9. Latte-3

Latte berjejak pada tepi comberan yang dipenuhi sampah kantung plastik. Kantung-kantung plastik itu berisi berbagai limbah rumah tangga yang sudah tak berbentuk lagi akibat dekomposisi. Air hitam legam beriak, terlihat bayang-bayang suatu makhluk raksasa di permukaan. Badannya panjang, berekor besar, memiliki sepasang sirip lebar. Berbagai organisme mungil mirip cacing menggeliat di punggung. Makhluk itu mumbul dari pekatnya air hitam.

Latte menyengih penuh rasa senang. "Leviathan," tuturnya.

Kepuasan singkat tersebut mendadak diruntuhkan paksa akibat kedatangan seseorang. Robusta, yang sama memakai baju nada hitam, menghampiri Latte. Comberan kembali hening, ditemani tiupan angin lembut.

"Latte," panggilnya.

Remaja yang dipanggil menjadi keki, menghadap ke kiri. Pandangan merendahkan khasnya tak terlupa. "Ketua. Apa yang Ketua lakukan di sini?"

"Kau tidak bergabung dengan yang lain ...." Robusta menggantung kalimat, membuat lawan bicaranya tak tahu apakah dia menyatakan sebuah pernyataan atau pertanyaan. Terpaksa Latte menoleh ke arah permukiman, pada sebuah rumah yang halamannya dipasang teratak dan ditata kursi serta banyak orang berkumpul. Para siswa kelas 2-E tergabung ke dalam kumpulan itu, sebagian bermuka muram.

Latte berpikir sejenak. "Ketua, apa kau menyuruhku untuk ke sana?" Robusta mengangguk. Kini Latte dapat mengikuti alur obrolan ini. "Entahlah. Aku agak bagaimana dengan Vanilla."

"Kau tidak menyukai Vanilla?"

Pertanyaan yang dilayangkan dengan cepat membuat nafsu lawan bicara bergejolak. Tatapan datar Robusta dibalas dengan muka Latte yang menggebu-gebu.

"Jelas!"

Badan agak membungkuk dan lutut sedikit menekuk, Latte melakukan gerak fleksi, kedua tangan terangkat dan mengepal.

"Vanilla itu bunga raya!"

Matanya berair, liur keluar bercipratan, kedua telinga memerah, keringat membasahi dahi.

"Dia suka menggoda laki-laki di kelas! Setiap dia tertarik dengan laki-laki, pasti langsung didekatinya!"

Mulutnya komat-kamit, bergerak dengan cepat.

"Benar-benar, dia itu buaya betina!"

Kelopak mata melotot, tatapan nyalang. Kerit gigi berbunyi di sela Latte menjeda.

"Perlukah aku sebutkan siapa yang yang tertipu oleh muslihatnya?"

Latte menghitung dengan jari-jari tangan, sambil nyerocos, berikutnya dia menuding Robusta seolah menuduhnya.

"Chocolate, Tubruk, Arabica, bahkan aku pernah lihat Ketua berduaan dengannya! Bahkan juga dia menggaet laki-laki kelas lain!"

Latte tertawa terbahak-bahak, badannya berguncang serta tak bisa tegak. Tangan kiri meremas perut, sedangkan tangan satunya bergerak seakan menggapai udara.

"Aku yakin Vanilla pasti memakai susuk!"

Robusta bergeming tak serius menanggapi tingkah ganjil teman sekelasnya itu. Dia justru tidak lagi menatap Latte, kini menghadap ke arah selokan.

"Aku tidak tahu sudut pandang pendapat yang barusan kau utarakan, tapi dengarlah pernyataan ini, Kawan. Orang mati tidak bisa bangkit untuk membenarkan perkataanmu."

Robusta meninggalkan acuh tak acuh Latte yang tidak sempat bereaksi. Lelaki itu ditinggal sendirian di pinggir comberan yang airnya tak mengalir. Latte menggeram kesal. Dia kalah telak.

***

Pada hari saat pagi menyambut, orang-orang di sekitar tidak bisa menyaksikan surya bertengger bebas sebab mega menghalangi. Koloid kabut menyebar ke atas permukaan daratan hingga beberapa meter tingginya dan berkubik volumenya. Tak terkecuali Sekolah Satu Atap tempat Robusta menuntut ilmu.

Di ruang kelas 2-E, Latte menyeringai dari tempat duduknya, melambai-lambai gawai di genggaman, kepada Robusta yang melirik ke belakang.

Ketua, setelah pulang sekolah, datang ke atap perpustakaan

Hari telah berlalu, awan selalu berkelana pada angkasa hingga tengah hari lewat. Sekolah terlihat sepi, sebagian besar siswa-siswi sudah pulang ke tempat tinggal masing-masing, kecuali bagi mereka yang masih ada urusan. Contohnya Robusta dan Arabica. Mumpung perpustakaan buka sampai petang menjelang, mereka berkunjung ke sana, meletakkan tas di loker lantai satu atas perintah guru penjaga.

Mencapai lantai tiga, keduanya berjalan menuju tangga. Walau garis polisi terpasang di sana, Robusta tetap menerobos naik, diikuti Arabica. Perlahan, mereka mengendap-endap supaya tak ketahuan guru penjaga perpustakaan.

"Arabica," panggil Robusta di sela mendaki tangga.

"Iya?"

"Ketika di atap nanti, kau berdirilah di dekat tepi atap. Jangan jauh-jauh dari sana."

Arabica mendongak, mendengar dengan saksama, kemudian mengangguk paham. Dia pun lanjut mengekor si ketua kelas.

Robusta berhenti di bawah besi penutup yang terkatup. Dia langsung menyadari bahwa gembok telah terbuka, sehingga lelaki itu tinggal menggeser gerendel dan mendorong besi penutup. Robusta pun keluar, bertumpu di atap. Arabica menyusul, tak lupa menutup kembali akses naik, berdiri di belakang ketua kelas.

"Kau terlihat kacau," ucap Robusta, bergeming.

Di seberang mereka, dekat pinggir atap, berjejak Latte. Remaja sekolah itu menyeringai, mata agak menyipit. Pandangan rendahnya tertuju kepada dua remaja yang menghadap ke arah dia.

"Selamat datang, Ketua. Aku lihat Ketua membawa seseorang untuk menemanimu ke sini." Latte menyeringai, lengannya bersilang.

Robusta awalnya memandang lantai semen, kemudian menatap lawan bicara, lalu memandang lantai kembali. "Maaf karena aku membawa sekutu."

"Tidak apa-apa. Karena ... aku juga."

Seringaian Latte makin lebar. Gerombolan makhluk-makhluk seukuran pria dewasa datang mengerumuni dalam pola lingkaran, berdiri tegak dan mendesis. Tubuh berkerangka, berwarna hitam mengilat. Mereka memainkan kuku-kuku runcing setajam pisau, mengayun ekor panjang berduri dengan ujung sengat. Kepala makhluk itu berupa tengkorak silindris memanjang, serta tidak memiliki mata. Barisan taring lancip terlihat kala si makhluk membuka mulut dan meneteskan air liur pekat.

"Arabica." Robusta memberi anggukan. Remaja yang dipanggil bergerak menuju tepi atap, ke arah Latte, tetapi agak berjauhan dengan lelaki itu.

"Apa yang kaurencanakan, Ketua?" Latte menyipitkan mata, mengekor pergerakan Arabica.

"Pemain saling menggerakkan bidak," ujar Robusta. Sepasang matanya menatap ke depan, bibir mengatup datar.

Latte kemudian membubarkan posisi bersilang tangan. "Huh. Alien bukanlah bidak, Ketua. Mereka kawan; kawan manusia." Latte berdecak-decak kesal, memasang wajah menantang. "Lagi pula, mengatakan wakil sebagai bidak benar-benar tidak beradab, Ketua."

"Ah, mohon maaf." Robusta merespons tanggap. Tingkah ketua kelas membuat Latte makin geram.

"Ada apa, Ketua? Membuatmu teringat, ya? Tempat di mana teman kurang ajar kita lompat bunuh diri setelah menembak sepuluh orang. Benaran, buang-buang waktu dan tenaga saja. Seharusnya dia menggunakannya untuk hal yang lebih bermanfaat, huh."

"Sudah kubilang, kau terlihat kacau."

Arabica baru menyadari perkataan tersebut, bahwa Latte memang terlihat berbeda jika diperhatikan dengan saksama. Garis hitam menghiasi pelupuk netra Latte; rambutnya sedikit acak-acakan, mungkin tidak disisir rapi seperti biasa; baju kurang kemas, tak dimasukkan seluruhnya dan tidak disetrika; begitu pun celananya yang kusut.

"Woi, jangan melihatku dengan wajah menjijikkan!" hardik Latte.

Arabica hanya membuang muka serta mengerling, cukup tidak senang dengan bentakan remaja laki-laki di dekat. Mimiknya menyuratkan bahwa dia tidak terima disentak begitu.

Latte mengambil napas, mencoba menenangkan diri, walau tidak kelihatan tenang sedari awal. "Ketua, Ketua sudah tahu 'kan apa yang aku mau lakukan?"

Robusta tetap bergeming. Latte mengatup mulut, kini tersenyum lebar. Tentu tatapan merendahkannya tak tertinggal.

"Iya, aku mau menyatakan 'delay' ...."

Si lawan bicara berkedip sekali, kepala berpaling ke kiri. "Tidak boleh."

Mimik Latte berubah seratus delapan puluh derajat. Terkejut, gamblang perasaan kecewa. "Ke—kenapa?" Dia bertanya seperti orang bodoh.

"Vanilla sudah menggunakannya."

Latte naik pitam. Kedua lengan terangkat ke depan dada, seolah sedang menuntut. "Omong kosong! Bukankah Ketua sudah mengatakan bahwa 'delay' bisa digunakan oleh semuanya?!" Saliva terciprat ketika Latte membentak dengan mulut terbuka lebar.

Robusta mengembus napas, mengejam mata. "Maaf, aku barusan berbohong. Aku hanya tidak mau kau membuat masalah."

Latte menggeleng cepat, tangan terkepal di dada, kemudian merentang ke samping. "Tidak, lah! Aku tidak akan membuat masalah! Aku bisa menjaminnya!"

"Tapi, kau terlihat akan merencakan sesuatu yang berbahaya."

"Tidak! Aku jamin ini hanya akan berdampak pada diriku saja! Aku tidak akan melibatkan orang lain!"

Robusta tak hirau. Dia membuang muka ke samping, pandangan terpaku pada lantai atap dalam waktu cukup lama.

Latte mengeritkan gigi, mukanya memerah. Diam-diam, tangan lelaki itu masuk ke saku celana, kemudian mengeluarkan sebilah belati. Arabica di dekatnya lantas terkejut, tetapi Latte langsung mencekal lengan remaja itu, menguncinya hingga tak bisa berkutik, lalu mata belati didekatkan pada leher Arabica.

"Kalau Ketua masih bersikukuh, aku akan membunuh Arabica!" ancam Latte yang telah habis kesabaran. Arabica meringis, tak dapat melawan cekalan kuat Latte.

Robusta tak merespons. Kepala yang menunduk membuat rambut poninya menghasilkan bayang-bayang yang meliputi kening pula mata.

"Bagaimana! Wakil kesayanganmu dalam bahaya! apa yang akan Ketua lakukan!"

Robusta masih tak membalas. Arabica hendak berkata, tetapi Latte mengunci dagunya sehingga rahang bawah sulit bergerak. Si ketua kelas mengamati sekeliling, dia melakukan kilas balik beberapa menit lalu mulai dari dia dan Arabica datang, Latte menyambut dengan tak ramah, Latte menyatakan 'delay' dengan egois, hingga Latte mengeluarkan belati dan menyandera Arabica.

Robusta tampak selesai membuat kesimpulan. Dagu diangkat dan mata kembali menatap si lawan runding. "Alienkah...?"

"Hah?" Latte memasang wajah terheran.

"Baiklah, boleh. Tapi, janji, ya, semua yang barusan kaukatakan harus ditepati." Robusta tersenyum. Entah apa makna sebenarnya dari senyuman itu, tetapi melihat situasi sekarang, kiranya dia berusaha mengajak Latte untuk berhenti berseteru.

"Kenapa tiba-tiba?"

"Tidak apa-apa. Aku hanya menyadari Alien-mu. Kenapa kau mengeluarkan belati dan membuat Arabica sebagai sandera, bukannya meminta bantuan dari Alien-mu untuk menyandera Arabica?"

"Apa?" Latte masih tidak mengerti.

"Jawabannya jelas. Karena kau tidak ingin Alien-mu untuk melukai manusia. Kau 'kan ingin membuat dunia di mana Alien dan manusia bersekutu, bukan? Aku akan menghormati tekadmu. Maka dari itu, aku mengizinkanmu untuk menyatakan 'delay'. Semangat, ya."

"Wah, aku benar-benar tidak mengerti." Latte menyeka wajah. Tangan satunya yang lengah membuat Arabica melepas kunci lengan. Sebenarnya Arabica hendak melawan balik, tetapi mengingat sekarang Robusta sedang berunding dengan Latte, Arabica bergeser pelan-pelan supaya dapat jauh dari lelaki aneh itu.

Latte tampak berpikir keras. Setelah menyadari sesuatu, ekspresi mukanya menjadi cerah, mata membuka lebar. Dia mengusap tengkuk. "Tunggu! Oh, aku tahu. Baiklah, Ketua. Terima kasih." Latte menyimpan kembali belati, dilanjut dengan beranjak menuju besi penutup; menuju Robusta.

Lelaki itu berhenti sejenak di samping kiri Robusta. Peluh makin deras bercucur dari dahi. Sepasang mata menyipit. Bibir terbuka, tertarik ke satu sudut. "Benaran, Ketua. Ekspresimu benar-benar sulit untuk dibaca."

Dalam sekejap mata, semua Alien lenyap seketika. Latte segera menderap meninggalkan dua temannya di atap, turun melalui tangga besi tanpa menimbulkan kegaduhan.

Arabica menggeleng. Dia beralih ke ketua kelasnya. "Ketua berbohong kepada Latte," Robusta berkejap mata sekaligus memasang wajah datar, "Kenapa?"

"Orang yang tersudutkan mudah untuk dimanipulasi." Robusta berkata tanpa merasa berdosa.

"Jadi itu alasan Ketua mengajakku ke sini?"

"Ketika di atap nanti, kau berdirilah di dekat tepi atap. Jangan jauh-jauh dari sana."

"Dan, perintah itu ...."

Pertanyaan Arabica tak digubris. Malah, Robusta mengalihkan pembicaraan ke suatu hal yang menarik.

"Ngomong-ngomong, Arabica, lihatlah ke sini." Si ketua kelas bergerak ke tepi atap.

"Iya, kenapa?" Arabica melangkah menjajari Robusta.

"Itu," Robusta menunjuk ke arah bawah. Dia memandu Arabica untuk melihat pemandangan di bawah sana. Arabica semakin mendekat, hingga berhenti hampir di tepi atap gedung perpustakaan.

"Apa apa sebenarnya? Ini 'kan tempat Tubruk lompat dari sini."

Mata Arabica menangkap visi berupa naungan galvalum, koridor gedung lain yang memiliki tingkat dua atau lebih, serta taman sekolah. Awalnya dia mengernyitkan dahi, terus fokus memandang ke bawah. Perhatiannya tertuju pada naungan galvalum.

"Apa sih? Eh—?"

Menyadari sesuatu, Arabica langsung membelalakkan mata.

"Kita tidak bisa ... melihat indoor dari sini ... !"

###

11 Juni 2020

SIDE-STORY GAJE

"Kau terlihat kacau," ucap Robusta, melihat William bermuka sembap setelah seharian menangis.

"Robusta, kenapa kamu susah sekali sih dibuat karakterisasinya?" William kembali meneteskan air mata. "Kenapa aku harus membuatmu jadi munafik? Kenapa tidak jadi sifat polos saja! Jadilah polos! Plis, Robusta, ubahlah karaktermu jadi anak polos supaya aku mudah menulisnya ...." William menangis di pundak Robusta.

Robusta mengelus puncak kepala William. "Baiklah, Will. Bab depan aku akan menjadi anak polos."

"Yey! Terima kasih!" William beralih duduk tegak, mencoba bersemangat.

'Dasar anak malas, baru 11 hari aja sudah mewek kayak bocah begini. Gimana mau selesai ceritanya sebelum deadline coba?!'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top