Keduabelas

Beberapa hari ini Kanaya seperti mendapatkan kesialan yang beruntun. Semenjak penolakannya untuk menjadi narasumber artikel di rubrik yang dia tangani. Dia juga tidak mengerti kenapa hidupnya yang semula normal saja menjadi sedikit berantakan. Mulai bannya yang bocor, ponsel ketinggalan di rumah yang menyebabkan dia terlambat karena harus putar balik. Dompet yang ketinggalan saat akan membayar makanan. Narasumber yang tidak ada setelah dia datang ke rumahnya, dan masih banyak lagi.

Kanaya mulai berpikir, apakah atasannya itu mempunyai kekuatan untuk membuat hidupnya terus dilanda kesialan. Lalu baru saja setelah pulang kerja, dia hampir saja menabrak seekor kucing di jalan. Untung saja dia cepat mengerem dan hampir saja jatuh.

Kanaya menarik napasnya kasar. Sepertinya besok dia harus meminta maaf pada atasannya tersebut. Mungkin saja dia telah kualat.

Wanita berambut keriting tersebut tidak mau berpikir aneh-aneh lagi. Dia kemudian melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda beberapa saat lalu. Melipat dan menyetrika baju. Sedangkan Tiara telah tidur nyenyak setengah jam yang lalu.

Kanaya sedang membereskan beberapa pakaian yang sudah disetrika untuk dimasukkan ke dalam almari ketika ponselnya berbunyi.

Dia kemudian mengambil benda tipis persegi panjang tersebut. Biasanya Siska yang menghubunginya pada jam-jam seperti ini. Namun, Kanaya merasa ada yang aneh karena yang muncul dari ponselnya adalah nomor asing. Ada sebuah pesan di sana. Jemarinya kemudian dengan gesit membuka dan membacanya.

Kay, ini aku Anji. Bagaimana kabarmu?

Satu baris kalimat, tapi mampu membuat Kanaya terkejut. Matanya masih menatap layar ponselnya yang masih menampilkan pesan tersebut. Otaknya mulai berpikir dari mana laki-laki itu mendapatkan nomor ponselnya.

Hanya Siska yang mengetahui nomor ponselnya. Dia telah mengganti nomor ketika hijrah ke Semarang. Mungkinkah Siska yang memberikan nomornya pada Anji? 

Tidak. Itu tidak mungkin. Siska tidak mungkin mengkhianatinya. Kalaupun Siska yang memberikan nomornya, itu sudah dilakukan sejak lima tahun yang lalu, bukan sekarang.

Bunyi notifikasi pesan masuk, kembali terdengar. Kanaya melirik sekilas. Masih dari nomor yang sama, kemudian membacanya.

Kamu sudah tidur?

Kanaya menarik napas panjang. Hanya lewat pesan saja sudah membuat jantung Naya berdetak sangat cepat.

Hidupnya baik-baik saja selama lima tahun ini, tapi kenapa laki-laki itu tiba-tiba muncul lagi dan mengusiknya.

Kanaya jadi teringat kejadian saat di rumah Siska dan saat Anji mengantarkannya sampai ke stasiun. Interaksi antara Tiara dan Anji mampu mengoyak masa lalu yang telah dikuburnya selama lima tahun terakhir.

Kanaya meletakkan ponselnya kembali di atas meja. Dia tidak berniat untuk membalas pesan tersebut. Biarlah laki-laki itu berpikir bahwa dirinya sudah tidur.

Setelah itu dia berjalan perlahan menuju ke tempat di mana putrinya sudah tertidur pulas. Duduk di tepian kasur sambil menatap wajah damai bidadari kecilnya. Tangannya terulur untuk mengusap lembut wajah Tiara. Ada sebuah kesedihan yang tiba-tiba muncul di sana. Dia merasa kasihan pada Tiara. Gadis kecilnya seharusnya hidup dengan limpahan kasih sayang ayahnya. Namun, Kanaya tidak mampu mewujudkannya.

Kanaya sadar sesempurna apa pun keluarga yang telah dia bangun, tetap saja tidak akan lengkap tanpa adanya seorang ayah untuk putrinya. Walaupun perannya bukan hanya sebagai seorang ibu, tapi tetap saja sosok seorang ayah sangat dibutuhkan untuk perkembangan emosional sang putri.

Mungkin lima tahun ini Tiara masih baik-baik saja. Dia juga baru masuk sekolah. Namun, Naya tidak bisa menjamin di tahun-tahun berikutnya, ketika orang-orang akan mencemoohnya karena ibunya tidak menikah. Bahwa dia dilahirkan tanpa seorang ayah. Bahwa dia anak haram. Kanaya tidak bisa membayangkan hal itu sampai terjadi. Akan tetapi, Kanaya juga tidak sanggup untuk mengungkapkan kebenaran itu saat ini.

Apakah dia egois lima tahun yang lalu, ketika tidak memberi tahu Anji tentang kehamilannya?

Apakah dia egois telah memisahkan Tiara dari ayah kandungnya sendiri?

Kanaya memejamkan mata. Kemudian mengusap air mata yang entah sejak kapan sudah membasahi pipinya. Dia menyerah dan pasrah untuk saat ini. Biarlah waktu yang akan menjawab semua. Akhirnya, dia memutuskan untuk berbaring di samping tubuh putrinya. Memeluk tubuh mungil Tiara, seolah dia takut jika suatu saat nanti akan ada yang merenggutnya dengan paksa. Tiara adalah hidupnya. Nyawanya. Napasnya. Naya tidak bisa membayangkan jika harus hidup tanpa Tiara. Biarlah rahasia tersebut tetap menjadi rahasia. 

****

"Kamu melamun?" Suara berat Lana mampu membuat Kanaya terkejut. Dia sekarang sedang menyerahkan bahan artikel untuk disetujui oleh Kelana, tapi ternyata malah ketahuan melamun.

"Sudah saya bilang, jangan suka melamun," ucap Kelana sambil menyodorkan berkas artikel tersebut pada Kanaya.

Kanaya hanya diam sambil menerima berkas tersebut.

"Kamu sedang ada masalah?" tanya Kelana yang melihat Kanaya tidak bersikap seperti biasanya. Wajahnya juga tidak secerah hari biasa. Bukan lelah seperti sebelumnya, tapi Kelana bisa melihat ada guratan kesedihan di sana.

"Tidak ada, Pak. Terima kasih. Saya permisi dulu."

Kanaya tidak ingin berlama-lama untuk berada di ruangan Kelana. Dia juga tidak berniat untuk berbagi masalahnya dengan atasannya tersebut.

Wanita itu bahkan telah melupakan kesialannya beberapa hari yang lalu. Dia juga melupakan rencananya untuk minta maaf pada Kelana. Pesan dari Anji benar-benar mampu mengusik kedamaian hidupnya. Itu hanya sebuah pesan, tapi berdampak besar untuk emosinya sendiri.

Tak berapa lama setelah Kanaya keluar dari ruangannya, Lana mengembuskan napas panjang. Dia merasa ada yang aneh dengan sikap Naya hari ini. Biasanya, wanita itu akan menyuarakan pendapatnya. Atau menolak gagasan darinya, tapi hari ini itu semua tidak terjadi. Kelana juga tidak tahu masalah apa yang sedang dihadapi oleh Kanaya, tapi sepertinya masalah tersebut cukup serius hingga membuat seorang Kanaya tidak begitu fokus dengan pekerjaannya.

Lana kemudian bangkit dari duduk, untuk keluar dari ruangannya. Ketika membuka pintu matanya langsung disuguhkan pemandangan Kanaya yang sedang melamun. Lagi. Dia terpaku sesaat di depan pintu sebelum akhirnya masuk kembali. 

Laki-laki itu kemudian duduk dengan gusar di kursinya. Jujur, dia sudah lama memikirkan tentang ucapan Kanaya hari itu. Di mana wanita itu dengan enteng mengatakan kalau dia tidak punya suami. Wanita itu juga mengatakan kalau bukan janda.

Lalu apa?

Seorang wanita yang tidak punya suami, tapi memiliki anak.

Kelana benar-benar merasa terusik. Apalagi saat wanita itu menolak untuk menulis kisah hidupnya. Laki-laki itu bertambah penasaran. Dia ingin lebih mengenal Kanaya. Dia juga ingin lebih tahu tentang kehidupan wanita itu. Wanita yang terlihat baik-baik saja, tapi Kelana yakin jika itu hanya sebuah topeng.

Laki-laki itu yakin jika Kanaya menyimpan sebuah luka dan seorang Kelana ingin tahu, bahkan kalau bisa mengobati luka itu hingga sembuh.

*****
"Wanita yang mengatakan baik-baik saja, sebenarnya dia tidak sedang baik-baik saja."
~veaaprilia

*****

Wekkss Bang Anji nggak muncul 😝😝😝 cuma kirim pesan doang 😂😂 derita jauh ya gini.

Jadi ingat LDR tuh nggak enak, tetap kalah sama yang bisa ketemu tiap hari. Bang Lana menang banyak 😘😘😘😘

Jangan lupa vote dan komentar yang banyak. Kalau enggak besok aku nggak bakalan up 😝😝😝😝

Happy reading
Vea Aprilia
Selasa, 11 Desember 2018
#grasindostoryinc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top