Keduapuluh
"Gimana kabar lo?" tanya Siska di ujung telepon.
Kanaya baru saja selesai menidurkan Tiara ketika sahabatnya tersebut menelepon.
"Gue baik-baik saja. Gimana lo dan Satria?"
"Gue juga baik-baik saja. Satria juga. Sori gue lama nggak ngubungi."
"Nggak apa-apa kok, gue ngerti kan lu baru aja jadi mama muda. Rempong deh. Capek juga yang pasti."
"Iya. Satria kalau malam ngajakin begadang mulu. Gue kalau siang molor, kalau malam ngalong. Padahal dulu pas Tiara nggak kayak gitu."
Kanaya tertawa kecil mendengar keluhan sahabatnya. Memang Siska duluan adalah seorang yang berperan penting dalam perawatan Tiara ketika baru melahirkan.
"Nikmati aja."
"Ho oh. Apa mungkin karena Tiara tuh cewek dan Satria cowok, jadi beda gitu. Tiara dulu kan anteng. Inih anak boro-boro anteng. Ditinggal ke kamar mandi bentar aja udah nangis keras banget."
Sekali lagi Kanaya tertawa mendengar perkataan Siska.
"Cewek sama cowok sama aja. Namanya juga bayi, dia mana-mana juga kayak gitu."
Setelah itu tidak ada percakapan lagi yang terdengar. Kanaya sendiri sedang sibuk membaca artikel dari laptopnya.
"Lo tidur?" tanya Kanaya setelah mereka Siska hanya diam saja dari tadi.
Terdengar suara helaan napas dari ujung sana.
"Lo kenapa? Ada masalah?" tanya Kanaya lagi, sebab sikap Siska agak aneh.
"Nay," panggil Siska lirih.
"Hmmm...."
"Gue mau tanya, tapi lo jangan marah ya?"
Kanaya mengerutkan dahi. Kok tiba-tiba dia merasa Siska jadi serius. "Ngomong aja. Emang mau nanya apa sih? Kok lo jadi aneh gini."
"Apa lo dihubungi Pak Anji?" Suara Siska terdengar hati-hati.
Kanaya sedikit terkejut. Dia tidak pernah bercerita tentang Anji yang menghubunginya, lalu dari mana wanita itu tahu.
"Kok lo tahu?" Kanaya penasaran.
"Sori. Gue mau minta maaf."
"Untuk?" Kanaya semakin dibuat bertanya-tanya.
"Sori. Karena Mahesa yang ngasih nomor lo ke Pak Anji. Sori Nay. Lo jangan marah ya," ucap Siska terdengar menyesal.
Kanaya menghela napas panjang. Ternyata Mahesa yang telah memberikan nomornya pada Anji. Tidak heran laki-laki itu bisa tiba-tiba menghubunginya setelah lima tahun berlalu.
"Mahesa ngambil nomor lo dari hp gue tanpa izin dulu. Gue juga nggak tahu, tiba-tiba dia ngomong kalau udah ngasih nomor kamu beberapa hari setelah syukuran Satria."
Kanaya kembali menarik napas. Dia tahu jika sahabatnya ini tidak bersalah. Mahesa juga tidak bersalah, laki-laki itu tidak tahu apa-apa. Sebagai sahabat juga rekan kerja, pasti Mahesa akan memberikan apa permintaan Anji.
"Nay," panggil Siska lirih.
"Iya. Gue masih ada di sini."
"Lo nggak marah kan? Gue minta maaf sekali lagi. Tapi bener Pak Anji ngubungi lo?"
"Iya. Dia beberapa kali kirim pesan, tapi nggak pernah gue balas. Dan lo nggak usah merasa bersalah. Lo dan Mahesa nggak salah kok."
Terdengar helaan napas panjang dari Siska. Kanaya tahu jika Siska juga merasa tidak enak.
"Nay," panggil Siska lagi. Malam ini sikap Siska benar-benar aneh menurut Kanaya.
"Lo kenapa sih. Kalau mau ngomong, ya ngomong aja. Jangan panggil-panggil mulu."
"Gue mau tanya satu hal, tapi lo harus jujur sama gue?"
Naya mulai duduk dengan serius sambil mendengarkan. "Ada apa sih kok lo aneh gitu?"
"Janji lo harus jujur sama gue."
"Iya-iya, gue jujur. Emang mau tanya apa sih?"
"Beneran lo pernah diajak nikah sama Pak Anji?"
Pertanyaan Siska langsung membuat tubuh Kanaya sedikit menegang. Sebab tidak ada orang yang tahu tentang hal tersebut kecuali dirinya dan Anji. Apa Anji yang memberitahu Siska? Tapi buat apa laki-laki itu mengatakan hal tersebut?
"Lo... kok bisa tahu," balas Kanaya sedikit terkejut.
"Mahesa yang bilang. Dia pernah dikasih tahu Anji pas syukuran kemarin."
Kanaya hanya ber 'Oh' ria sebagai balasan. Dia tidak menyangka kalau Anji akan membahas hal itu yang bahkan Kanaya sudah melupakannya.
"Jadi itu beneran? Kok lo nggak pernah cerita ke gue sih," cecar Siska.
"Buat apa? Toh, dia ngomong itu sebelum gue tahu kalau hamil. Dia ngomong setelah seminggu kita nananina," jawab Kanaya enteng.
"Jadi beneran lo nolak gitu aja?" tanya Siska masih tidak mau percaya begitu saja.
"Iya, gue tolak. Habis, lo tahu sendiri kan siapa aja mantan Anji. Siapa mereka dan siapa gue? Ya masak tiba-tiba aja Anji nikah sama karyawan rendahan macam gue. Trus lagi, gue nggak bisa langsung percaya begitu aja, pas dia ngajakin nikah. Lo tahu kan gimana sepak terjang dia? Lo pikir aja sendiri deh."
Kanaya kesal jika harus berbicara masalah ini. Makanya, dulu dia tidak memberi tahu hal tersebut pada Siska. Akan panjang urusannya.
Siska mengembuskan napas sebelum bicara, "Iya gue tahu. Tapi kan setelah lo tahu kalau hamil, harusnya lo bilang jujur ke dia."
"Udah. Gue udah hampir bilang ke dia, tapi keburu dia bilang kalau mau tunangan. Jadi, gue tutup mulut dan merahasiakan semuanya."
"Lo gila, Nay! Beneran deh, harusnya lo tuh nangis kek waktu itu, trus lo jujur kalau lo hamil anak dia," teriak Siska, membuat Kanaya harus menjauhkan ponsel dari telinganya.
Siska benar-benar tidak mengerti dengan sikap sahabatnya. Kanaya itu terlalu polos atau terlalu bodoh jadi perempuan.
"Untuk apa? Mempermalukan diri sendiri, gitu? Apa lo pikir dia bakalan berubah pikiran setelah mendengar gue hamil? Apa dia, nggak malah mikir kalau gue tuh sengaja jebak dia supaya gue hamil?" cerca Kanaya yang sedikit kesal dengan sikap Siska.
Dia bersyukur karena tidak menceritakan hal ini dulu. Karena mungkin reaksi sahabatnya akan sangat marah padanya.
"Tapi setidaknya Anji harus tahu kalau lo lagi hamil anaknya, mungkin saja dia berubah pikiran dan mau tanggung jawab, " desis Siska setelah mendengar suara Satria menangis akibat teriakannya. Persetan dengan sopan santun saat memanggil laki-laki itu langsung dengan namanya. Toh, laki-laki itu juga tidak ada di rumahnya sekarang.
"Gue nggak mau dibilang pengemis, Cha. Gue tahu diri siapa gue dan siapa dia. Lo tahu sendiri kan, gimana keluarga Anji, belum tentu mereka setuju dengan gue. Anji juga pasti mikirin nama baik keluarganya. Lo nggak lupa sama berita klarifikasi itu kan?" Suara Kanaya mulai bergetar. Kenangan lima tahun yang lalu seperti berputar kembali dalam otaknya.
"Nay, sori. Gue nggak maksud marah sama lo," ucap Siska menyadari jika kata-katanya tadi telah melukai perasaan sahabatnya. Dia ingat betul tentang berita itu dan juga melihat bagaimana terlukanya seorang Kanaya.
"Gue nggak apa-apa kok, Cha. Buktinya selama lima tahun ini, gue dan Tiara baik-baik saja. Jadi, please, gue mohon jangan bahas masalah ini lagi. Itu udah jadi bagian masa lalu gue, dan gue udah bisa lupain walaupun sulit," pinta Kanaya lirih.
Siska ingin sekali memeluk sahabatnya saat ini. Berbagi masalahnya. Menangis bersama. Dia tahu, jika beban yang Kanaya pikul terlalu berat, tapi wanita itu masih saja menunjukkan sikap kuat dan baik-baik saja.
"Sori Nay. Gue minta maaf. Gue udah bikin lo sedih lagi. Maafin gue, ya?" ujar Siska yang kini sudah menangis lirih. Seharusnya dia tidak bertanya hal tersebut, tapi perkataan suaminya tempo hari telah membuatnya sangat penasaran.
Setelah Kanaya menerima permintaan maaf Siska, dia pun mematikan sambungan telepon. Setelah itu dia berjalan menuju kamar tidur. Matanya melihat bidadari kecilnya yang sudah tertidur pulas.
Matanya terasa panas, kemudian cairan bening lolos dan membasahi pipinya. Bibirnya pun tanpa sadar bergumam pelan, "Maafkan Bunda, Sayang."
*****
Masa lalu akan selalu ada, tapi apakah akan kamu kubur atau kamu hadapi.
~veaaprilia
***
Hallo semuanya
Apa kabar?
Semoga semua dalam keadaan sehat ya
Semoga masih ada yang nungguin cerita ini walaupun mungkin nggak sesuai dengan imajinasi kalian.
Oh ya mulai part 20 saya akan publish cerita ini seminggu 2x.
Ingat seminggu cuma 2x, jadi jangan ditagih terus-menerus ya.
Happy reading
Vea Aprilia
Senin 24 Desember 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top