Ngambek
POV Ratu (Yun Olivia Zahra)
Ada yang kangen nggak nih yaaaa???
Hem ...
Yang belum berteman mohon follow dulu ya sebelum membaca
Happy reading 😉
***
Siang itu aku sendiri menikmati orange juice sambil membaca materi kuliah periklanan.
"Tumben baca materi kuliah, biasanya komik!" Radja tiba-tiba sudah duduk didepanku.
"Kok tahu gue suka baca komik? Jadi selama ini loe perhatiin gue, ya?" sergahku masih fokus ke buku.
"Haha, sorry! Nggak ada waktu buat gue merhatiin cewek nggak jelas kayak loe, mending cari cewek lain!" tandasnya mengambil orange juice dari tanganku, meminumnya habis.
"Ish! Pesen sendiri sana kenapa, sih? Uang jajan loe habis buat beli obat jerawat?" Aku terkekeh geli melihat jerawat besar di hidungnya.
"Sialan loe! Ini jerawat pasti gara-gara loe kasi gue gorengan waktu itu! Penuh minyak, jadinya kayak gini, ketahuan banget loe nggak ikhlas bagi itu gorengan ke gue!" sindirnya.
"Serah loe deh!" Aku bangkit hendak kembali ke kelas.
"Mau kemana loe?"
"Ke kelas, lah! Kenapa? Salam ke Laura? Dia kayaknya udah punya gebetan tuh!" Kutinggalkan dia yang menggerutu.
***
Menjelang sore kuliah usai, semangat aku menuju tempat parkir, membayangkan tahu bacem dan urap sayuran buatan Bunda di meja makan.
Seketika lututku lemas, ban motor kesayanganku kempes depan dan belakang. Aku yakin ini kerjaan cowok pesolek itu, kadang dia keterlaluan memang.
"Kesian, kempes? Gue duluan ya," ujarnya tertawa geli.
Aku diam membiarkan dia berlalu. Kamu pikir kamu bisa bebas melenggang setelah apa yang kamu lakukan Radja? Jangan mimpi! Aku tersenyum puas mendapatkan ide untuk membalas perbuatannya.
"Loh, Ratu, motor kamu mana? Kenapa naik ojol?" Bunda heran.
"Ada, Bun. Bentar lagi juga ada yang bawa ke sini. Ratu mandi dulu ya, Bun."
Dengan senyum puas aku menyegarkan diri di kamar mandi.
Tepat pukul lima sore, aku mendengar dari motorku berhenti. Berjingkat aku mengintip dari balik gorden menahan tawa, kulihat Radja melangkah menuju teras.
"Bunda, Ratu sakit kepala, agak demam juga. Boleh ya Ratu istirahat?" Ucapku melangkah ke kamar.
"Iya, tapi sepertinya ada suara Radja ketuk pintu, Ra!"
"Aduh, kepala Ratu sakit, Bun." Aku memegang kepala berakting.
Radja tidak akan menyangka setelah dia tak lagi di kampus, kutelepon tante Nita dan mengadukan semua perlakuan putranya itu.
Tapi aku yakin besok pasti cowok itu akan membalas perbuatanku. Ya sudahlah setiap perbuatan apapun pasti akan mendapatkan resiko bukan? Tapi yang jelas hari ini aku puas telah membuatnya kesal.
***
"Ratu, dijemput Radja tuh!" suara Bunda membuatku tersedak. Ngapain tukang solek itu menjemput kuliah segala? Aku waspada, dia pasti merencanakan sesuatu. Semoga kali ini tak berlebihan.
"Bunda, bilang sama Radja, Ratu bisa berangkat sendiri, please."
"Eh, kamu ini, udah baik di jemput."
"Ratu nggak mau, Bunda."
"Udah sana, cepat selesaikan sarapanmu, kasian yang nunggu."
Malas kulahap masakan Bunda, mendadak selera makanku hilang.
"Oh iya Ratu, besok malam Radja dan keluarganya akan makan malam ke rumah, nanti pulang kuliah kamu harus belajar memasak!" Pesan bunda sesaat sebelum aku keluar.
Kulihat Radja asyik berselancar dengan gawainya di teras, tak menyia-nyiakan kesempatan itu segera menuju motorku, dan menyalakannya.
"Eh, nggak sopan banget sih! Gue udah belain jemput loe, malah ngacir!" tangannya menahan motorku.
"Sorry, gue nggak percaya sama kebaikan loe, Radja!"
"Gue serius Ra, anterin beli obat jerawat, please ...," pintanya dengan wajah memelas. Menatap wajah itu tawaku meledak.
"Puas-puasin lo ngetawain gue!" sergahnya.
"Kenapa minta tolong ke gue? Kan banyak koleksi cewek loe tuh!"
"Karena cuma elo yang gue liat wajahnya nggak pernah jerawatan, bahkan bekasnya aja nggak ada!" Wajahnya serius.
"Emang loe perawatan ya, Ra?"
"Gue rasa itu lebih karena gue orangnya baik hati dan tidak sombong sih," jawabku asal.
"Gue serius, Ra."
"Emang loe pikir gue becanda?"
"Ish! Sombong loe!"
"Wajib kalo ke elo!"
"Ayo ah, anterin gue beli obat jerawat!"
"Oke! Awas loe jangan ngerjain gue lagi!" Ancamku duduk membonceng di motornya.
Sepanjang jalan otakku menebak-nebak keusilan apa lagi yang akan di lakukan cowok di depanku ini. Tak ingin berburuk sangka aku lebih memilih santai.
"Beli di mana, nih?" tanyanya melirikku dari spion.
"Ya di apotek lah, masa di toko bangunan?"
"Ya elah! Kali aja di emol atau di Indoapril!" tukasnya.
"Eh, bentar, kayaknya ini motor kehabisan bensin deh, turun dulu, Ra!"
"Serius loe?" Aku mengikuti ucapannya.
"Iyaa, tunggu di sini, gue cari spbu."
Aku mengangguk mengerti.
Kulihat dia menuntun motor hingga tak terlihat. Jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul delapan, kuliah setengah jam lagi.
Sambil berharap Radja segera kembali aku duduk di depan toko kelontong.
Sudah hampir dua puluh menit aku menunggu, Radja tak kunjung kembali. Kucoba hubungi ponselnya.
"Hai, jomblo! Gue udah di kampus, makasih ya udah percaya sama gue! Eh buruan naik ojol!" jawabnya membuatku geram.
Seharusnya aku tak begitu saja percaya pada apapun ucapan dan alasannya. Kali ini aku benar-benar marah, baiklah Radja! Ini yang terakhir kalinya kita bicara! Aku sangat membencimu!
Aku berangkat ke kampus setelah ojol pesananku datang. Dan aku ketinggalan satu mata kuliah karena terlalu percaya pada Radja.
"Nggak ke kantin loe, Ra?" Tanya Hani.
"Nggak."
"Dicariin tuh!"
"Sama?"
"Radja, ecieeee sepertinya dia kangen, Ra!"
Aku tersenyum menyeringai.
"Eh, tuh dia, Ra!"
Radja masuk kelas dengan senyum kemenangan.
"Ngapain loe? Puas loe udah ngerjain gue? Minggir!" Aku beranjak dari duduk keluar menghindarinya.
"Eh, cewek jomblo! Ngambek ya, loe cemberut gitu mana ada cowok yang mau deket, secara loe nggak ngambek aja kagak ada yang mau," ujarnya seraya tertawa.
Masih kesal dengan peristiwa pagi tadi, ditambah ucapannya yang menyakitkan, aku berhenti melangkah memutar badanku mendekati Radja.
Plakk ..., satu tamparan mendarat cantik di pipinya. Mataku tajam menatap Radja yang terkejut dengan reaksiku. Sementara teman-teman yang lain menyaksikan dengan bibir terbuka.
"Loe udah keterlaluan, Radja yang sok ganteng!"
"Ingat Radja! Cukup sudah semuanya, catat kata-kata gue ini, gue benci sama loe! Gue sangat membenci loe!" kukemas tas dan pergi berlari keluar kelas.
Hatiku panas dipermalukan di depan teman-teman. Kutahan air mata yang hendak tumpah, saat ini di otakku, aku harus pulang menenangkan diri.
***
Seperti yang bunda katakan kemarin, malam ini keluarga Radja datang ke rumah untuk makan malam. Bunda sangat sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Sambil memasak beliau bercerita bahwa pernikahannya dengan ayah juga karena dijodohkan.
"Kenapa Bunda mau saat itu, Bun? Bunda sudah kenal ayah sebelumnya?" tanyaku ingin tahu.
Sambil menggeleng bunda berkata, "Kami justru tidak pernah kenal sebelumnya, dan kamu tahu, ayahmu itu juga suka usil di masanya."
"Tapi kan nggak seperti Radja, Bun."
"Kalian hanya belum tahu satu sama lain saja, Bunda yakin kelak jika kalian sudah saling mengenal dekat, kamu dan Radja menjadi pasangan yang solid."
Malam menjelang, aku dipaksa bunda untuk sedikit memulas bibir dan mata dengan make up. Tak ada alasan untukku menolak.
Tepat pukul delapan, keluarga Radja datang. Seperti seharusnya, aku pun ikut menyambut. Namun kuhindari berdekatan atau sekedar bertukar mata dengan cowok menyebalkan itu. Hatiku sudah sangat sakit, mungkin dia pikir aku mati rasa tidak punya hati, sehingga dia bebas mengatakan apapun tentangku.
Sepanjang acara makan malam aku lebih banyak diam, sekali-kali saja bicara dan tersenyum saat mamanya bertanya. Sedangkan Radja, entah aku tak lagi ingin melihatnya.
Hingga acara makan malam selesai, mereka pamit pulang.
"Ratu,yang sabar ya menghadapi anak tante, dia emang tengil! Tante aja sering dibuatnya sebal," ujar tante Nita menatap Radja. Aku hanya menarik bibir mengangguk.
"Ratu, gue balik, makasih, masakanmu enak, kirain kamu bakal kasi garam yang banyak ke piringku, ternyata kamu baik," bisiknya saat kami berdiri bersebelahan. Aku diam melangkah menjauh.
****
Sejak peristiwa itu aku selalu menghindari Radja. Selain tak ingin berurusan dengan dia, aku telah memutuskan untuk mengikuti semester pendek, sehingga kuliah cepat selesai.
Beberapa minggu belakangan ini aku sering mendengar ceramah ataupun kajian yang sering ada di youtube. Ada keinginan kuat dari hati untuk mengubah perilaku dan penampilan, sesuai dengan anjuran agama. Kedua orang tua menyambut baik, aku bahagia mereka tak lagi menyinggung soal perjodohan absurd itu.
Kesibukan kuliah dan padatnya tugas membuatku lupa segala hal tentang Radja. Dan lelaki itu jarang bahkan hampir tak pernah lagi kutemui.
Tinggal dua bulan lagi semua mata kuliah kelar. Itu artinya aku segera menyusun skripsi dan menunggu jadwal wisuda. Rumah eyang tujuan utamaku. Di sana aku bisa mendalami agama, sebab eyang adalah pimpinan sebuah pondok pesantren.
Siang itu aku mengerjakan tugas hingga menjelang sore. Kulirik arloji menunjukkan pukul 16.30. WIB. Segera aku berkemas pulang.
"Ratu!" Tiba-tiba Radja sudah di depan pintu perpustakaan menghalangi langkahku. Aku bergeming, merasa tak mungkin melewati pintu, kembali ku membalik badan.
"Elo beneran marah? Nggak usah sok imut gitu deh!" Dia melangkah mendekat.
Aku menarik napas dalam-dalam, kembali menuju pintu, melangkah cepat menuju tempat parkir.
"Ratu! Oke, loe marah aja, gue nggak peduli! Lagian kalau pun ada yang marah itu seharusnya gue! Silahkan marah, gue mau tahu sekuat apa loe marah ke gue! Inget Ra, gue nggak peduli!" teriaknya.
"Bicaralah sesuka loe! Gue lebih tidak peduli!" gumamku.
****
Tanpa terasa hasil kerja kerasku menyelesaikan semua mata kuliah di semester pendek selesai. Setelah konsultasi dengan dosen pembimbing, aku mulai menyusun skripsi. Maka praktis aku jarang ke kampus.
"Bunda, Ratu boleh nggak ke rumah eyang mulai besok?"
Bunda yang sedang membaca mengalihkan pandangannya padaku.
"Memangnya semua target telah terselesaikan?"
Aku mengangguk.
"Lalu skripsimu?" Tanya ayah.
"Skripsi kan bisa konsultasi online aja, Yah, lagian kan Ratu masih nyusun juga,"
"Oke, kalau itu keputusanmu, siapkan segala sesuatunya untuk besok."
"Yes, siap Yah!"
Aku bahagia, karena ini adalah saatnya aku berubah bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk Allah dan tentu saja untuk kedua orang tuaku. Dan aku akan bahagia jika telah melaksanakan kewajiban menutup aurat.
"Selamat tinggal Radja, aku rasa kita memang ditakdirkan berbeda, tidak mungkin bisa bersatu seperti keinginan orang tua kita," gumam hatiku.
***
Suasana kota kecil tempat eyang sangat menyenangkan, seluruh warga ramah, saling bertukar senyum. Suara anak-anak mengaji selalu terdengar. Satu pekan sudah aku tinggal di desa ini.
"Eyang, Ratu boleh ikutan pengajian di pesantren nggak? Kupeluk eyang yang sedang bersiap ke pesantren.
"Boleh, tapi ..., pakai baju seperti eyang putri, gamis dan jilbabnya."
"Tenang, Ratu sudah siapkan semua."
"Alhamdulillah, akhirnya cucu eyang pakai jilbab juga," seloroh eyang terkekeh.
"Tunggu ya, Yang, Ratu ganti baju dulu."
Tidak menunggu lama, aku siap dengan gamis coklat dengan jilbab senada. Ada rada nyaman pertama aku memakainya.
"Masya Allah, cucu eyang cantik banget!" komentar eyang putri.
"Ya sudah, ayo kita ke mesjid."
Aku yakin hari baruku ini akan lebih nyaman dan menyenangkan. Aku Ratu, segala kejahilan yang dulu telah kutinggalkan, berharap bisa menjadi pribadi baru yang lebih baik.
Aku sadar tak ada manusia yang sempurna, tapi berusaha menjadi sempurna itu harus terus diupayakan.
Semoga Radja kelak akan menemukan kebahagiaan yang sama seperti yang aku rasakan saat ini. Setidaknya dia bisa menghargai siapapun itu, termasuk aku yang begitu tak di sukainya.
***
Bersambung.
Vote and komen yaaaa.
Demi kelangsungan kisah mereka
Terima kasih 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top