Keduapuluhempat

Kanaya sangat lelah hari ini dan memutuskan untuk segera pulang saja. Dia bekerja keras untuk melupakan pertemuannya dengan Anji dua hari yang lalu. Ibu satu anak itu juga masih tidak mau mengangkat telepon dari Anji, walaupun beberapa kali dia sudah mau membalas pesan dengan singkat dan terkesan ogah-ogahan.

Wanita itu hanya tidak ingin menjalin hubungan lagi dengan laki-laki masa lalunya. Apalagi dia menyimpan rahasia tentang status Tiara. Kanaya takut. Dia takut kalau suatu saat Anji tahu dan mengambil Tiara. Walaupun itu semua hanya imajinasi yang terus berputar liar dalam pikirannya. Namun, dia juga merasa khawatir. Laki-laki itu memiliki kekayaan dan kekuatan yang cukup. Dia bisa saja mengambil Tiara lewat jalur hukum.

Ah, sial. Kanaya menggeram sendiri. Kenapa otaknya semakin lama semakin tidak waras saja. Anji tidak tahu apa-apa dan Kanaya akan tetap membuatnya seperti itu.

Motor Kanaya tiba di depan rumah Bi Indah ketika sebuah mobil BMW berwarna hitam terparkir tepat di depan rumahnya sendiri. Matanya mengamati dengan saksama kemudian mengumpat dalam hati, siapa orang yang memarkirkan mobilnya sembarangan seperti itu. Motornya pasti tidak akan bisa masuk ke dalam rumah.

"Assalamualaikum, Bi," panggil Kanaya dari depan pintu rumah Bi Indah.

"Walah, Neng Naya toh, udah pulang?" balas Bi Indah setelah tiba di depan pintu.

"Sudah, Bi. Tiara sedang apa?" tanya Kanaya karena tidak melihat anaknya ikut keluar bersama Bi Indah seperti biasa.

"Tiara udah di rumah, tadi Bibi temenin trus Bibi tinggal pulang, karena harus nyiapin makan malam."

"Yaudah kalau begitu, saya permisi pulang dulu Bi," pamit Kanaya akan beranjak pergi, tapi dihentikan oleh ucapan Bi Indah.

"Di rumah ada tamu, Neng."

"Siapa Bi?" Mata Kanaya menyipit. Dia terkejut dengan perkataan Bi Indah.

"Iya. Itu, yang naik mobil itu." Bi Indah menunjuk mobil hitam yang terparkir di depan rumah Kanaya.

Kanaya semakin dibuat bertanya-tanya.

"Katanya temennya Neng dari...."

Tiara.

Belum sempat wanita paruh baya itu  melanjutkan kalimatnya, Kanaya sudah melesat meninggalkan rumah Bi Indah menuju rumahnya sendiri. Dia tiba-tiba memikirkan Tiara. Anak gadisnya sendirian bersama seseorang tamu yang Kanaya tidak tahu siapa itu. Tentu saja timbul perasaan khawatir dalam pikiran dan hatinya.

"Tiara, Nak,"  panggil Kanaya sambil menerobos masuk begitu saja ke dalam rumah. Dia melihat anaknya itu sedang asik menggambar sesuatu dan tampak baik-baik saja.

"Bunda sudah pulang?"  Tiara kemudian berdiri dan mencium punggung tangan Kanaya.

Kanaya masih sedikit linglung. Napasnya terengah-engah karena berlari masuk ke dalam rumah. Namun, ternyata putrinya baik-baik saja. Ah lega. Dia kemudian berlutut sambil memeluk tubuh Tiara dengan erat, tapi itu semua tidak berlangsung lama ketika sebuah suara terdengar di antara mereka.

"Kamu sudah pulang?"

Kanaya mendongak dan mendapati Anji baru saja keluar dari kamar mandi rumahnya. Ya, Anji. Laki-laki yang mampu mengusik kembali kehidupan Kanaya.

"Kamu?" tanya Kanaya kaget.

"Ya. Ini aku." Anji tampak santai kemudian duduk di sofa.

Mata Kanaya masih menatap laki-laki itu dengan tidak percaya. Bagaimana bisa?

"Bunda, Tiara tadi main sama Om Anji. Bunda masih ingat kan, sama Om Anji yang tinggal di Jakarta?"

Kanaya langsung tertegun mendengar ucapan Tiara.

Bagaimana dia bisa lupa? Bahkan sampai beberapa menit yang lalu dia masih memikirkan tentang laki-laki itu. 

"Bunda kok diam aja sih. Masa Om Anji nggak di sapa," tukas Tiara yang sedikit heran dengan sikap sang Bunda.

"Kamu nggak apa-apa?" Kali ini Anji ikut bersuara. Ada nada khawatir sampai laki-laki itu berdiri kembali dari duduknya.

"Aku nggak pa-pa," sela Kanaya cepat. Dia kemudian berdiri dan berjalan menuju dapur.

Air. Kanaya butuh air. Otaknya masih belum bisa mencerna semuanya. Dia butuh menyegarkan otak dan menghidu oksigen dalam-dalam.

Bagaimana bisa? Bagaimana bisa laki-laki itu tahu alamat rumahnya?

Kanaya merasa bingung dan mendadak kecemasan dalam pikirannya muncul kembali. Semua pikiran buruk seolah berputar seperti kaset rusak dalam otaknya. Bayangan-bayangan imajinasi yang sejak beberapa hari bercokol di benaknya, kini seolah terpampang nyata.

"Kamu beneran nggak pa-pa?"  tanya Anji yang tiba-tiba sudah muncul di dapur.

Kanaya sempat berjingkat mendengar pertanyaan Anji. Dia baru saja menenangkan detak jantungnya, tapi kehadiran laki-laki ini mampu membuat dadanya kembali berdegup kencang. Oksigen yang baru saja dihirupnya seolah ditarik kembali hingga membuat paru-parunya terasa sesak.

"Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku?" Akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulut Kanaya. Matanya melirik gestur laki-laki yang sedang berdiri tak jauh dari meja makan. Pesona Anji masih sama seperti dulu sekalipun berjuta kali Kanaya mencoba untuk memungkiri hal tersebut. Kalau dulu dia akan senang hati jatuh dalam pesona itu, tapi kali ini Kanaya merasa ketakutan. Dia takut pesona Anji merampas semua kebahagiannya bersama Tiara.

"Maaf. Aku ngikutin kamu kemarin."

Jawaban Anji tentu saja membuat Kanaya terkejut. Dia tadi sempat berpikir jika Kelana yang sudah memberikan alamat rumahnya pada Anji. Secara, mereka berdua adalah teman.

"Kamu ngikutin aku?"

Anji hanya mengangguk sekilas sebagai balasan.

"Untuk apa?" cerca Kanaya.

"Karena kamu susah untuk dihubungi, Kay. Aku merasa kamu sedang jaga jarak sama aku."

Kanaya menghela napas panjang setelah mendengar penjelasan Anji. Benar. Memang benar dia sedang menjaga jarak dengan Anji, tapi Kanaya tidak percaya jika laki-laki ini bisa senekat itu. Mengikutinya?  What the hell.

"Sekarang, mau kamu apa?"  Kini tubuh mereka sudah berhadapan-hadapan. Kanaya mencoba untuk bersikap dewasa. Cepat atau lambat mungkin hal seperti ini akan terjadi. Dia tidak bisa menghindar terus-menerus.

"Aku mau kita kayak dulu lagi."

Kanaya tertegun sekilas. Kayak dulu lagi? Memang dulu kita seperti apa? Pertanyaan dalam hatinya membuat Kanaya terasa teriris.

"Oke. Kalau kamu mau kita temenan lagi...."

"Bukan," potong Anji cepat, "aku mau kita bukan sekadar teman."

Shit. Kepala Kanaya menjadi lebih berat.  Laki-laki ini benar-benar sulit untuk ditebak.

"Maksud kamu?"

"Kamu mengerti maksudku, Kay. Kita sudah dewasa dan tidak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan. Kamu tahu itu. Dulu ataupun sekarang."

Kanaya terdiam. Dia mencoba mencerna setiap perkataan Anji.

"Aku juga kangen sama Tiara. Entah kenapa sejak pertemuan di tempat Mahesa, aku selalu terbayang wajah menggemaskan Tiara dan... juga wajah cantik kamu. Jujur, aku kangen sama kamu Kay, sejak lima tahun yang lalu kamu menghilang begitu saja." Anji menampilkan wajah sendu. Ada sorot kerinduan yang terpancar dari manik hitam laki-laki itu.

Kanaya mulai melayang. Bukan. Bukan karena perkataan manis Anji, tapi sikap laki-laki itu yang blak-blakan. Jujur, Kanaya belum siap.

Dia tidak bisa menjalin hubungan dengan Anji. Tidak setelah kejadian lima tahun yang lalu. Bayangan kejadian itu seolah muncul dan menari-nari dalam otak Kanaya sekarang.

*****

"Kamu tahu, Anji kepergok jalan sama cewek."

"Oh, cewek misterius yang katanya kerja di kantor penerbitan itu."

"Iya, paling juga cuma mainan Anji, kan Anji mau tunangan sama...."

Kanaya sudah tidak tahan lagi mendengar percakapan dua orang wanita di lobi kantor tempat Siska bekerja. Kupingnya terasa panas. Dia tahu siapa yang sedang mereka bicarakan. Itu tentu saja dirinya dan Anji. Bagaimana Kanaya bisa begitu yakin?  Ya, karena ada wartawan yang memotret dirinya ketika masuk ke dalam mobil milik Anji. Dan foto itu langsung menjadi Head News koran bagian depan serta bahan gosip utama di berbagai siaran infotainment. Walaupun wajahnya tidak begitu jelas dalam potret tersebut, tapi tetap saja membuat Kanaya tidak nyaman.

"Kabarnya, dia itu teman salah satu pembaca berita di sini."

"Ah, yang bener. Nggak tahu malu ya. Dia pasti cuma ngincer harta Anji doang. Secara Anji tuh cakep, anak direktur pula. Kalah level lah sama tunangannya sekarang. "

Begitulah percakapan mereka ketika melewati Kanaya yang sedang berdiri sambil memainkan ponselnya. Mencoba menghubungi Siska supaya cepat turun.

Ah. Sialan. Kenapa dia buru-buru datang ke kantor Siska setelah melihat berita tersebut. Dan harus mendengar gosip murahan tentang dirinya.

"Apa?" tanya Kanaya setelah Siska duduk di kursi paling pojok sebuah kafe tak jauh dari kantornya.

"Itu beneran lo?"

Kanaya mengangguk pasrah. Dia tidak mungkin menyembunyikan fakta yang bahkan seluruh rakyat Indonesia sudah mengetahuinya.

"Oh my God, Nay! Gue nggak nyangka itu beneran lo. Sejak kapan lo kenal dekat sama atasan gue?" cerca Siska masih dengan wajah tidak percaya.

"Ceritanya panjang."

"Gue bakalan dengerin, tapi please Naya, gue tuh sahabat lo, dan gue nggak tahu masalah ini sebelum gosip itu beredar pagi tadi."

"Gue tahu. Gue minta maaf."  Kanaya menunduk. Dia merasa bersalah pada Siska saat ini.

"Saya akan memberikan klarifikasi atas berita yang beredar tadi pagi. Bahwa saya tidak menjalin hubungan khusus dengan wanita yang ada dalam foto tersebut. Wanita itu hanya kenalan salah satu teman saya. Mohon untuk tidak membuat berita yang akan memperburuk keadaan. Saya akan segera bertunangan, jadi saya tidak mungkin menjalin affair dengan wanita lain. Sekian penjelasan dari saya."

"Apakah benar yang Anda katakan, tapi di foto tersebut kalian terlihat mesra?"

"Saya tekankan sekali lagi, jika kami hanya sebatas kenalan saja tidak lebih apalagi dekat. Jadi, gosip itu sama sekali tidak benar. Wanita itu hanya sebatas saya berikan tumpangan untuk sampai ke halte terdekat. " 

Setelah mengucapkan klarifikasi tersebut, Anji langsung meninggalkan kerumunan wartawan.

Kanaya dan Siska tampak membeku di tempatnya ketika melihat tayangan televisi yang sedang menampilkan sosok Anji. Laki-laki itu sedang memberikan klarifikasi atas berita tidak jelas tentang dirinya. Sangat cepat dan terkesan terburu-buru. Baru tadi pagi berita itu mencuat, tapi Anji langsung memberikan komentar pada sore harinya. Tentu saja itu sangat mengejutkan bagi Siska dan terutama Kanaya.

"Lo nggak pa-pa?"  tanya Siska setelah kesadarannya kembali dan melihat bagaimana perubahan wajah Kanaya. Wanita itu tampak diam dan lebih pucat setelah melihat berita tersebut.

"Kayaknya gue harus pergi." Kanaya berlari keluar kafe tanpa menghiraukan panggilan dari Siska. Dia butuh sendiri. Dia butuh menenangkan hati dan pikirannya.

Anji laki-laki itu telah memporak-porandakan hatinya.

****

"Kay," panggil Anji ketika melihat Kanaya melamun.

Kanaya tergagap kemudian berhasil menguasai diri kembali. Dia menggeram dalam hati, kenapa di saat seperti ini, ingatan konyol itu muncul kembali. Shit.

"Kamu nggak pa-pa?" tanya Anji menunjukkan raut wajah cemas.

"Aku nggak pa-pa. Sebaiknya kamu pulang. Nggak enak sama tetangga."

"Tapi, kamu belum jawab permintaan aku."

"Apa lagi, Sat?" Oh sial. Kenapa mulutnya malah memanggil nama laki-laki itu. Panggilan khusus yang hanya mereka berdua yang tahu.

Bibir Anji menyunggingkan senyum setelah mendengar nama panggilan khususnya. "Aku mau, kamu sama aku, kita menjalin hubungan bukan hanya sekadar pertemanan."

"Aku minta maaf, tapi aku nggak bisa," tegas Kanaya. Dia tidak bisa memberi harapan atau berharap lagi. Sudah cukup lima tahun yang lalu.

"Kenapa? Apa karena kamu sudah punya anak?" Anji tampak tidak terima dengan penolakan Kanaya.

 Tubuh Kanaya menegang. Justru karena ada Tiara, dia tidak ingin Anji tahu masalah ini. Setidaknya saat ini karena jujur Kanaya belum siap sepenuhnya. Bibirnya sudah tidak sanggup berkata lagi.

"Baiklah. Aku akan pergi sekarang, tapi aku tidak akan menyerah, Kay. Tidak seperti lima tahun yang lalu."

Setelah itu keheningan menyelimuti Kanaya. Anji baru saja pergi. Dia sempat mendengar ketika laki-laki itu berpamitan dengan Tiara.

Ah, Tiara.

Putrinya sangat mendamba sosok seorang ayah, tapi dia baru saja menolak laki-laki yang berstatus sebagai ayah kandung dari anaknya. Sangat egois, bukan?

****

Selamat malam semuanya

Cie-cie yang teamAnji pasti senangkan?

Perjalanan masih panjang Anji dan Kelana masih harus berjuang keras untuk meluluhkan hati Kanaya dan Tiara. Jadi, terus kasih semangat ya. Cerita ini tanpa outline, jadi kalau ada yang adegan yang gak nyambung kasih komentar ya, terima kasih.

Happy reading

Vea Aprilia
Jumat, 18 Januari 2019



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top