6. Tubruk-1: Festival HUT Sekolah
"Kematian telah datang ...." Dari atap gedung, moncong senjata api laras panjang diarahkan, membidik orang pada keramaian.
Gegana menyelimuti dirgantara, tutupan awan meliputi daerah sekolah berikut sekitarnya. Warga sekolah berkerumun pada lapangan indoor, tempat diadakannya festival. Lapangan indoor tersebut luas, berukuran empat puluh kali empat puluh meter persegi, terbagi menjadi lapangan basket, lapangan bulu tangkis, dan panggung di sisi utara. Di atasnya terdapat penaung berupa atap galvalum*.
(*galvalum= singkatan dari galvanis dan aluminium, atau disebut juga atap baja ringan)
Festival hari ulang tahun sekolah tengah berlangsung sangat meriah. Stan yang menjajakan berbagai macam menu, ramai dikelilingi pengunjung yang mondar-mandir. Masing-masing kelas disediakan satu meja panjang untuk memajang produk, ditata pada setiap sisi lapangan. Kebetulan kali ini tema yang dipakai ialah makanan dan minuman tradisional yang terkesan biasa. Meski begitu, tentu kreasi siswa-siswi tiap kelas mampu menyihir menu makanan dan minuman tradisional yang awalnya biasa-biasa saja menjadi sangat menarik dan menggiurkan, dengan menggabungkan aspek kekinian.
Keramaian yang terjadi kala itu membuat suasana kalang kabut. Penjaga stan kelabakan melayani pelanggan-pelanggan yang berebutan. Siswa-siswi berkerumun tanpa peduli membentuk antrean, tak terkecuali siswa 2-E yang berkeliaran di setiap stan kelas. Para guru kewalahan mengawasi festival nang tak terkontrol.
"Aku beli Rainbow Tiwul, dibungkus. Gpl*, ya!"
(*gpl= gak pakai lama)
"Kak, pesanan tiga Getuk Galaksi sama satu Wedang Ronde Antartika mana? Belum jadikah?"
"Kapan Cilok Ajaib jadinya? Kok lama amat."
"Sabar, sabar!"
"Sabar, ya! Sebentar lagi matang, kok!"
"Kamu antre, lah! Masa tidak mau nunggu giliran!"
Tentu, dengan kegemparan sebising demikian, tiada seorang pun yang menyadari kehadiran seseorang di tangga menuju atap salah satu gedung. Kehadiran Sang Pembunuh.
Seorang siswa laki-laki naik tangga besi dengan langkah gontai, mengambil jeda yang agak lama dari satu anak tangga ke anak tangga lain. Surai lebat menutupi dahinya sehingga netra si siswa tak terlihat jelas. Identitas lelaki itu ialah Tubruk, murid kelas 2-E.
Tubruk terengah-engah, kadang kala berhenti sejenak guna mengatur napas, kadang mengusap peluh deras di muka. Ia menggertakkan gigi. Tubuhnya serasa berat untuk bergerak.
"Bergerak ... ! Bergerak ... ! Bergerak ... !" keluh si remaja lelaki seraya berusaha naik melalui tangga.
Senjata api berupa senapan laras panjang dieretnya sepanjang perjalanan mendaki undakan. Pangkal senapan beradu dengan besi, menghasilkan bunyi berisik kontinu, anak demi anak tangga. Tubruk menggenggam moncong senapan, sesekali berekspresi geram pada anak tangga berikutnya yang harus dia naiki.
"Bergerak!!!" Dia berfokus pada besi penutup di atas, yang sudah terbuka.
Sementara itu, kembali ke festival nan hiruk pikuk, mari berfokus pada stan kelas 2-E. Vanilla, si wanita cantik bersurai panjang, ditemani duo sahabat Milk dan Milkshake, serta beberapa teman sekelas lainnya, menjadi penjual yang melayani para pembeli. Menu nang dijajakan ialah Biji Dinosaurus, Onde-Onde Venus, serta Milkshake Berlian. Biji Dinosaurus merupakan modifikasi biji salak yang lebih besar dan berwarna putih telur, memiliki tompel berwarna-warni; Onde-Onde Venus adalah onde-onde dengan perisa stroberi, pewarna merah stroberi, dan isi selai stroberi; sedangkan Milkshake Berlian ialah susu kocok dengan taburan biji es mirip berlian.
Meski nama menunya aneh begitu, rupanya stan 2-E lumayan lebih gaduh jika dibandingkan dengan stan di samping kiri kanan. Banyak siswa-siswi bergerombol, barangkali ingin tahu dengan rasa pun sensasi mengonsumsi makanan serta minuman yang dijajakan.
"Dek, kapan Dinosaurus-nya jadi?"
"Mau Onde-Onde Venus. Warnanya lucu ...."
"Aku udah nunggu lama, kok pesanannya belum jadi sih?"
"Milkshake Berlian-nya masih?"
"Maaf, ya, bahannya sudah habis. Ini sedang diambilkan stoknya."
"Iya, iya, sabar ya ini sedang dibuatkan ...."
"Mohon mengantre, ya, kasihan yang sudah duluan menunggu."
Bisa jadi pula, kalimat berikut mampu mengguna-guna warga sekolah untuk membeli menu Biji Dinosaurus: "Temukan kejutan bayi dinosaurus di dalam Biji Dinosaurus, jika kamu beruntung!" Strategi pemasaran yang bagus, membuat pembeli kian ramai akibat rasa penasaran.
Mendadak, suara keras tembakan terdengar. Seorang siswi berambut pendek tahu-tahu tersungkur di antara keramaian. Orang-orang berteriak histeris, lari menjauh dari jasad yang tergeletak. Para siswa yang berjaga di stan memilih diam di tempat, menundukkan kepala, bercangkung, bersembunyi di bawah meja. Mereka yang panik menyebut sumpah serapah.
"Astaga! Siapa yang menembaknya!"
"Sialan! Dari mana arah tembakannya!"
"Siapa pun tolong dia!"
"Astaga naga, apa dia masih hidup?"
"Jangan berlari! Semuanya menunduk!"
"Berlindung di dalam kelas!"
"Cepat! Panggil petugas keamanan! Panggil polisi!"
Beberapa siswa tampak menolong. Lubang bekas tembakan tercetak pada dahi si siswi, menyebabkan aliran darah mengalir keluar. Kemungkinan besar peluru suah bersarang di dalam tulang tengkorak. Netranya membeliak, mulut menganga, ekspresi terkejut tiba-tiba yang mampu merenggut kesadaran. Setelah pergelengan tangan kiri dicek oleh salah satu siswa, rupanya nyawa si siswi telah dirampas pula.
Insiden ini terjadi dalam sekejap mata.
"D-dia sudah mati-"
Suara letusan senjata api memasuki liang pendengaran lagi. Siswi berambut kepang terjatuh ke belakang, punggungnya menabrak meja salah satu stan hingga barang-barang di atas meja berantakan. Keningnya bolong, mata si siswi membeliak pun mulut terbuka lebar. Tembakan terdengar kembali, seorang siswi berkacamata tampak ambruk di antara pot tanaman pada pinggir lapangan. Darah mengucur dari dahinya yang berlubang. Suara senjata api masih bertambah, satu siswi merosot dari balik meja stan 2-E, dengan lubang pada kening, cairan merah pun bercucuran.
"Ah, tidak! Berlindung! Ini serangan teroris!"
"Selamatkan diri kalian!"
"Hei, jangan tinggalkan mereka yang tertembak!"
Teriakan makin terdengar keras.
Orang-orang tunggang-langgang meninggalkan lapangan indoor menuju tempat nan dirasa aman. Jasad tergeletak tak diacuhkan 'tuk ditolong. Lagi-lagi bunyi tembakan terdengar untuk kesekian kalinya. Seorang siswa berkulit putih ambruk di tengah-tengah lapangan, sementara orang-orang kalang kabut berlarian macam kesetanan.
Vanilla berlindung pada meja stan kelas 2-E bersama beberapa temannya. Dia bergidik ngeri melihat para siswa berjatuhan terkena tembakan. "Chocolate, aku takut ...." Siswa berambut cepak di sebelah merangkul pundaknya, memaksakan tegar.
Seketika, siswa itu membeliakkan mata, tubuhnya terbanting ke depan, peluru melesat melubangi tulang kepala belakang hingga tembus ke dahi. Vanilla sontak menoleh terkejut serta berteriak ngeri. Satu lagi siswa tertembak, yang pula jongkok di dekat meja stan, peluru mengenai keningnya hingga membuat darah merembes.
"Siapa pun, cari tau dari mana tembakan itu berasal!"
"Ini gila! Siapa orang sinting yang menembaki kita!"
"Tolong! Selamatkan kami!"
"Ke mana para petugas keamanan!"
Pontang-panting, di tengah kerumunan, seorang siswa berkacamata lagi-lagi tertembak. Badannya tersungkur, peluru bersarang dalam tulang kepala. Dia jatuh menabrak muka meja stan salah satu kelas 1. Gara-gara dalam festival HUT makin menjadi, tiada satu insan pun mampu meredam. Tembakan kembali terjadi, mengenai siswi berambut kucir dua yang berlindung di antara kerumunan pada koridor. Lantas semua orang di sekitar terbirit-birit menjauh ke tempat lain.
Di tempat lain, senapan berikut tangan Tubruk mencuat melalui besi penutup terbuka, senjata api pun digeletakkan di lantai atap. Tangan satunya turut menganjur, menyangga tubuh si lelaki yang keluar dari tangga besi. Membenarkan posisi, Tubruk berusaha berdiri seraya mengambil senapan. Atap datar dengan lantai semen, di tengah ada bangun berbentuk limas dengan tutup genting tanah liat. Di belakang Tubruk ada profil tank besar berwarna jingga dan terdapat simbol penguin di permukaan selimut tabungnya.
Tubruk akhirnya berhasil sampai atap. Dia menegakkan punggung, merilekskan bahu, mengambil posisi bersiap. Senapan diangkat, membidik ke depan. Remaja lelaki itu menghela napas kuat-kuat.
Di lapangan indoor, seorang siswi berambut panjang lebat melangkah terseok-seok. Kulitnya pucat, tatapan muka kosong. Dia beradu di pusat lapangan, mematung bagai diliputi rasa keputusasaan. Tembakan senjata api terdengar kesekian kali. Siswi itu terjerembap di tengah-tengah lapangan yang berisi orang-orang ketakutan.
Di antara kerumunan orang-orang yang duduk, berjejak, panik, berlindung di lorong sekolah dekat lapangan indoor, ada satu siswa laki-laki yang berdiri, mendongak ke arah sebuah gedung. Lelaki itu berkulit sawo matang, mata hitam bulat, serta surai pendek berponi. Dengan wajah datar, netra tak berkedip, dia terus tenang menatap gedung tersebut. Tanpa berpaling. Memperhatikan atap.
Tubruk berjalan mendekati pinggir atap, mengacungkan senapan dengan sudut depresi. Lapangan indoor dibidik.
Seorang guru menyadari perilaku si siswa lelaki bersurai poni, juga melihat apa yang dia lihat, kemudian segera menyuruh beberapa orang dewasa untuk pergi ke atap bangunan.
"Di sana! Cepat! Ke gedung perpustakaan! Orang itu ada di atap!"
Sejumlah orang lari ke gedung perpustakaan berlantai tiga. Di pojok lantai tiga dapat dijumpai tangga untuk naik ke atap. Mereka berlari tanpa mengacuhkan orang-orang nan berteriak ngeri di luar, dari sekitar lapangan indoor. Butuh waktu tidak lama mendaki tangga nan lumayan besar itu. Orang pertama yang baru keluar menongolkan kepala, terkesiap ketika menyaksikan Tubruk sudah berlari meloncat, terjun dari atap.
"Hei, lihat! Di atap perpustakaan ada seseorang yang membawa senapan!"
"Tidaaak! Dia akan terjun!"
Pada lapangan indoor, orang-orang dapat menonton satu siswa laki-laki lompat dari atap gedung perpustakaan, sambil membawa senapan laras panjang. Suara buk keras terdengar kala jasad si siswa menghantam permukaan daratan ber-paving, ditemani bunyi logam beradu. Posisi kepala yang jatuh dahulu menyebabkan leher patah, tengkorak pecah, isi otak berlumur darah pun berceceran.
Dalam waktu kurang dari satu menit, total sepuluh siswa tertembak mati secara misterius. Misterius karena tiada satu pun menyaksikan si pelaku melakukan aksi penembakan. Tidak hanya itu, seorang yang terduga pelaku, sebab membawa senapan, terjun dari atap gedung perpustakaan, kemungkinan besar melakukan bunuh diri.
Siswa laki-laki berambut pendek poni sebelumnya, memandang tontonan itu dengan tak indah. Dia berbalik badan, memisahkan diri dari keramaian.
6 Juni 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top