Keduapuluhdelapan

Sejak kejadian perdebatan kecil Kelana dan Kanaya di dalam mobil setelah mereka mengantar Tiara ke sekolah, wanita itu seolah menghindar. Kanaya lebih menjaga jarak dengan atasannya tersebut. Mereka hanya berbicara masalah pekerjaan saja. Sedangkan Kelana juga melakukan hal sama. Sudah lama dia tidak datang ke rumah Kanaya dan bertemu dengan Tiara. Ada saat di mana dua orang anak manusia butuh waktu untuk menata hati dan pikiran. Dan itu yang sedang mereka lakukan sekarang.

Kanaya sebenarnya tidak mau ambil pusing. Dia lebih baik fokus pada pekerjaannya dan juga Tiara. Seperti sekarang ini, dia sedang duduk berdua bersama Bi Indah, tetangganya. Menikmati sore di hari libur sambil mengawasi Tiara yang bermain di halaman rumah bersama beberapa anak tetangga.

"Neng Naya," panggil Bi Indah lirih. Perempuan setengah baya tersebut baru saja datang ke rumah Kanaya untuk mengantarkan kue bolu buatannya sendiri.

"Iya, Bi." Mata Kanaya melihat gelagat Bi Indah yang sedikit aneh. Seolah ingin menanyakan sesuatu padanya.

"Itu ... anu ...."

"Ada apa sih, Bi?" desak Kanaya karena dia jadi ikut penasaran dengan sikap tetangganya saat ini.

Bi Indah tersenyum sedikit kikuk sebelum berbicara, "Maaf lho, Neng, kalau saya lancang."

Alis Kanaya saling bertaut. Dia jadi ikutan salah tingkah melihat sikap aneh Bi Indah. Dalam hati dia bertanya-tanya, ada apa sih sebenarnya. "Bibi mau ngomong apa? Ngomong aja." Kanaya memberikan sebuah senyuman manis.

"Saya sedikit nggak enak sih sebenarnya, Neng."

"Gak pa-pa, Bi. Ngomong aja." Kanaya berpikir mungkin tetangganya itu ingin meminta kenaikan upah atau ingin meminjam uang. Makanya wanita setengah baya itu bersikap seperti sekarang ini. Sungkan dan malu mungkin.

"Laki-laki yang sering jemput Tiara ke sekolah itu ayahnya ya, Neng?"

Deg.

Semua pikiran Kanaya terpatahkan oleh pertanyaan yang baru saja meluncur dari mulut Bi Indah. Dia terkejut sekali. Salah besar ternyata dugaannya. Bukan uang, tapi laki-laki.

"Maksud Bibi ... yang pake mobil putih itu?" tanya Kanaya dengan hati-hati dan juga masih dalam keadaan terkejut.

Bi indah mengangguk. "Maaf lho, Neng. Soalnya saya penasaran sama ayah kandungnya Tiara. Sejak Tiara masih kecil, kan tidak pernah datang, tapi akhir-akhir ini kok sering ada laki-laki yang datang ke sini, apalagi Tiara manggilnya ayah. Saya kan jadi kepo."

Dalam hati Kanaya meringis. Pasti yang dimaksud tetangganya itu adalah Kelana. Siapa lagi yang rajin jemut Tiara kalau bukan Kelana. Ah, sepertinya Kanaya harus meluruskan kesalahpahaman ini agar tidak timbul gosip atau masalah yang akan membuatnya pusing kemudian hari.

"Bukan, Bi. Laki-laki itu atasan saya di kantor." Kanaya tersenyum kecut setelah mengatakan hal tersebut. Dia tidak habis pikir, Bi Indah bisa mempunyai pikiran seperti itu.

"Tapi, kok Tiara manggilnya ayah? Apa Neng ... pacaran sama laki-laki itu? Atau mungkin calon ayahnya Tiara, ya?"

Kanaya terkejut sekali lagi dan cepat-cepat dia menggeleng. "Bukan, Bi." Ya Tuhan. Kenapa wanita paruh baya ini jadi penasaran dengan hubungannya dengan Kelana. Sepertinya dia harus benar-benar menjelaskan semuanya biar tidak ada kesalahpahaman lagi. Tiba-tiba saja kepala Kanaya terasa pusing mencari kalimat yang tepat agar Bi Indah mengerti..

"Neng, nggak usah malu. Saya setuju kok kalau laki-laki itu jadi ayah Tiara. Udah ganteng dan juga kelihatan sayang banget sama Tiara." Bi Indah tertawa kecil setelah mengucapkan hal tersebut.

Kanaya mendesah. Dia harus memutar otak untuk memberikan penjelasan lagi. Kedekatan mereka ternyata disalahartikan oleh Bi Indah. Kanaya tidak pernah memikirkan tentang akibat yang akan diperolehnya seperti sekarang ini. Dan sial. Kanaya baru ingat jika mungkin orang-orang di kantor juga bisa berpikiran sama dengan Bi Indah.

"Kami cuma rekan kerja kok, Bi, dan kebetulan juga kami dekat, tapi bukan pacaran yang seperti Bibi maksud." Kanaya mencoba menjelaskan semuanya dengan jujur. Namun, ternyata sia-sia setelah dia mendengar lagi perkataan Bi Indah.

"Ah, Eneng, nggak usah malu. Lagipula Tiara juga udah kelihatan suka banget sama laki-laki itu dan juga udah manggil ayah lagi. Apalagi yang ditunggu, Neng, nggak baik loh terus-terusan sendiri." Bi Indah tersenyum malu-malu.

Astaga. Apa yang sebenarnya terjadi dengan tetangganya ini? Kenapa sikapnya seperti ini. Kepala Kanaya semakin pusing saja rasanya. "Itu karena ...." Kanaya kehilangan kata-katanya, dia bingung untuk memberikan penjelasan lagi. Bi Indah selalu saja punya kata-kata yang seolah memupuskan semua penjelasannya.

"Ngomong-ngomong, namanya siapa Neng?" tanya Bi Indah dengan mimik wajah penasarannya.

"Siapa, Bi?"

"Ya, pacar Eneng. Calon bapaknya Tiara." Bi Indah terkikik sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan.

Sekali lagi Kanaya menarik napas dan membuangnya dengan kasar. "Namanya Kelana, tapi dia bukan pacar saya, apalagi calon ayahnya Tiara. Bibi jangan berpikiran tidak-tidak. Kami hanya teman kerja."

Bi Indah tidak membalas, tapi hanya tersenyum kecut. Terlihat sekali kalau wanita paruh baya itu kecewa. Namun, ternyata Bi Indah belum selesai begitu saja. Dia kemudian melontarkan sebuah pertanyaan yang sukses membuat tubuh Kanaya menegang.

"Atau jangan-jangan, laki-laki yang kata Tiara dari Jakarta itu yang pacar Eneng?"

Kanaya terdiam. Mungkin sekarang yang Bi Indah maksud adalah Anji. Setelah Kelana yang dijadikan korban, sekarang giliran Anji. Sungguh, Kanaya tidak pernah menyangka akan dihadapkan dengan sesi interogasi oleh tetangganya sendiri. Seorang wanita paruh baya yang kesehariannya hanya di rumah.

"Tapi, kalau dilihat-lihat lagi ... laki-laki yang dari Jakarta itu lebih mirip sama Tiara. Jadi, pas pertama kali ketemu dia, Bibi sempat mengira kalau dia itu ayahnya Tiara lho, Neng. Wajahnya itu loh, mirip banget."

Deg. Jantung Kanaya seolah dipacu semakin cepat setelah mendengar perkataan Bi Indah. Sekali lagi, pikiran tetangganya itu terlalu ajaib. Bagaimana bisa wanita berdaster itu punya pemikiran sepeka itu. Dan pikiran itu sepenuhnya tidak salah. Kanaya ingin sekali kabur dari pembicaraan yang menyesakkan ini. Namun, sepertinya itu mustahil karena tidak mungkin dia mengusir wanita yang telah mengasuh Tiara pergi dari rumahnya begitu saja.

"Beneran ya, Neng. Itu pacar Eneng?" tanya Bi Indah lagi karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari Kanaya.

"Bu- bukan, Bi." Astaga Kanaya sampai gagap menjawab pertanyaan Bi Indah.

Bi Indah mencebik. "Ah, Eneng. Jangan gitu. Masak semua dibilang bukan. Si ganteng yang suka jemput Tiara bukan, yang dari Jakarta juga bukan. Saya sebenarnya penasaran udah lama, Neng. Eneng, kan, katanya udah lama cerai, dan saya juga nggak pernah lihat ada laki-laki datang ke sini kecuali dua orang itu. Masak semua cuma temen sih, Neng. Lagipula mantan suami Eneng juga nggak pernah nengok Tiara, jadi buat apa sendiri terus Neng. Laki-laki kayak mantan suami Eneng itu, udah nggak pantes disebut laki-laki karena nggak punya tanggung jawab sama Eneng dan juga Tiara."

Satu lagi perkataan panjang Bi Indah yang sukses membuat Kanaya membeku. Dia bingung untuk membalas perkataan Bi Indah. Sungguh, kenapa hari ini tingkat penasaran tetangganya tersebut meningkat drastis. Dari pacar, calon ayah Tiara sampai ke mantan suami. Namun, ada kalimat Bi Indah yang membuat Kanaya tersentil, bagaimana bisa dia punya mantan suami jika tidak pernah menikah. Oh, Bi Indah. Kanaya meminta maaf dalam hati karena berbohong tentang statusnya.

Bi Indah melihat wajah Kanaya yang seperti tidak nyaman kemudian dia berkata, "Kalau begitu, saya pamit dulu ya, Neng."

"Oh ... Iya, Bi." Kanaya tidak berniat berbasa-basi dengan menyuruh Bi Indah untuk tinggal lebih lama di rumahnya. Dia sudah terlalu sakit kepala dengan semua kalimat yang diucapkan tetangganya itu. Namun, baru selangkah wanita paruh baya itu keluar dari pintu rumahnya, dia kemudian berbalik lagi.

"Kalau saya jadi Eneng. Saya bakalan pilih yang sayang sama saya sekaligus sama Tiara. Kan, banyak laki-laki jaman sekarang cuma mau sama ibunya, nggak mau sama anaknya." Bi Indah mencebik kemudian melanjutkan, "Hati-hati, Neng. Laki-laki jaman sekarang banyak yang enggak bisa dipercaya. Jangan cuma lihat ganteng dan kaya saja, tapi harus punya tanggung jawab. Ya, sudah saya pulang dulu."

Setelah Bi Indah benar-benar pergi, Kanaya baru bisa bernapas lega. Diintrogasi seperti tadi membuat Kanaya sakit kepala. Namun, kata-kata terakhir dari Bi Indah masih terngiang di telinganya.

"Hati-hati, Neng. Laki-laki jaman sekarang banyak yang enggak bisa dipercaya."

*****

"Bunda," panggil Tiara ketika bocah kecil itu terbaring di pelukan Kanaya.

"Iya, Sayang. Ada apa?" tanya Kanaya sambil mengusap lembut rambut Tiara.

"Kok Om Ganteng nggak pernah jemput Tiara lagi?"

Deg.

Kanaya berhenti mengusap rambut Tiara setelah mendengar pertanyaan putrinya tersebut.

"Tiara kangen sama Om Ganteng. Besok boleh nggak kalau Tiara ikut Bunda ke kantor?"

Kanaya menelan ludah dengan susah payah. Ada apa dengan hari ini? Kenapa banyak sekali pertanyaan yang ditujukan untuk dirinya. Pertama Bi Indah, sekarang Tiara. Kanaya benar-benar dilema.

"Sayang, Om Ganteng sedang sibuk di luar kota jadi nggak bisa jemput Tiara." Satu kebohongan meluncur dari mulut Kanaya. Dia meminta maaf dalam hati pada Tiara setelah mengucapkan hal tersebut.

"Oh...! Kalau Om Anji?" tanya Tiara lagi.

Astaga, kenapa dengan orang-orang di sekitarnya. Kenapa mereka semua membahas tentang Kelana dan Anji.

"Bunda nggak tahu, Sayang." Kanaya bingung harus menjawab apa karena otaknya tiba-tiba buntu.

"Tiara pengen deh, Bun, punya ayah yang sebenarnya kayak temen-temen yang lain."

Satu lagi perkataan Tiara yang sukses membuat Kanaya membeku. Dia menarik napas sebelum berkata, "Kan Tiara juga punya ayah. Gimana Tiara bisa lahir jika nggak punya ayah."

"Tapi, ayah Tiara nggak pernah datang. Tiara kesel. Bunda selalu bilang kalau ayah Tiara sibuk bekerja, tapi ayahnya Sultan juga sibuk bekerja, tapi kok tiap hari bisa anterin Sultan ke sekolah. Apa ayahnya Tiara nggak sayang ya sama Tiara, kok nggak pernah pulang?"

Satu perkataan panjang Tiara yang sukses membuat bibir Kanaya kelu. Hatinya teriris. Sakit dan nyeri mendengar perkataan putri tercintanya. Dia bingung harus membalas apa. Tiara semakin dewasa dan dia pasti juga semakin mengerti dengan keadaan, kenapa ayahnya tidak pernah pulang. Kanaya tidak bisa terus-menerus berbohong. Bagaiamanapun juga satu kebohongan akan selalu berlanjut dengan kebohongan yang lain. Jika Tiara tahu kebohongannya selama ini, putrinya pasti akan semakin terluka.

Tak berapa lama Kanaya mendengar isakan dari Tiara. "Tiara kok nangis, kenapa?"

"Hiks ... hiks ... Tiara pengen punya ayah. Tiara pengen ayah Tiara pulang, Bun ... hiks ... Ayah nggak sayang sama Tiara ... hiks ... hiks ...!"

"Sayang, cup ... cup ... jangan nangis lagi ya. Ayah Tiara pasti pulang, oke?" Kanaya mengusap serta mengecup pucuk kepala Tiara agar putrinya itu lebih tenang. Hatinya semakin teriris dengan sikap putrinya.

"Bunda ..., " panggil Tiara di sela tangisnya yang mulai reda.

"Iya, Sayang."

"Boleh nggak kalau Om Ganteng jadi ayahnya Tiara? Biarin aja ayah Tiara nggak pulang, tapi digantiin sama Om Ganteng." Tiara menatap ke arah Kanaya dengan matanya yang merah.

Kanaya semakin bingung dengan permintaan Tiara. Bagaimana dia harus menjawab. Kalau dia mengiyakan, pasti suatu hari nanti Tiara akan menagihnya karena itu seperti sebuah janji yang harus ditepati, tapi jika Kanaya bilang tidak, dia takut akan melukai hati putri kecilnya.

"Boleh ya , Bunda?" tanya Tiara dengan mimik wajah yang seperti akan menangis lagi.

Astaga, Nak. Bunda harus menjawab apa?

Namun, pada akhirnya Kanaya mengangguk juga. Tak tega dia melukai perasaan Tiara yang masih polos. "Sekarang Tiara bobok, ya?"

Gadis kecil itu mengangguk kemudian memeluk Kanaya. Tak berapa lama Tiara sudah larut dalam mimpi mungkin karena kelelahan. Kanaya menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya. Seperti mengeluarkan beban berton-ton yang sedang dipikulnya. Tiba-tiba saja, dia ingat beberapa kalimat yang pernah diucapkan kepadanya.

"Apa saya harus jadi seseorang yang spesial untuk bisa mencampuri urusan pribadi kamu?"

"Kita sudah dewasa dan tidak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan. Kamu tahu itu. Dulu ataupun sekarang."

"Saya peduli sama kamu juga Tiara."

"Aku mau, kamu sama aku, kita menjalin hubungan bukan hanya sekadar pertemanan."

"Kalau saya jadi Eneng. Saya bakalan pilih yang sayang sama saya sekaligus sama Tiara. Kan, banyak laki-laki jaman sekarang cuma mau sama ibunya, nggak mau sama anaknya."

"Gimana kalau kita nikah aja?"

"Hati-hati, Neng. Laki-laki jaman sekarang banyak yang enggak bisa dipercaya. Jangan cuma lihat ganteng dan kaya saja, tapi harus punya tanggung jawab."

Kanaya menggeleng ke kiri dan kanan dengan keras, mencoba mengenyahkan kenangan dan pikiran-pikiran tentang masa lalu. Kenapa sih hidupnya menjadi rumit seperti ini? dia kemudian menatap dengan sayang Tiara yang sudah terlelap.

"Tiara pengen punya ayah. Tiara pengen ayah Tiara pulang, Bun."

Air mata yang sejak tadi Kanaya bendung akhirnya jebol juga. Di tengah gelap dan dinginnya malam, Kanaya menangis sendiri. Ternyata perannya sebagai ibu sekaligus ayah untuk Tiara takkan pernah cukup. Tiara tetap membutuhkan sosok seorang ayah.

****

Saya kok baper sendiri pas nulis ini. Apalagi pas Tiara ngomong pengen punya ayah. Kasihan kamu, Nak.

Btw, terima kasih untuk semua yang sudah bantu pilih cover. Cerita ini belum mau tamat kok, masih panjang banget. Yang masih mau lanjut baca, monggo, yang mau skip juga silakan. Saya orangnya santai kayak di pantai.

Salam Sayang, Tiara.

Sabtu, 23 Februari, 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top