37. Lotis
Ini adalah cerita lanjutan dari Bab 19. Zinc, boleh dibaca lagi dan ingat-ingat ^^
###
Pagi menyambut hari. Lautan kapas masih menggantung pada bumantara. Tampak samar baskara mendaki di ufuk timur. Halimun tipis menyelimuti permukaan bentala.
Saat ini tengah berlangsung kondisi ingar bingar di Sekolah Satu Atap. Para orang tua murid 2-C mengancam akan membawa masalah ini ke ranah hukum. Sementara itu, wali murid Zinc malah tidak menampakkan batang hidungnya.
Setelah berbagai kesepakatan didapat dari negosiasi, akhirnya para wali murid 2-C dengan berat hati menyetujui untuk tidak menyeret kasus ini ke meja hijau. Pemakaman anak-anak mereka bisa dilakukan dengan wajar, walau kematiannya tak wajar, pada hari itu juga.
Kepala Sekolah berhasil mengatur segalanya.
Hari itu dibuat keputusan bahwa sekolah lagi-lagi harus pulang pagi. Para siswa diharap langsung pulang ke rumah, karena sorenya harus mengikuti upacara pemakaman teman-teman mereka yang telah meninggalkan dunia. Kabar nan beredar mengatakan bahwa setelah upacara pemakaman, jenazah akan dibawa ke kampung halaman masing-masing.
Robusta berdiri membatu di depan kelas 2-C. Di tangannya ada buku berjilid yang mirip buku laporan. Tampak kata El Nino pada judul di sampulnya.
Mengerjap mata sekali, lelaki itu berbalik, melangkah pergi.
***
Pada kantor guru, ketika semua orang bernapas lega, atau mengatasi sisa permasalahan, Robusta berdiri di depan pintu yang terbuka. Matanya meninjau suasana di dalam, sebelum si lelaki melangkah masuk.
Robusta menuju salah satu meja yang di atasnya terdapat pelat bertulis Elisa beserta gelar, nama dari salah satu guru mata pelajaran IPS. Seorang wanita paruh baya duduk, melamunkan suatu hal.
"Bu Elisa ...." Panggilan itu membuyarkan lamunannya.
"Ah, Robusta-kah? Bagaimana proposalnya?"
Robusta memberikan buku laporan kepada beliau. "Ini sudah saya revisi, Bu."
Bu Elisa menerima dengan senang hati. Guru itu merasa bangga bisa membimbing murid untuk meraih prestasi yang dapat mengharumkan nama sekolah. Namun, hal yang beliau pikirkan sedari tadi kembali terngiang. Tentang apa yang terjadi hari ini.
"Sungguh mengerikan, ya. Satu kelas murid mati dalam semalam. Katanya, mereka mengadakan pesta ... ah, bukan wewenang saya menduga-duga. Kamu tidak merasa berdukakah?"
Robusta melayangkan raut sendu. "Ya, tentu saya berduka. Teramat dalam. Sampai ke kepala."
"Tapi, mengapa masalah ini dibawa sampai ke pihak sekolah, ya? Bukankah mereka tewasnya di luar lingkungan? Ah, bukan wewenang saya menduga-duga." Guru itu mengaduh, meremas kepala yang berdenyut.
"Kalau begitu, saya pergi dulu, ya, Bu." Robusta menganggu kecil, berbalik dan meninggalkan kantor guru.
Masih ada urusan yang harus dia selesaikan.
***
Sore tiba. Langit jingga bercampur kelabu tampak memesona. Pada suatu peron stasiun kereta api, di antara kerumunan orang-orang, Lotis berbaris. Perempuan bermata bulat itu menunggu giliran masuk ketika gerbong sepur sudah tiba pada jalur.
Remaja tersebut siap. Dia harus menyiapkan diri. Kala kakinya melangkah, Lotis telah membulatkan tekad. Perempuan berambut sebahu itu harus melupakan semuanya. Tentang Satu Atap, tentang kelas 2-E, tentang Pak Lupine, tentang Perbukitan X, tentang undian, tentang Festival HUT Sekolah, tentang 2-C, tentang apa-apa yang dia alami selama hampir satu setengah tahun.
Di dalam kereta, Lotis duduk pada bangku. Ramai orang-orang, membuat wagon terasa padat lagi sesak. Remaja perempuan berbaju santai itu mengerjap mata. Robusta duduk di seberang, menatapnya dengan intens.
Sepur pun berangkat, seiring obrolan tanpa suara ini dimulai.
"Aku tidak tahu harus mulai dari mana." Lotis berkata.
"Mulai saja dengan bagaimana perasaanmu saat ini." Robusta membalas. Dari kontak matalah cara untuk berkomunikasi ini.
Lotis berkedip. "Baiklah? Perasaanku ... bebas, mungkin? Orang tuaku segera menyuruh pindah sekolah setelah mengetahui berita menghebohkan yang simpang siur. Perintah orang tua. Tidak bisa dilawan, bukan?"
"Kau benar. Tapi, bagaimana dengan perasaan teman-temanmu yang kau tinggal?"
Lotis mengerlip mata. "Aku tidak tahu. Aku merasa bahwa ini semua hanya mimpi. Setelah aku keluar dari kota ini, aku akan terbangun, melupakan semua mimpi itu. Baik mimpi baik bersama kalian maupun mimpi buruk yang tidak pernah dibayangkan."
"Kamu kabur. Begitu?"
"Mungkin saja." Lotis mengerjap mata untuk kesekian kali.
Di stasiun berikutnya, Lotis dan keluarga berganti kereta. Robusta turun, kemudian dari ruang tunggu memperhatikan mereka bertiga memasuki sepur lain. Kereta pun berangkat, pergi sampai jauh.
Lotis merasa semua memori selama di kelas 2-E lepas secara paksa dari sel-sel otaknya, berkumpul hingga membentuk gumpalan, lalu terbang diembus angin hingga lenyap di angkasa.
Suara roda kereta yang bersinggungan dengan sambungan rel berkali-kali, memenuhi liang pendengaran. Raut muka Lotis berubah menjadi terharu, dia mengejam mata, menahan napas. Dalam dekapannya, ada tas kertas cokelat pemberian si ketua kelas. Pelukan makin rapat.
Ledakan tercipta dari dalam tas itu. Tubuh Lotis hancur berkeping-keping, badan orang-orang di sekitar terhempas lalu terpotong-potong. Gerbong kereta hancur seketika. Sepur pun kehilangan kendali, lalu setop paksa. Wagon-wagon turut terkena dampak. Para penumpang menjadi histeris, kegemparan hebat tercipta.
"Selamat tinggal, Lotis."
Robusta berdiri di peron, memandang stasiun nan ramai. Di tangannya tergenggam sehelai kertas terlipat.
***
Dari dalam suatu rumah, keributan muncul. Seorang wanita muda meronta saat dibawa oleh dua orang pria berpakaian putih dan mengenakan masker. Wanita itu tampak berantakan. Rambutnya kusut, muka luyu, baju kumal. Dia memberontak, meneriakkan kata-kata tak jelas selain "buku" dan "Kona", atau kata lainnya. Wanita tersebut kemudian dipaksa masuk ke dalam mobil.
Pada Sekolah Satu Atap, di dalam suatu ruangan agak kecil mirip kantor, seorang pria berpakaian formal berdiri di depan meja, sambil menautkan tangan ke belakang, menyeringai misterius. Wajahnya bertampang serius, tinggi badan jangkung semampai. Di atas meja terdapat pelat bertulis suatu nama.
Latar beralih ke salah satu penjuru sekolah, pada koridor kelas-kelas baru. Arabica dan duo sahabat, Milk-Milkshake, tengah sibuk berbenah, memindah dan menata barang-barang. Mereka mengenakan pakaian olahraga, yaitu baju bahan kaus serta celana training.
Di tempat lain, pintu-pintu kelas 2 digembok semua. Kelas 2-E termasuk, dan posisi gembok tampak dibuat sama seperti lainnya.
"Sebaiknya kita memindah barang-barang kelas ke kelas baru ini. Lagi pula, kelas 2-E sudah tidak digunakan lagi." Arabica mengecek benda-benda yang ditata di depan kelas.
Milk masuk, membawa sekotak kardus. "Kelasmu juga, 'kan?" Lalu, dia meletakkannya di atas meja terdekat.
"Iya, 2-C terasa biasa-biasa saja, sebelum insiden mengerikan itu terjadi."
Milkshake pula turut membantu. Perempuan bertubuh tinggi itu melihat Milk yang beralih sibuk memperhatikan papan administrasi kelas yang sudah diisi tulisan lengkap. Pada kolom presensi, terbaca barisan berikut. Luak | S | 28 hari.
"Ah, ini harus kita tambahi." Milkshake mendekatkan ujung spidol papan tulis ke barisan di bawah nama Zinc.
Namun, gerakannya terhenti kala Milk berkata, "Tidak usah. Kata Ketua, itu dibiarkan begitu saja."
Milshake pun kaget, lantas menutup kembali kepala spidol.
Arabica mendekati mereka berdua. "Ngomong-ngomong soal Ketua, di mana Ketua sekarang?"
"Katanya Ketua sedang pergi keluar bersama Americano."
Mendapat jawaban tersebut, Arabica membulatkan mulut. Kacamatanya sempat mengilat.
***
Robusta, di balik penampilan culun yang terkesan polos, menyimpan beribu rahasia di balik benaknya. Lelaki berambut poni itu berdiri di trotoar, memandang angkasa kelam yang diselimuti mega kelabu. Mentari bersinar, tetapi samar-samar tampak.
Satu demi satu permasalahan timbul, satu demi satu pula Robusta mampu mengatasinya. Kematian teman-teman 2-E sudah diatur sedemikian rupa, tinggal bagaimana cara mengawasi jalannya skenario yang telah dibuat.
El Nino adalah penyebab semua ini, spekulasi itu selalu muncul dalam pikiran Robusta. Tentang Perbukitan X, tentang undian acak, tentang segala tragedi yang terjadi. Cuaca yang menunjukkan anomali. Variabilitas iklim.
Pada akhirnya, Robusta dan kawan-kawannya harus mengakui, bahwa dalang dari semua kasus ini bukanlah ulah seseorang maupun kelompok mana pun. Ini terjadi atas keinginan mereka sendiri.
Ini semua tentang:
Musim kering yang sunyi.
###
Buku 1 Seri Musim Kering
Tamat.
17 Juli 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top