidak bisa terus berada di dekat Kelana. Alarm dalam otaknya seolah memberikan tanda peringatan.
Kelana menatap sosok Kanaya yang telah keluar dari mobilnya tanpa mengucapkan satu patah kata, hingga punggung ibu satu anak itu menghilang di balik pintu masuk kantor. Laki-laki itu menghela napas kasar. Apa yang baru saja dilakukannya? Seharusnya dia tidak bertanya tentang Anji, tapi sebesar apa pun dirinya mencoba menahan, dia tidak bisa.
Kelana tahu betul siapa Anji dan bagaimana sepak terjang laki-laki itu. Dia hanya tidak ingin Kanaya menjadi salah satu wanita yang akan patah hati oleh pesona Anji. Walaupun Kelana sendiri tidak tahu betul apa hubungan antar keduanya.
Sekali lagi Kelana menghela napas panjang. Kemarin dia pikir hubungannya dengan Kanaya sudah ada sedikit kemajuan, tapi hari ini dia yakin hubungannya malah berjalan mundur, dan itu semua karena Anji. Kenapa harus ada sosok Anji lagi yang datang dalam kehidupannya.
****
Hallo semuanya
Apa kabar?
Semoga baik-baik saja
Maaf ya, kalau aku publishnya nggak tentu karena aku belum punya hp baru untuk menulis dengan nyaman, tapi aku pasti tamatkan cerita ini kok.
Terima kasih banyak yang sudah mau nungguin cerita ini
Happy Reading
Vea Aprilia
Rabu, 23 Januari 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top