Kedelapan

Pukul delapan lebih sepuluh menit akhirnya kereta yang Kanaya tumpangi berhenti di stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat. Setelah membereskan barang, dia dan Tiara berjalan keluar. Tujuh jam bukanlah waktu yang singkat dan itu terlihat jelas bagaimana putri kecilnya keletihan.

"Tiara lapar?" tanya Kanaya sebelum keluar dari stasiun.

Kanaya melihat ada restoran ayam cepat saji yang biasa Tiara suka. "Mau makan ayam?" tawar Naya.

"Bungkus aja, Bun. Makan nanti di rumah Mami."

"Oke."

Setelah memesan ayam goreng kesukaan Tiara, mereka keluar untuk mencari taksi. Sebuah taksi konvensional berhenti di depan mereka, setelah menyerahkan alamat pada sopir, taksi pun melaju meninggalkan stasiun.

Kanaya sudah lama tidak ke Jakarta. Ada banyak perubahan yang terjadi. Dia menatap pemandangan sekeliling dari balik jendela. Sedang di sampingnya, Tiara terlihat masih mengantuk dan merebahkan kepalanya di pangkuan Naya.

Sekitar tiga puluh menit taksi telah sampai di alamat rumah Siska yang berada di Pulo Mas. Kanaya turun diikuti oleh Tiara, kemudian sopir taksi membantu untuk mengeluarkan barang dari bagasi.

Setelah kepergian taksi tersebut mereka masuk ke dalam halaman rumah Siska yang telah disambut oleh sang empunya di depan pintu.

"Mami...!" Tiara berteriak ketika melihat sosok Siska menyambut mereka dan berhambur memeluk wanita yang baru melahirkan tersebut.

"Hallo, Princess-nya Mami." Siska dengan senang hati menyambut pelukan Tiara.

"Sorry ya, gue nggak bisa jemput. Mahesa juga belum pulang kerja," ucapnya pada Naya seraya memberi ciuman di pipi.

"Nggak apa-apa kok, gue bisa naik taksi."

"Mami, Tiara kangen sama Mami," ucap Tiara yang masih memeluk erat Siska.

"Mami juga kangen banget sama kamu, Cantik." Dengan gemas Siska menciumi pipi Tiara bergantian.

"Dedek bayi mana?" tanya Tiara yang telah masuk ke dalam rumah.

"Ada kok di kamar."

"Eh, ada Nak Naya." Suara seorang perempuan tiba-tiba muncul dari dapur. Dia adalah ibu mertua Siska. Namanya Santi.

"Iya, Tante," balas Naya sambil memberikan ciuman di pipi kanan dan kiri.

"Baru sampai?" tanya perempuan yang sudah akrab dengan Naya semenjak Siska menikah.

"Iya, Tante."

"Sama siapa?" tanya Santi.

"Sama Tiara." Dia menunjuk arah Tiara yang sudah masuk ke dalam kamar bersama Siska.

"Kamu pasti capek, istirahat dulu saja."

"Terima kasih Tante."

Setelah itu Naya mengikuti Tiara untuk masuk ke kamar Siska di mana bayinya berada.

"Mami, boleh nggak Tiara pegang dedek bayinya?" tanya Tiara dengan gemasnya sambil terus menatap bayi Siska.

"Tiara cuci tangan dulu ya," sela Naya yang telah berdiri di samping putrinya.

"Kenapa Bunda? Kan Tiara nggak megang apa-apa. Tangan Tiara juga masih bersih," ucapnya sambil menunjukkan kedua telapak tangannya pada Naya.

"Iya memang tangan Tiara terlihat bersih, tapi kulit dedek bayi masih sangat sensitif, Sayang. Jadi harus cuci tangan dulu sebelum megang. Kan tadi Tiara baru naik kendaraan umum," ujar Naya memberikan penjelasan pada putrinya.

"Banyak kuman ya, Bunda?"

Naya mengangguk. "Iya."

"Yaudah, Tiara cuci tangan dulu. Dedek bayi, Kak Tiara cuci tangan dulu ya," pamitnya dengan suara menggemaskan.

Gadis kecil itu pun pergi ke kamar mandi bersama dengan Kanaya. Tak berapa lama mereka telah kembali.

"Tiara boleh gendong nggak, Mami?" tanya gadis kecil itu yang kini sudah naik ke atas ranjang sambil mengelus pipi anak laki-laki Siska.

"Memangnya Tiara kuat?" tanya Siska.

"Kuat dong, kan tiap hari Tiara udah minum susu."

"Yaudah boleh."

"Sini Bunda bantu. Tiara senderan di kepala ranjang, trus kakinya diselonjorin. Nah, pinter. "

Tiara mengikuti instruksi yang diberikan oleh Kanaya dengan patuh.
Setelah itu Siska meletakkan putranya di pangkuan Tiara dengan sebuah bantal sebagai alas.

"Dedek bayi tidur, ya. Kakak temenin." Tiara terlihat bahagia sekali sambil bergumam pada bayi yang masih berusia seminggu tersebut.

"Ibu lo nggak datang ke sini?" tanya Naya pada Siska.

"Udah pulang. Mereka harus ngurusin ternak dan sawah. Lagipula mereka udah di sini sebelum gue lahiran. Jadi lusa kemarin mereka balik ke Jogja."

Naya hanya bisa ber 'Oh' ria mendengar penjelasan Siska.

"Lagipula Mama mertua gue juga ada."

"Gue tadi udah ketemu," balas Naya.

Obrolan mereka terhenti ketika mendengar suara bayi yang menangis.

"Loh, kok dedek nangis. Tiara nakal ya?" goda Naya.

"Enggak Bunda," ucap Tiara sambil cemberut tidak terima dengan tuduhan bundanya.

"Sini kasih Mami aja. Dedek bayi mungkin haus." Siska mengambil putranya dari pangkuan Tiara.

"Kalau dedek bayi haus, kasih susu aja. Biar Kak Tiara buatin, ya?" ucap gadis kecil tersebut penuh semangat.

"Sayang, dedek bayi nggak minum susu yang sama kayak Tiara," jelas Naya.

"Trus minum apa?"

"Asi."

"Asi?" tanya Tiara lagi.

Naya kemudian menunjuk Siska yang sedang memberikan Asi pada putranya.

"Oh, dedek bayi minumnya keluar dari situ, ya." Tiara seperti terkejut melihat bagaimana bayi mungil tersebut minum langsung dari payudara ibunya.

"Dulu waktu Tiara masih kecil, minumnya dari sini." Naya menunjuk dadanya sendiri.

"Sama seperti dedek bayi ya, Bunda."

"Iya."

"Tiara mau?" tawar Siska dengan nada menggoda.

Dengan cepat gadis kecil itu menggeleng. " Tiara kan udah gede, kata Bunda kalau udah gede minumnya harus pake gelas."

Mendengar celotehan Tiara membuat Siska dan Naya tersenyum. Sejak kehadiran Tiara lima tahun yang lalu membuat hidup mereka lebih berwarna.

"Namanya siapa dedeknya?" tanya Tiara penasaran sambil mengusap dengan malu-malu lengan bayi tersebut.

"Masih rahasia," balas Siska.

"Kok masih rahasia sih, Mami." Tiara cemberut karena merasa digoda.

"Iya. Baru besok boleh tahu. Biar surprise."

"Tiara makan ayamnya tadi, yuk," ajak Naya.

"Tapi, Tiara masih mau main sama dedek bayi," jawabnya polos tanpa ingin beranjak dari samping bayi tersebut.

"Kan dedek bayi masih minum asi, Sayang. Jadi, Tiara makan dulu ya."

Tiara mengangguk walaupun masih terlihat tidak mau. Mereka kemudian menuju dapur untuk mengambil peralatan makan. Dengan cekatan Naya menaruh ayam dan nasi di atas piring lalu meletakkan dia depan Tiara yang sudah duduk manis.

"Kasih dedek bayi boleh nggak Bunda?" tanyanya setelah menggigit paha ayam gorengnya.

"Dedek bayi nggak makan ayam goreng, Sayang."

"Terus makan apa?" tanya Tiara penuh dengan rasa penasaran.

"Dedek bayi belum boleh makan makanan yang sama seperti Tiara. Dedek bayi cuma boleh minum asi sampai umur enam bulan," jelas Naya.

Tiara hanya ber 'Oh' ria sambil terus menggigit ayam gorengnya. Entah gadis kecil itu paham atau tidak dengan penjelasan Kanaya.

"Loh, Tiara," panggil Santi ketika masuk ke dalam dapur.

"Kasih salam sama Nenek," kata Naya.

"Nenek," ujar Tiara kemudian sibuk kembali dengan ayam gorengnya.

"Dia udah besar, ya," ujar Santi sambil mengusap puncak kepala Tiara.

"Iya, Tante."

Kanaya juga merasa putrinya tumbuh begitu cepat. Tak terasa sudah lima tahun berlalu. Dia masih ingat bagaimana dulu begitu kerepotan saat Tiara baru saja lahir.

"Habis ini lo istirahat aja," ucap Siska yang baru saja muncul di dapur.

"Iya, kamu istirahat saja. Kasihan Tiara pasti capek dari Semarang ke Jakarta," timpal Santi.

"Udah nggak usah sungkan. Lo nggak perlu bantu-bantu semuanya udah beres," imbuh Siska lagi.

"Oke deh kalau gitu," jawab Naya kemudian membatu Tiara mencuci tangannya.

Sebelum pergi ke kamar yang sudah disiapkan untuknya, Kanaya dapat melihat bagaimana Santi sangat sayang dan memperhatikan Siska. Hatinya seperti dicubit. Ada perasaan iri untuk diperhatikan seperti itu. Buru-buru Naya langsung menghapus pikiran tersebut. Dia tidak boleh konyol atau bermimpi. Yang terpenting sekarang adalah Tiara. Dan hanya Tiara.

*****
Percayalah, jika setiap manusia menginginkan keluarga yang sempurna dan bahagia.
~veaaprilia

*****

Hallo semuanya

Bab selanjutnya siap-siap ketemu ayah kandungnya Tiara ya.

Ayo siapa coba ayah kandungnya?

Happy reading

Vea Aprilia
Jumat, 07 Desember 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top