Perjodohan
Musuhku_Jodohku
Pertama
Yang belum berteman, mohon follow dulu yaaa 😊
***
"Dja, nanti pulang kuliah langsung pulang ya, jangan mampir-mampir, soalnya kita mau kedatangan tamu," ucap seorang wanita paruh baya seraya menuang susu ke dalam gelas di hadapanku.
"Tamu? Siapa, Mah? Oma?" tanyaku penasaran.
"Bukan, keluarganya Pak Sanusi. Itu yang mau menjodohkan kamu sama anak gadisnya," jawab Mama santai.
"Uhuk." Hampir saja aku menelan garpu yang hendak masuk ke mulut bersama sepotong roti.
"Dijodohin? Nggak mau, emang masih jaman jodoh-jodohan? Radja nggak mau dijodohin sama siapapun, Radja kan punya cewek, mau dikemanain si Laura?" Aku bangkit hendak ke dapur mencuci tangan.
Brugh!
"Jalan liat-liat dong!" umpatku kesal.
"Yeh, loe yang nabrak gue, loe yang sewot, kenapa sih?"
"Itu loh, Fa. Adik kamu, mau Mamah jodohin sama anaknya teman Papa. Eh dia ngambek."
"Cantik nggak, Mah? Buat Rafa aja. Hehehe ...."
"Tuh, Mah. Bang Rafa mau kawin lagi, dia lupa sama bininya yang di kampung," celetukku.
"Kamu mau ke mana, Dja?" tanya Mama melihatku yang melintas begitu saja.
"Ke kampus, Mah."
Oh iya lupa, belum salim. Aku kembali mendekati Mama mencium punggung tangannya dan berjalan ke depan.
Aku tidak bisa membayangkan akan dijodohkan, karena aku tahu seperti apa wanita yang hendak dijodohkan itu. Palingan nggak jauh berbeda dengan istri Bang Rafa, yang jilbabnya lebar seperti mukena, pakaiannya gamis besar-besar, lalu kalau di rumah cuma dasteran, wajah polos tanpa make up. Aku bergidik membayangkannya.
Kunyalakan mesin motor.
Drrrttttt ... Ponselku bergetar, segera ku terima telepon dari my honey sweety baby bala bala.
"Ya, Sayang?" sapaku.
"Kamu di mana? Kok belum sampai?" tanya suara dari seberang telpon.
"Iya, ini udah mau jalan."
"Ya udah, buruan. Nanti make up aku luntur nih keringetan."
"Okey, Sayangku ...." Kuputus sambungan telepon dan langsung tancap gas menjemput kekasih hatiku.
***
Sesampainya di kampus, seperti biasa sebelum masuk kelas aku nongkrong dulu di taman bersama beberapa teman sekelasku.
"Sayang, nanti malam kita jalan, Yuk!" ajak Laura yang sedari tadi duduk di sebelah.
Aku berpikir sejenak, mama bilang mau ada tamu, tapi malas. Kalau aku pergi dengan Laura, nanti papa nggak ngasih uang jajan lagi.
"Eum ... Kapan-kapan aja, Ya," jawabku malas. Sebenarnya kepengen sih pergi nonton, apalagi besok libur.
"Kenapa?" tanyanya memelas.
Duh melihat matanya yang syahdu membuatku tidak tega, tapi mau bagaimana lagi. Demi nama baik keluarga.
"Besok malam Minggu aja ya ...," ucapku seraya mengusap tangannya lembut.
"Dja, ayo masuk. Pak Ahmad udah datang tuh!" Robby temanku menunjuk ke arah pintu masuk.
Segera aku berlari bersama dengan yang lainnya, sebelum Pak Ahmad masuk terlebih dahulu dalam kelas kami.
Brugh
"Aduh! woy. Kalo jalan pake mata!" Suara cempreng itu terdengar dekat di depanku.
"Eh, di mana-mana jalan pake kaki," ucapku geram.
"Beresin tuh, buku-buku gue pada jatoh!"
"Ogah! Ambil aja sendiri," kataku seraya melangkah menuju kelas.
Tiba-tiba tas ranselku ditarik ke belakang. Seketika aku mundur dan hampir terjengkang.
"Ambil nggak!" bentaknya lagi.
"Kaga mau! Ratu jomblo. Minggir-minggir, ntar gue ketularan jomblo lagi, ish ...." Aku menyingkirkan tangannya yang menyentuh lengan baju.
"Eh, Radja dangdut. Awas loe ya ntar pulang gue tunggu di lapangan, kita duel!" tantangnya.
"Sorry, nggak lepel gue lawan cewek macam loe." Aku segera berlari ke dalam kelas, sesaat kulihat cewek berambut kuncir kuda itu sibuk memunguti bukunya yang berserak di lantai. Rasain loe.
Mata Pak Ahmad menatap tajam ke arahku, sial gara-gara cewek jomblo tadi, jadi telat masuk kelas.
"Dari mana kamu? Pacaran?" tanya Pak Ahmad dosen Hukum Internasional yang terkenal super killer itu. Aku hanya menunduk, sementara suara sorakan terdengar riuh dari teman-teman sekelas.
"Abis pacaran sama Ratu tuh, Pak," celetuk Sofyan, temanku yang duduk di kursi paling belakang.
Sial.
"Hahaha."
"Biasa, Pak. Radja gombal vs Ratu jomblo tadi temu kangen."
Sumpah berisik banget mereka semua.
"Sudah-sudah, duduk!" Akhirnya Pak Ahmad menyuruhku duduk. Aku bernapas lega.
Pelajaran kali ini aku sama sekali tak memperhatikan, pikiranku melayang ke mana-mana, masih kepikiran masalah perjodohan, bagaimana kalau teman sekampus tahu, belum lagi kalau Laura juga sampai tahu. Bisa langsung minta putus dia. Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Rasanya tak ingin waktu cepat berlalu, berhenti saja di sini, di kelas ini, dari pada harus bertemu dengan gadis itu.
"Loe kenapa, Dja?" tanya Faisal yang duduk di sebelahku.
"Eum ... Enggak, nggak apa-apa."
"Mikirin Ratu?"
"Idih, kaga lah, emang dia siapa pake dipikirin. Gue lagi bingung aja."
"Tumben loe mikir, pake bingung segala? Bingung kenapa? Pegangan sana sama pohon!" Faisal terkekeh.
"Rese, Loe. Ya bingung aja, menurut loe perjodohan itu gimana? Kampungan kan ya?"
"Emang siapa yang mau dijodohin? Loe?"
"Hah? Bukanlah, gue kan udah punya Laura," kataku berusaha ngeles.
"Owh, ya tergantung sih, kalau buat gue yang susah nyari cewek, perjodohan itu bagaikan rezeki yang turun dari langit, nggak diminta, eh nongol."
"Ya itu buat jones macam, Loe."
"Lah iya, jangan-jangan loe mau dijodohin? Wah sama siapa?" Kali ini suara Faisal sedikit berbisik, mungkin ia tahu kalau sedari tadi pak Ahmad sudah melirik ke arah kami.
Aku hanya menggeleng. Kayanya aku salah orang buat cerita.
***
Di bawah pohon besar depan kampus aku duduk seraya menyedot segelas es cincau. Menatap ke arah jalan raya, tiba-tiba sebuah motor bebek melintas tepat di depanku, ban depannya menginjak kubangan air dan cipratannya mengenai sepatu kebanggaanku.
Aku bangkit dan menghampiri pengemudinya yang berjalan ke arah tukang cincau.
"Heh, kalo jalan liat-liat dong, liat tuh sepatu gue jadi kotor gara-gara motor butut, Loe!"
Orang itu menoleh dan melepas helmnya, astaga naga. Manusia ini lagi. Makin geram saja aku jadinya.
"Hahaha ... Emang enak! Rasain, Loe. Impas kan kita. Satu sama," ucapnya dengan nada girang.
Tanganku mengepal. Kalau bukan perempuan sudah kuajak gelut. Aku menarik napas pelan, lalu meletakkan gelas kosong di gerobak si tukang cendol, berjalan ke arah motor bebek yang terparkir, sepertinya cewek itu lupa mencabut kuncinya.
Cepat kunci motor yang masih tersangkut berpindah tangan, kubawa menjauh.
"Woy, balikin nggak kunci gue!" Suara nyaring terdengar di belakangku.
Pletak.
"Aduh," pekikku. Sebuah botol kosong baru saja dilempar tepat mengenai kepalaku. Sial.
"Eh, mau ke mana, Loe? Sini kunci gue!" Cewek itu sudah berdiri di depanku, satu tangannya di pinggang, dan satunya lagi menodong kunci.
"Ambil kalo bisa!" Aku menaikkan tangan sambil memegang kunci motornya, ia berjingkat hendak meraih, aku tersenyum melihatnya.
Tubuh pendeknya itu nggak akan sampai meraih kunci motor di genggaman tanganku. Iyalah, aku yang tinggi 180cm harus berhadapan dengan cewek mungil yang tingginya paling hanya 150an.
Peluh sudah terlihat di area wajahnya, lama-lama kasihan juga. Beberapa pasang mata sedang memandang ke arah kami.
"Ciye ciye ... Radja sama Ratu mesra bener."
"Akhirnya kan kalian emang jodoh."
"Udah buru nikah."
Buset dah tuh bacot pada nggak bisa apa dijaga.
"Nih, gue bae kan!" Kuserahkan kunci motor itu di tangannya. Ia menatap heran. Aku langsung pergi meninggalkannya.
Aku melangkah ke arah parkiran, Laura sudah duduk di atas motor. Dia memandangku dengan wajah kesal.
"Sayang, kamu dari mana aja sih? Aku dari tadi nungguin kamu," ucapnya seraya menggayut manja di lenganku.
Aku menepis pelan.
"Kamu kenapa sih?" tanyanya cemberut.
"Nggak apa-apa, aku lagi malas aja."
"Kita jalan, Yuk!"
"Maaf, Laura. Aku lagi kurang enak badan. Kamu pulang sendiri ya."
"Owh, okey. Tapi besok malam Minggu kita jadi pergi kan?"
Aku hanya mengangguk, lalu mengambil helm dan menghidupkan mesin motor, melaju pelan meninggalkannya. Maafkan aku Laura. Aku benar-benar lelah. Gara-gara cewek sialan itu.
***
Malam itu selepas magrib, mama dan papa sibuk mondar-mandir, menata seisi rumah, sementara Mbok Rahmi menata meja makan, beberapa masakan istimewa juga sudah tersaji. Abang Rafa terlihat rapi duduk di ruang tamu, dia yang bertugas menyambut kehadiran keluarga Pak Sanusi. Sementara aku masih santai di ruang keluarga sambil bermain game di ponsel.
"Radja, cepat ganti baju!" Mama menarik tanganku.
"Males ah, Mah."
"Radja, bangun! Atau semua fasilitas akan Papa ambil. Termasuk ATM kamu." Papa mendekat dan menatap tajam.
Aku bisa apa? Mana mungkin aku bisa hidup tanpa semua fasilitas dari Papa. Dengan gontai aku berjalan menaiki tangga, masuk kamar dan berganti pakaian. Menatap wajah dalam cermin, mengusap lembut pipi. Wajah tampan nan rupawan ini, akan dijodohkan dengan gadis kampung. Oh no!
Kugunakan gel dan menata rambut agar klimis, minyak wangi kusemprot sedikit saja. Suara deru mobil terdengar dari bawah, aku mengintip di jendela, sebuah taksi biru memasuki halaman rumah, tidak begitu kelihatan siapa-siapa yang datang. Penasaran tapi malas.
Perlahan aku menuruni tangga, suara obrolan sudah terdengar di ruang tamu, debaran jantungku semakin tak karuan, sumpah demi apa? Menikah dengan orang yang nggak dikenal.
"Nah, ini dia orangnya, turun juga akhirnya," ucap mama seraya menuntunku ke ruang tamu.
"Wah ganteng ya, sudah besar kamu Radja." Om Sanusi bangkit dari duduknya dan menyalamiku, lalu bergantian dengan istrinya.
Aku hanya tersenyum sambil mencari-cari mana anak gadisnya yang akan dijodohkan denganku.
"Kamu cari siapa?" tanya papa menatap ke arahku. Dia seakan tahu isi kepala ini.
"Nah, itu dia anak semata wayang kami." Dari arah belakang seorang cewek datang membawa nampan berisi minuman sedangkan Mbok Rahmi membawa nampan berisi cemilan.
Astaghfirullah ... Aku mengerjapkan kedua mata tak percaya.
Prang!
Seketika nampan dari tangan cewek itu terlepas saat melihatku. Sama aku juga terkejut.
"Eloe?" ucap kami berbarengan.
"Loh, kalian sudah saling kenal?" tanya Mama.
"Maaf Tante, gelasnya pecah!" ucapnya gugup.
"Nggak apa-apa, masih banyak di dalam. Mbok tolong buatkan minuman lagi, Ya!"
Cewek itu berjalan ke arah orang tuanya.
"Ayah, Bunda. Kita pulang. Aku nggak mau dijodohkan sama dia."
"Sayang, kamu ngomong apa sih?"
"Iya, kamu sabar dulu, Ya. Nggak enak dengan keluarga Pak Broto."
Mereka saling berbincang, aku hanya mendengarkan sambil berdiri. Ogah juga dijodohin sama dia, keenakan dianya. Gelar Ratu jomblo bakal ilang dong.
"Radja, kamu sudah kenal dengan Ratu?" tanya Mama.
"Iya, kita sekampus kok," ucapku lirih.
"Wah bagus kalau begitu, kita nggak perlu susah-susah ngenalin, apalagi sekampus, jadi gampang kan ngawasinnya." Om Sanusi menimpali.
"Wah betul itu, lalu kapan rencana pernikahan mereka?" tanya Papa antusias.
"Apa? Nikah?" tanyaku dan Ratu berbarengan.
Kami saling pandang sesaat lalu membuang muka kesal.
Ogah banget nikah sama musuh bebuyutan, masa iya musuh ada dalam kamar. Ish. Aku bergidik ngeri. Apalagi pernikahan itu yang aku tahu tidak main-main. Dan istri itu adalah teman hidup, selamanya bakalan tinggal sama dia. Amit-amit jabang olah raga deh.
"Gimana, Dja? Kamu setuju kan?" tanya mama lagi.
"Tapi Radja kan belum lulus kuliah, Mah."
"Ya, kan nikah sambil kuliah juga nggak apa-apa."
"Ya tapi kan, Mah."
"Udah nggak usah tapi-tapian. Nikah itu ibadah loh. Emang kalian nggak mau beribadah?" Papa malah ceramah.
"Gimana, Ratu setuju kan?" tanya Om Sanusi pada putrinya itu. Cewek itu hanya menunduk diam. Aku tahu batinnya bersorak kegirangan. Bakal nikah sama cowok ganteng sepertiku.
Sementara aku, harus meratapi nasib, bagaimana nanti hubunganku dengan Laura. Hubungan yang sudah terjalin selama tiga tahun harus musnah karena perjodohan ini.
***
Cerita baru ...
Dua cerita saya dihapus karena suatu hal. Maaf sudah terlalu lama menunggu. 😊
Yang suka VoMen nya yaaa biar semangat.
Terima kasih 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top