Janji
Musuhku Jodohku
Bagian 7
#kolab_olivia_aruna
Yang belum berteman, mohon follow dulu ya sebelum membaca.
Terima kasih
.
.
Tommy membujukku untuk pulang, memberi kabar orang tua tentang keberadaanku selama ini. Tidak seharusnya membenci apalagi sampai melupakan mereka. Meski sebenarnya hanya ingin membuktikan kalau aku bisa mandiri.
Sudah seminggu aku kembali ke rumah, tapi masih bekerja di bengkel milik Tommy. Kejadian waktu itu membuatku hilang kontak dengan Ratu. Entah ke mana ia sekarang, perubahan dalam dirinya masih membuatku bertanya, mengapa ia bisa berubah seperti itu.
"Loe kenapa, Dja?" Tommy mengambil duduk di sebelahku. Kami masih menunggu pelanggan yang datang. Karena kebetulan hari ini aku tidak ada jadwal bimbingan skripsi.
"Gue bingung aja, Lo masih inget cewek berjilbab yang waktu itu datang ke sini?"
"Iya, kenapa? Bukannya loe bilang dia cewek yang dijodohkan sama ortu loe tapi loe nggak mau?"
"Iya, gue masih bingung aja, kenapa dia bisa berubah gitu, dia dulu tuh metal banget."
"Radja, siapapun bisa berubah, apalagi menjadi lebih baik. Kenapa loe nggak ikutin jejak dia?" Tommy menepuk bahuku pelan.
Deg.
Ucapan Tommy barusan benar-benar menohok. Benar juga, kenapa aku nggak ikutan berubah. Menjadi lebih baik.
"Gue lihat, loe nggak pernah sholat, ngaji. Loe nyaman?" tanya Tommy
"Maksud loe?"
"Iya, kalau bokap gue ngajarin gue buat beribadah, bersyukur sama Allah, memohon apa yang kita inginkan melalui doa. Caranya ya dengan sholat, ngaji."
Aku terdiam. Aku pernah kok sholat, ngaji. Tapi itu dulu, sudah cukup lama. Saat masih sekolah, dan kegiatan itu juga hanya kulakukan di sekolah. Nyaman? Biasa saja.
"Laura gimana?" tanya Tommy lagi.
Aku tersenyum kecil.
"Orang gila dia."
"Bukannya loe dulu tergila-gila?"
"Udah enggak."
"Kenapa?"
"Ya dia stress. Masa ngaku-ngaku gue ngehamilin dia."
"Ya loe ngelakuin nggak?"
"Eum ... Kita kan putus udah lama. Ya nggak mungkinlah."
"Loe selesaiin deh masalah loe sama Laura, sekarang loe fokus deh sama skripsi trus perjodohan itu. Loe harusnya bersyukur, kuliah tinggal kuliah, nikah udah dicariin calonnya, lah gue. Mana ada yang mau? Hehehe."
"Sabar bro, hehehe ... Gue cuma bisa bantu doa."
"Ah doa apa? Loe aja nggak sholat."
"Ajarin gue lagi dong."
"Sholat?"
"Iya, ngaji juga."
Tommy menggaruk kepalanya.
"Please lah, Tom. Gue juga nggak mau kalah sama si Ratu."
"Yah, niat loe, Dja. Masih aja."
"Hehehe."
***
.
Entah kenapa semenjak keluarga Ratu membatalkan perjodohan itu, mama dan papa bersikap dingin padaku, mereka seperti sudah tidak terlalu respect dan memperhatikanku seperti dulu. Atau mereka malu karena aku yang bekerja di bengkel Tommy. Atau jangan-jangan Ratu cerita tentang Laura pada mama.
Akhirnya aku mencari tahu keberadaan Ratu, yang ternyata kini ia tinggal bersama eyangnya di sebuah pondok pesantren, pantas saja penampilannya berbeda.
Aku mengunjunginya, ia tampak sedikit terkejut melihat kedatanganku. Aku hanya ingin memastikan kalau dia tidak menceritakan masalah Laura pada mama. Malah dia bertanya yang tidak-tidak, menyuruhku bertanggung jawab, padahal itu sama sekali bukan karena perbuatanku.
Besok adalah acara wisuda Ratu, jujur aku tak ingin hadir, karena malu. Ya jelas, aku seniornya, tapi dia lulus lebih dulu. Seandainya dulu aku tidak main-main saat kuliah, mungkin sekarang bisa wisuda bareng.
Mama memintaku membeli bunga untuk diberikan pada Ratu, meskipun kami tak jadi menikah, tetapi hubungan keluargaku dengan keluarga Ratu masih terjalin dengan sangat baik.
Dari kejauhan aku melihat Ratu bersama dengan kedua orang tuanya. Kedua netra ini tak bisa beralih untuk tidak memperhatikan gadis berjilbab itu. Ah masa iya aku menyukainya. Aku menarik napas pelan.
Mereka menunjuk ke arah kami, aku, mama dan papa yang sengaja datang untuk memberikan ucapan selamat atas kelulusan Ratu. Mama memintaku untuk memberikan bunga tersebut pada Ratu, dan diterimanya. Coba dulu waktu ke rumah, bunga di tolak.
Tiba-tiba saja dari kejauhan tampak seorang pria dengan pakaian seperti ustadz datang menghampiri, pria itu juga didampingi oleh orang tuanya. Mungkin teman Ratu di pesantren.
"Assalamualaikum," sapa pria berbaju hitam dan berpeci itu, tersenyum ramah pada kami.
Serentak kami menjawab salamnya.
"Owh, Nak Ilham, datang juga. Terima kasih, ya. Sudah mau datang ke acara wisudanya Ratu," ucap bundanya Ratu.
Owh jadi namanya Ilham. Aku melihat ke arah Ratu yang sedari tadi menunduk menyembunyikan wajahnya, sementara pria bernama Ilham itu terus memperhatikan Ratu.
Aku mengernyit, jangan-jangan Ratu sudah berpaling, sengaja dia membatalkan perjodohan karena pria ini.
"Owh iya, Nak Radja, kenalkan ini Nak Ilham, salah satu ustadz di pesantren eyangnya Ratu." Bunda Ratu memperkenalkan padaku.
"Gue Radja, calon suaminya Ratu!" kataku seraya mengulurkan tangan padanya.
Mata pria bernama Ilham itu seketika membulat, Ratu yang sedari tadi menunduk sontak menatap ke arahku. Kukerlingkan sebelah mata padanya, ia menunduk malu, aku tahu wajahnya seketika memerah saat itu. Entah mengapa mulut ini tiba-tiba bicara seperti itu. Ah biarkan saja.
Seluruh yang berada di sana hanya tersenyum menanggapi perkenalanku dengan Ilham. Ia akhirnya menjabat tanganku, kuremas pelan, dan menatapnya tajam. Ia tersenyum kecil, lalu memalingkan wajah sekilas. Aku tahu si Ilham ini menyukai Ratu.
"Radja! Gue nyariin loe dari tadi!" Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan kami.
Aku menoleh, Farah teman dekat Laura sudah berada di antara kami.
"Siapa, Dja?" tanya mama.
"Teman kuliah aku, Mah."
"Owh, ya udah kalian kalau mau ngobrol, kita orang tua mau ngobrol-ngobrol dulu di sana, pegel berdiri terus." Mama dan yang lainnya berjalan menjauh meninggalkanku dan Farah. Begitu juga Ratu yang hendak melangkah pergi.
Segera kuraih tangannya, dan mengikuti langkah Farah.
"Gue mau dibawa ke mana?" tanya Ratu.
"Gue juga nggak tahu, ikutin Farah aja."
"Tapi lepasin tangan, Loe!"
"Ntar loe kabur."
"Enggak, gue janji. Tapi lepasin, kita bukan mahrom," ucapnya lirih.
Aku menghentikan langkah. Melepas tangannya dari genggaman. Menatapnya sekilas.
"Awas kalo kabur!" ancamku. Dia hanya menunduk.
Aku dan Ratu masih mengikuti Farah yang terus berjalan ke luar gedung, kami dibawa kesebuah tempat tak jauh dari situ, cafe. Farah menunjuk ke arah pojok.
Aku memicingkan mata, menangkap tiga orang yang kukenal duduk di sana, Laura, Doni, dan Alex. Mereka bertiga satu kelas, kami cukup dekat karena aku pernah menjalin hubungan dengan Laura yang tak lain adalah teman sekelas mereka.
"Mending, loe cari tempat aman, gue denger mereka lagi ngomongin loe tadi. Mereka juga baru datang kok." Farah lalu beranjak pergi.
"Mending gue balik ya." Ratu ikut memutar tubuhnya hendak pergi.
Kembali kuraih tangannya. Ia menepis pelan.
"Ikut gue!" kataku, kami duduk di kursi tak jauh dari tempat mereka, samar-samar mereka membicarakan tentang kuliah, dan wisuda.
Mereka sama sekali tak menyadari keberadaanku dan Ratu.
"Gimana, Ra. Loe jadi kawin sama Radja?"
Deg. Alex tiba-tiba menanyakan itu pada Laura. Aku harus mempertajam pendengaranku.
"Hahaha. Enggaklah. Ngapain. Dia udah kere, miskin sekarang. Mana dekil, buluk, ish ogah gue." Laura terlihat begitu kesal menyebut namaku tadi.
Aku menarik napas pelan.
"Bukannya loe hamil anak dia?" Kali ini Doni menimpali. Semakin deg-degan aku ingin mengetahui semuanya.
"Hahaha. Loe lagi. Ya enggaklah. Emang gue cewek apaan, sampe hamil. Gue cuma ngaku-ngaku aja waktu itu, berharap dia mau nikahin gue, eh dia malah bilang kabur dari rumahnya, trus sekarang kerja di bengkel temennya. Males banget. Kebayang dong gue Laura Puspitasari yang terkenal di kampus karena kecantikannya, harus menikah dengan cowok bengkel yang bau oli, bau bensin." Laura menepuk-nepuk meja.
"Amit-amit jabang bayi," sambungnya lagi.
"Owh, gitu. Jadi loe mau sama gue karena harta orang tua gue doang. Okey, sekarang gue udah tahu semuanya. Tengkyu ya Laura Puspitasari yang selama ini udah nemenin gue makan, jalan-jalan, ngobrol." Aku yang langsung bangkit dari duduk menghampirinya.
Mata Laura membulat menatapku, sementara dua cowok yang bersamanya menunduk.
"Kamu, Sayang ... Enggak kok, tadi cuma bercanda aja." Tangan Laura menggayut manja ke lenganku, kutepis dengan keras.
"Nggak usah sayang-sayangan, kita kan udah putus."
"Okey, jadi sekarang kamu lebih milih dia!" Laura menunjuk ke arah Ratu yang berdiri di belakangku.
"Kalau iya, emang kenapa?"
"Heh Ratu! Jangan pikir loe berubah wujud terus loe udah bisa dapatin hati Radja!" Laura menunjuk-nunjuk ke arah Ratu.
Aku menangkis tangannya.
"Kalau sampai loe macem-macem sama dia, gue jamin hidup loe nggak akan pernah bahagia. Gue udah miskin Laura. Inget!"
Aku beranjak dan menarik tangan Ratu, ia menurut. Mungkin lupa kalau bukan mahrom.
"Kita mau ke mana?" tanyanya.
"Cafe depan, gue laper!"
"Owh."
Akhirnya kita sampai di cafe sebrang jalan. Aku memilih duduk di dekat jendela paling ujung, karena dari view di kursi itu bagus, bisa melihat ke jalan raya langsung. Apalagi di sebelahnya ada rak buku yang berisi buku-buku novel karya penulis terkenal. Aku tahu Ratu suka membaca novel.
"Orange juice dua, Mbak," kataku saat seorang waiters menghampiri.
Ratu menatap ke arahku, kami saling bersitatap dua detik, ia lalu mengalihkan pandangannya ke arah jendela.
"Kenapa? Gue ganteng ya? Liat-liat!"
"Apaan sih? Kok loe pesen minuman nggak nanya dulu ke gue?"
"Ngapain nanya, gue kan tahu kesukaan loe."
"Tau dari mana? Hayoo diem-diem ternyata loe merhatiin gue kan?"
"Dih, enggak. Jangan geer."
"Udah sih, nggak usah bohong."
"Kalau iya, kenapa? Loe suka kan kalo gue perhatiin?" kataku balik bertanya. Seketika ia menunduk, wajahnya tampak kemerahan.
"Nggak usah malu-malu," ujarku lagi.
"Gue mau pulang aja. Diledekin terus."
"Eh iya iya, tunggu dong. Kita kan belum ngobrol."
"Emang mau ngobrol apaan"
"Eum ... Loe udah denger kan tadi penjelasan Laura. Dia nggak hamil anak gue."
"Tapi tetap aja kan, loe pernah tidur sama dia, inget, loe udah berzina."
"Gue tidur sama dia juga nggak sadar, gue nggak nikmatin, gue juga nggak tahu abis ngapain. Waktu itu kita pergi kepuncak pas libur semester, rame-rame, tau-tau pas malem gue dipaksa minum entah apa, kepala puyeng, trus nggak sadar, paginya gue tidur di kamar, cuma pake kolor, sebelah gue si Laura."
Ratu hanya diam.
"Masa iya nggak sadar?"
"Demi Allah, demi rosullullah." Aku berusaha meyakinkan.
"Tapi tetap aja perbuatan loe itu dilarang agama."
"Iya, gue tahu. Terlepas gue ngelakuin itu apa enggak. Tapi gue masih punya kesempatan kan, buat berubah kaya loe."
"Ye, gue kan nggak tidur sama loe, enak aja disamain."
"Emang loe nggak mau tidur bareng gue?" Aku menarik turunkan alis menggodanya.
"Apaan sih!" Dia memukul lenganku dengan buku menu.
Tak lama kemudian dua gelas orang juice tersaji. Aku menyeruput pelan.
"Mau makan apa?" tanyaku.
Dia hanya menggeleng.
"Gue tahu loe laper, makan ya? Kalo tirus jelek pipi loe."
"Tuh kan, mulai lagi. Bisa nggak sih nggak ngeledekin gue."
"Iya iya, emang bener. Pipi loe chubby. Hehehe. Di pesantren makan melulu ya?"
"Radjaaaaaa!" Berteriak lirih.
"Ampun!" ucapku berbisik lalu terkekeh. Bibir tipisnya mengerucut. Lucu.
Ya Tuhan kenapa aku baru sadar ada makhluk seimut ini di kampus.
***
.
Ruang makan sudah disulap oleh mama dan bibi, bagai restoran mewah, semua makanan enak telah tersaji di meja. Waktu masih menunjuk pukul enam sore, sebentar lagi magrib, dan acara makan malam akan dimulai jam tujuh.
Aku masih santai duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi.
"Radja, kamu nggak jemput Ratu?" tanya mama menghampiri.
Astaga, lupa.
"Oh iya, lupa, Mah. Aku pergi dulu ya." Bergegas mengambil kunci motor dan tancap gas menuju rumah Ratu.
Beruntung jalanan tidak macet, hanya butuh waktu tiga puluh lima menit aku sudah tiba di depan halaman rumahnya. Tampak sepi, mungkin masih pada sholat magrib. Aku celingukan mencari mesjid sekitar.
"Radja!" Sebuah suara memanggilku.
Aku menoleh, menatap wanita berjilbab pink muda dan gamis warna senada. Mataku tak berkedip melihatnya dari atas kepala sampai ke kaki. Menelan saliva pelan, mencoba mengendalikan jantung yang tiba-tiba saja berdebar.
"Radja ... Helow ...."
"Radjaaaaaa!"
Aku mengerjap.
"Eh iya, iya. Kenapa?" tanyaku terbata.
"Loe bengong? Kesambet loe ya?"
"Enggak apa-apa."
"Masuk dulu!"
"Mau sholat, mesjid di mana?" tanyaku.
Ratu terdiam, menatap tajam.
"Woy, mesjid di mana?" tanyaku lagi.
"Woy! Kok gantian sih loe yang bengong?"
"Eh sorry, mesjid jauh, sholat di dalam aja. Bunda sama ayah juga mau sholat."
Aku mengikuti langkahnya masuk ke rumah, di dekat ruang tamu ada sebuah mushola kecil yang hanya dibatasi oleh sebuah lemari. Om Sanusi dan Tante Dessy sudah menunggu. Aku segera mengambil wudhu. Namun, Ratu tidak ikut sholat, ia malah masuk ke dalam kamarnya.
Selesai sholat magrib berjamaah, aku berpamitan pada kedua orang tua Ratu.
"Titip Ratu, ya, Nak Radja," ucap bundanya Ratu.
"Tenang saja, Tante. Aman," kataku meyakinkan.
"Ya udah kalian hati-hati."
Setelah berpamitan dan bersalaman, aku dan Ratu menuju halaman, kuberikan helm untuknya, lalu ia enggan untuk naik ke motorku.
"Kenapa? Ayo naik!"
Ratu hanya diam menatap jok kosong di belakangku. Mungkin dia takut naik motor gede milikku. Kenapa tadi nggak bawa mobil papa aja ya, huft. Lupa buru-buru, lupa juga kalau Ratu udah nggak pakai celana jeans lagi.
"Gue naik taksi aja deh," ucapnya.
"Kelamaan dong, kesian ortu gue udah nungguin loe."
"Ya habis, masa gue ngangkang."
"Loe pake daleman, kan? Maksud gue celana panjang."
"Pake sih."
"Ya udah, kecuali kalo loe nggak pake."
"Ye, maunya eloe itu mah."
Aku terkekeh.
Akhirnya dengan segala bujuk rayu, dia naik juga ke motor.
"Roknya jangan sampe masuk ban," ujarku lagi.
"Iya, gue tau. Perhatian banget sih loe."
"Bukan, gue cuma takut loe ngegelinding aja, kan nggak lucu."
"Sembarangan, ya udah jalan!"
"Pegangan dong, ntar jengkang lagi."
"Bukan mahrom, Radja."
"Bentar lagi juga jadi mahrom."
"Jangan ngarep!"
"Nggak boleh?"
"Udah buruan jalan, ngobrol melulu."
"Pegangan dulu, kalo nggak, nggak mau jalan gue."
"Nggak mau!"
"Jaket gue aja pegang, jangan pegang leher, geli."
"Radja, loe bisa diem nggak? Buruan jalan. Gue bilang nggak mau, bukan mahrom."
"Kan nggak nyentuh, jaket gue tebel. Buruan!"
Aku melihat ke arah spion, bibir tipisnya kembali mengerucut, matanya menatap ke langit-langit, dengan ragu ia berpegangan ke pinggangku. Aku menatap dan hendak memegang tangannya.
"Jangan pegang!" teriaknya.
Aku meringis. Ketahuan.
***
.
Sesampainya di rumah, keluargaku sudah menunggu. Aku langsung mengajak Ratu ke ruang makan. Beruntung karena Bang Rafa beserta istri dan anaknya sedang liburan ke Bandung, jadi tidak ada yang menjahili atau meledekku.
Mama mempersilahkan Ratu duduk di sebelahku.
"Nah, Nak Ratu, silahkan dinikmati, jangan sungkan ya."
Kami mengambil makanan di piring masing-masing beserta lauk, sementara bibi menuangkan air ke masing-masing gelas.
"Nak, Ratu. Tante dengar dari eyang, ustadz Ilham ingin meminang kamu ya?" tanya mama.
"Uhuk." Sial, keselek udang goreng lagi. Mama pake bahas itu di sini sih.
Aku minum perlahan. Ratu menoleh menatapku.
"Iya, Tante," jawabnya.
"Trus gimana? Kamu terima?" tanya papa.
Ratu menggeleng. "Belum, Om."
"Loh kenapa? Tante lihat dia orangnya baik, Sholeh. Kalau Tante sih, setuju aja, karena kan Radja juga nggak jelas, nolak terus dijodohin sama kamu."
Aku hanya diam. Begitu juga dengan wanita di sebelahku ini. Hanya tersenyum kecil sesekali melirik ke arahku.
Acara makan malam selesai, aku mengajak Ratu duduk di teras rumah, ditemani dengan sepiring bolu kukus buatan mama juga secangkir coklat panas kesukaanku.
"Kok diem? Loe kenapa?" tanya Ratu yang melihatku dari tadi hanya memandangi langit yang tak berbintang. Kelam.
"Beneran loe udah dipinang?" tanyaku memastikan.
"Iya, tapi belum gue jawab."
"Kenapa?"
"Belum sreg."
"Nungguin gue ya?"
"Hahaha. Pede banget loe."
"Emang loe nggak mau?" Aku menatap intens, Ratu menunduk.
"Jangan liatin gue kaya gitu, Radja."
"Kalo gue minta loe nungguin gue, mau nggak?"
"Nungguin apa?" tanyanya lirih.
"Lihat gue!"
"Nggak mau!"
"Lihat dulu, sebentar aja."
Perlahan wajah Ratu mendongak, menatap ke arahku.
"Apa?" tanyanya.
Duh kenapa jadi deg-degan gini sih.
"Loe mau nungguin gue sampe lulus? Trus kerja, trus ngelamar loe."
"Jangan lama-lama," ucapnya.
Aku tertawa pelan, dan menggeleng.
"Kan, loe udah nggak sabar kan, nikah sama gue." Aku meledeknya.
"Ya udah deh, nggak mau gue."
"Ngambek. Jelek tau kalo ngambek, hidungnya kembang kempis. Hihihi."
"Radja, loe bisa serius nggak sih?"
"Gue serius, mau ngelamar loe, tapi nanti. Kalo gue udah sukses."
"Butuh waktu berapa lama sampai loe sukses, gue kan perempuan, butuh kepastian."
"Dua tahun. Bisa?"
Ratu hanya diam.
"Kenapa loe tiba-tiba mau nikah sama gue?" tanyanya.
Deg. Iya ya. Kenapa coba.
"Eum ... Karena ... Karena loe ... Udah berubah."
"Karena itu doang? Yang lain juga banyak yang jilbaban, cantik-cantik."
"Ya, gue cuma mau nyelamatin loe aja."
"Nyelamatin? Emang gue tenggelam?"
"Iya, tenggelam lama di jurang kejombloan. Hahaha."
"Ngaca dulu kalo mau ngomong."
"Hehehe. Iya iya. Yah tungguin gue."
"Insya Allah, nggak janji."
"Ya sudah kalo nggak mau." Aku berjalan mendekat ke arahnya.
Dia menatapku erat, saat aku membungkuk mendekatkan wajahku ke arah wajahnya.
"Loe mau ngapain?"
"Kalo loe nggak mau nungguin gue, gue cium loe sekarang!"
"Radja, apaan sih?"
"Tuh, pipi loe merah. Kenapa? Loe juga suka kan sama gue?"
"Radja, sana nggak!" Ratu mendorong tubuhku.
"Enggak! Janji dulu."
"Jangan maksa dong."
"Biarin."
"Iya, gue janji. Terpaksa."
"Tuh, nggak mau. Yang tulus dong."
"Iya, gue janji. Radja."
"Radja apa?"
"Radja maksa, Radja gombal, Radja jelek, Radja cerewet, Radja ...."
"Apalagi? Ganteng?"
"Iya, dikit."
"Gue cium nih!"
"Iya, Radja ganteng, kaya sekuteng, belum mateng."
"Hehehe ... Akhirnya kan, mengakui kalo gue ganteng."
"Terpaksa."
"Minum tuh coklat, sama bolunya, biar chubbynya awet."
"Hem ...."
***
Bersambung.
Vote dan komentarnya ya
😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top