Kedua

Jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang ketika Naya keluar dari kantor penerbitan untuk menjemput Tiara di sekolah. Gadis kecilnya akan pulang sekolah di jam tersebut.

Naya melajukan motornya dengan cepat. Pulang pergi membutuhkan waktu kurang lebih satu jam dan dia tidak mau terlambat untuk kesekian kalinya. Para staf yang lain mungkin mengerti tapi tidak untuk Kelana. Sepertinya laki-laki itu terus saja mencari-cari kesalahan Kanaya.

"Sayang, nanti mandi di rumah Bibi Indah, lalu jangan lupa bobok siang. Bunda akan jemput sepulang kerja,"  ujar Naya sebelum menaiki motornya untuk pulang ke rumah mereka— ralat untuk menuju ke rumah Bi Indah– salah satu tetangga yang mau menjaga Tiara saat pulang sekolah hingga Naya menjemput. Tentu saja Naya harus memberikan upah setiap bulan. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Bahkan kencing saja harus bayar.

Tiara mengangguk tanda mengerti. "Baik, Bunda."

"Anak pintar."

Naya dan Tiara sudah duduk di atas jok motor kemudian dengan cepat melesat meninggalkan sekolah. Di perjalanan Naya selalu menoleh ke belakang, takut jika putrinya nanti akan tertidur.

Lima belas menit kemudian mereka sudah sampai di rumah Bi Indah. Tetangga yang hanya berjarak dua rumah dari rumah Naya. Beliau adalah wanita berumur empat puluh lima tahun dan tidak mempunyai seorang anak. Jadi, saat Naya bingung mencari tempat untuk menitipkan Tiara. Bi Indah dengan senang hati memberikan tawaran. Lagipula katanya beliau tidak punya kerjaan selain mengurus rumah. Suaminya yang berprofesi sebagai satpam juga jarang pulang ke rumah.

"Tiara, sudah pulang, Nak?"  tanya Bi Indah setelah menjawab salam dari gadis tersebut.

"Sudah Bik."

"Lapar tidak?" tanya Bi Indah lagi.

Tiara mengangguk.

"Maaf, Bi Indah, saya harus kembali lagi ke kantor, titip Tiara," pamit Naya sambil berjongkok untuk menjajarkan posisinya dengan Tiara.

"Iya, kamu nggak usah khawatir. Cepat pergi, nanti terlambat."

Naya mengangguk sebelum mencium pipi putrinya. "Jangan nakal ya."

Setelah itu Naya kembali melajukan motornya menuju tempat kerjanya. Beginilah rutinitas hidupnya setiap hari sejak pindah ke Semarang empat tahun yang lalu.

Dia sengaja memilih kota Semarang setelah mendapatkan pekerjaan di tempatnya sekarang. Waktu itu Tiara masih berumur satu tahun. Siska sahabatnya yang membatu kepindahan mereka ke Semarang. Waktu itu tentu saja Siska sedikit tidak rela karena Naya akan sendirian merawat Tiara, pasti akan mengalami kerepotan. Namun, Naya meyakinkan Siska, bahwa dirinya bisa mengatasi masalah ini sendiri.

Untuk rumah pun, Siska yang telah membantu mencarikan dan membayar setengah dari DP tersebut. Jadi, Siska adalah orang yang berjasa besar bagi Naya. Sahabatnya itu yang mengurusnya ketika hamil dan saat melahirkan. Bahkan setelah Naya menjadi ibu baru yang belum tahu apa-apa. Mereka berdua saling gotong royong hingga Siska menikah dua tahun yang lalu. Sejak saat itu Siska sibuk dengan urusan rumah tangganya sendiri dan Naya pun maklum.

"Nay kamu dicari Pak Lana?"

"Lagi?" tanya Naya heran. Bahkan dia belum sempat mengisi amunisi dengan bekal yang dibawanya dari rumah, tapi laki-laki itu sudah mencari dirinya. Lagi. Untuk kedua kalinya dalam sehari.

"Bapak mencari saya?" tanya Naya setelah masuk ke ruangan yang biasa dikatakan oleh para staf sebagai lemari es. Karena aura dingin yang dipancarkan oleh atasannya.

Sebagai informasi, Kelana Wiraatmaja adalah atasan Naya yang baru menggantikan Pak Samsul tujuh bulan yang lalu. Atasan lamanya memilih untuk pensiun dan melanjutkan karir di partai politik.

"Kamu tidak perlu ubah artikel tadi pagi."

"Huh?" Mulut Naya sedikit terbuka.

Oke dia tentu saja terkejut. Bagaimana bisa laki-laki ini mengubah segala sesuatu seenak jidatnya sendiri. Bahkan Naya sudah memeras otak untuk menyusun kalimat baru yang lebih menarik.

Mungkin atasannya ini menganut sistem "esuk dele sore tempe" yang artinya pagi masih kedelai sore sudah jadi tempe. Pemikiran yang mudah berubah setiap saat.

"Apa kamu mengerti kata-kata saya?" tanya laki-laki itu lagi.

Naya mengangguk. "Iya, saya mengerti, Pak."

Padahal dalam hati, Naya sudah dongkol. Tadi pagi dia sudah bilang kalau otaknya tidak berfungsi dengan baik, tapi nyatanya otak atasannya itu yang isinya cuma sampah tak berguna.

"Baiklah. Kembali ke tempatmu."

Naya mengangguk sebelum keluar dari ruangan. Rasanya hawa segar langsung menerpa wajahnya ketika sudah sampai di luar ruangan. Ah, leganya.

"Kenapa lagi sama manusia kutub itu?" Kali ini suara Tono yang bertanya dengan penasaran. Dia adalah salah satu staf editor sama seperti Naya.

Naya menggeleng. "Enggak tahu."

"Kok nggak tahu, kamu kan baru saja keluar dari kulkas?"

"Di sana dingin, mungkin gara-gara kedinginan, otak dia jadi agak membeku,"  ucap Naya sambil memutar-mutar jari telunjuknya di sekitar pelipis. Sedangkan Tono tidak mengerti dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Naya.

"Maksud kamu?" tanya Risa yang sudah ikut nimbrung entah sejak kapan.

Naya hanya tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan gigi putihnya.

Tono dan Risa hanya bisa geleng-geleng kepala dan kembali fokus pada pekerjaannya.

Naya menarik napas kemudian mulai larut dalam artikel yang harus diserahkan ke bagian editing dan layout sebelum pulang nanti. Dalam hati dia sedikit bersyukur karena tidak perlu kerja lembur. Dia bisa pulang seperti jam biasa dan menjemput Tiara tepat waktu. Sebenarnya, Naya agak sungkan jika menitipkan Tiara hingga larut malam saat dia sedang lembur.

Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Dua jam lagi, dia akan bisa langsung pulang. Ah, sial. Tiba-tiba Naya merasakan perutnya sakit. Nyeri dan perih melilit.

"Kamu kenapa?" tanya Risa yang baru kembali dari toilet.

"Kayaknya maagku kambuh."

"Bawa obat?" tanya Risa yang kini berdiri di samping Naya.

Naya menggeleng. Ah, dia ingat, ini mungkin karena tidak makan siang tadi. Bekalnya masih tersimpan rapat dalam tas miliknya.

Sialan. Ini semua gara-gara Kelana. Jika saja, dia tidak memanggilnya lagi, mungkin Naya bisa dengan tenang menghabiskan bekal makan siangnya.

"Kamu pasti belum makan siang?" tanya Risa lagi yang kini sudah kembali dengan membawa segelas air hangat dan obat maag yang entah dia dapat dari mana.

"Minum obat dulu, lalu istirahat sebentar."

Naya mengangguk patuh kemudian menelan obat tersebut bersama dengan air putih.

"Makasih ya," ucapnya setelah meminum habis air hangat yang diberikan oleh Risa.

"Sama-sama. Istirahat dulu aja."

Naya kembali mengangguk dan merebahkan kepalanya dia atas meja. Dia mulai memejamkan mata sambil menarik napas panjang. Ternyata menjadi ibu tunggal itu tidak semudah yang dibayangkan. Benar yang dikatakan Siska dulu ketika Naya memutuskan untuk membesarkan anaknya sendiri. Namun, apakah dia harus menyesal sekarang? Tentu saja tidak. Sampai kapanpun Naya tidak akan pernah menyesali keputusan yang telah dia buat. Dia juga tidak akan mudah menyerah. Hidupnya untuk membahagiakan Tiara. Sepahit apa pun itu Naya harus tetap berusaha. Karena kebahagiaan terbesarnya saat ini adalah melihat Tiara tersenyum.

*****

Hiduplah untuk orang kau cintai dan mencintaimu
~ Kanaya ~

****

Happy Reading
Vea Aprilia
Sabtu, 01 Desember 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top