36. Tubruk-4
Tubruk tidak percaya. Padahal dia sudah belajar semampu mungkin. Ketika Bu Darty, Guru MTK, membagikan hasil ulangan, hanya siswa bernomor urut 29 itu yang mendapat nilai di bawah KKM. Bu Guru pun tersenyum.
“Besok remedi, ya.”
Tubruk membalas dengan menunjukkan wajah sedih yang dibuat-buat. Dia kemudian teringat, bahwa besok akan diadakan Festival HUT Sekolah. Kesepakatan pun dibuat, tentang waktu dan lokasi remedi.
Tubruk merasa malu mengingat kejadian siang hari ini. Di kamarnya, Tubruk menyiapkan buku serta alat tulis. Seseorang datang dari luar rumah, mengetuk pintu. Robusta, yang berpenampilan baju santai, berdiri di depan ambang.
Pria paruh baya membukakan daun. “Temannya Tubruk, ya?” Robusta mengangguk.
Setelah dipersilakan masuk, remaja laki-laki itu menuju kamar Tubruk. Orang yang dinanti akhirnya datang juga.
“Maaf menunggu.” Kamar anak pemilik rumah tersebut lumayan luas juga, seperti remaja sekolahan pada umumnya. Lelaki itu duduk pada kursi di depan meja belajar, berbalik ketika Robusta mengetuk daun pintu yang terbuka. “Sudah siap untuk malam yang panjang?”
“Ketua, kita hanya akan belajar bersama-- kau menjadi tutor, lebih tepatnya. Tolong ajarkan aku, ya, Ketua? Supaya aku lancar remedi besok.” Tubruk memasang tampang penuh harap.
Robusta duduk di sebelah Tubruk. Dia menerima alat tulis yang ditawarkan si lelaki pemilik kamar, kemudian mencermati materi pada LKS yang dipakai di mata pelajaran MTK sekolah. Robusta mengajari cara pengerjaan soal secara urut dari awal sampai akhir, mengenai materi baris aritmetika dan geometri. Penjelasannya cukup sederhana dan mudah dimengerti, membuat Tubruk angguk-angguk paham. Dia pun mencoba mengerjakan soal yang mirip, dan berseru senang ketika diberi tahu bahwa jawabannya benar.
Seorang wanita paruh baya masuk di sela tutorial, membawa camilan dan gelas berisi minuman segar. Wanita tersebut agak gemetar juga gelisah saat meletakkan konsumsi di atas meja Tubruk.
“Terima kasih, Bu.” Robusta menoleh kepada sosok si wanita yang berjalan cepat meninggalkan ruangan sembari membawa nampan, sementara Tubruk sibuk--atau pura-pura?--mengerjakan soal.
“Ketua, terima kasih sudah mengajariku. Aku tinggal mempelajari ulang materi ini dari awal, ‘kan, ya?” Lelaki yang ditanyai mengangguk.
Robusta mengeluarkan sebuah botol beling warna gelap yang tampak mencurigakan. Saat Tubruk bersoal, Robusta menjawab, “Ini obat kuat.”
Tubruk agak khawatir soal nasib tubuhnya jikalau meminum cairan di dalam botol itu. Namun, setelah diyakinkan, akhirnya dia tenggak juga, seluruhnya. Tubruk berharap otaknya bakal encer dan stamina bertambah, tetapi yang dia dapat adalah otot pegal-pegal serta sendi terasa nyeri. Dia mengacungkan jempol dengan susah seraya tersenyum kikuk.
Semua soal latihan sudah dikerjakan dan jam dinding menunjukkan pukul sembilan lebih sedikit. Saatnya bagi tamu untuk pulang. Tubruk tiba-tiba terdiam, menunjukkan wajah muram. Lelaki berambut hitam itu menyebut panggilan temannya. Robusta menelengkan kepala.
Tubruk memberikan sepucuk surat yang terlipat.
“Apa ini?” tanya Robusta, memandang benda yang diulurkan kepadanya.
“Surat kematian. Jika aku mati nanti, anggap saja ini wasiat dariku.”
“Kenapa harus sekarang?”
“Ingin saja.” Tubruk mengatakannya dengan nada suram.
Namun, tiba-tiba ekspresi si pemilik kamar berubah menjadi senang, seperti memaksakan tegar. Robusta paham. Dia menerima surat tersebut lalu menyimpannya baik-baik.
Sebelum pulang, di ambang pintu depan rumah, Robusta menitipkan pesan. “Semangat untuk besok, ya! Jangan tidur larut malam! Jangan bergadang!”
***
Sabtu pagi, sebelum pukul tujuh. Hari terakhir dalam jangka waktu seminggu itu menjadi hari nan spesial. Tubruk berada di Lab Biologi, duduk di meja depan sembari membaca materi mata pelajaran Matematika. Guru wanita bernama Bu Darty masuk, seraya menanyakan apakah Tubruk sudah belajar.
Kantung mata berlapis, rambut kusut, wajah layu, badan lemas, seharusnya sudah bisa menjawab pertanyaan tersebut. Apalagi Tubruk sedang berusaha sekuat tenaga mengingat-ingat materi yang dipelarinya semalam suntuk. Tampaknya dia mulai menyukai sistem kebut semalam.
“Maaf, ya, pakainya di Lab Bio. Ah, saya sudah izin ke Laboran, tenang saja. Oke, mari kita mulai remedinya, ya!”
Jarum jam dinding menunjukkan pukul tujuh, artinya tes perbaikan dimulai. Bu Darty membagikan lembar soal--jawaban dituliskan langsung di bawah pertanyaan--kemudian memberikan waktu selama dua jam. Tubruk mengerjakan remedi sebaik mungkin. Meski kemampuan hitung-menghitungnya di bawah rata-rata, tetapi berkat tutorial serta belajar mandiri semalam, lelaki itu bisa menjawab sebagian soal dengan benar. Sebagiannya lagi dia bingung karena tidak dia pelajari, atau lupa, atau karena soal pengembangan. Bu Darty tersenyum maklum mengawasi muridnya terlihat frustasi.
Tubruk sudah mengerjakan tes sebisa mungkin. Seluruh kemampuan telah dikerahkan. Waktu sudah habis, Bu Darty meminta lembar soalnya.
“Sepertinya kamu sudah berkembang dengan baik. Siapa yang membantumu belajar?”
“Robusta, Bu.” Guru itu agak terkejut mendengar nama tersebut disebut.
“Oke, saya pergi dulu, ya. Ikut meramaikan stan sana. Katanya makanan yang dijual enak-enak.” Setelah berkata, Bu Darty keluar dari Lab.
Tubruk mengamati alat tulis serta kotak pensil di atas meja. Lelaki itu bertopang dagu, menoleh ke arah jendela Lab. Pemandangan di luar tampak sendu, awan kelabu menutupi angkasa. Tubruk menghela napas sambil menutup mata. Sebenarnya dia ingin menyusul teman-temannya di lapangan indoor, tetapi entah mengapa Tubruk merasa tidak enak terlambat bergabung. Dia terlalu minder.
Tubruk membereskan barang-barang, memutuskan untuk pergi ke tempat lain. Lab Biologi terkesan mencekam karena sepi, apalagi jika sendirian, seorang diri di dalam sana.
Tubruk sampai di depan perpustakaan, melepas sepatu, lalu masuk dan meletakkan tas ke dalam loker. Lelaki itu bersalam dengan penjaga, kemudian melangkah menuju tangga, naik hingga lantai tiga. Seperti biasa, dia mengambil senapan di rak paling pojok. Tubruk berikutnya menuju tangga besi, membuka penutup besi dengan kunci yang dimiliki.
“Sepertinya aku ingin menghabiskan waktu di sini saja, aku perlu mengistirahatkan tubuhku yang lelah setelah belajar semalaman.”
Benar apa adanya, langkah lelaki itu gontai, badan membungkuk, kepala menunduk. Napasnya terengah-engah, mata sedikit merah, pelupuk menghitam. Kala mendaki anak tangga, serasa sesak napas, peluh membanjiri dahi.
Atmosfer teras atap gedung perpustakaan terasa sejuk serta harmonis. Kedamaian paling didambakan orang-orang--atau setidaknya Tubruk. Akan tetapi, tidak seperti biasanya, lelaki beriris mata hitam itu mendengar keramaian dari arah lapangan indoor di bawah. Makluk, sedang diadakan festival. Tubruk sebenarnya ingin ikut, lamun dia malu.
Senapan dikeluarkan terlebih dahulu ke teras. Tangan si lelaki mencuat, lalu menahan tubuh yang terangkat. Tubruk menapak lantai atap. Tiba-tiba, matanya tercengang menangkap benda terbang yang merupakan robot, tengah menembakkan peluru-peluru ke arah bawah gedung.
“Benda apa itu? Robot?! Sepertinya familier?”
Tubruk bersusah payah berdiri, tubuh terasa berat, kemudian mengambil posisi sembunyi yang aman supaya tidak ketahuan. Sepertinya sudah lima tembakan meluncur. Tubruk habis akal, tak tahu ke mana peluru bersarang. Dia tidak bisa berpikir jernih lagi. Selain karena soal remedi MTK yang sulit tadi, staminanya juga terkuras setelah naik tangga.
Masa Tubruk memberanikan diri untuk membidik robot tersebut--entah berapa tembakan yang telah diluncurkan—mengangkat senapan, semuanya terlambat. Robot itu tahu-tahu terbang, pergi menjauh, lenyap di langit kelabu. Padahal belum ada semenit sejak Tubruk menampaknya.
“Apa-apaan itu tadi?” Tubruk menurunkan senjata, menggaruk kepala. Dia menggeleng, berharap segala pikiran buruk enyah. Keributan dari lapangan indoor seketika berubah suasana, tetapi Tubruk tak bisa menebak apa yang terjadi di sana, karena pandangannya terhalangi atap galvalum.
Tubruk memperhatikan sekitar, meneropong atap-atap. Tidak dijumpai adanya burung gereja. Aneh. Biasanya mereka selalu ada. Ah, mungkin karena adanya Festival. Huh, lagi-lagi Festival. Berbagai rasa tak enak berkecamuk dalam benak Tubruk.
Tubruk mengembus napas panjang, mengatur respirasi. Dia teringat akan sosok yang selalu mendukungnya setelah kematian sang pujaan hati, Smoothies. Vanilla. Perempuan itu telah memberikan alasan baru kepada Tubruk untuk hidup. Vanilla merupakan malaikat penolong yang telah mengembalikan semangat Tubruk. Bahkan sebagai ucapan terima kasih, si lelaki menghadiahkan gantungan kunci kesukaan.
Bayangan wajah rupawan Vanilla terngiang. Dia pasti sedang sibuk mengurusi stan kelas 2-E sekarang. Tubruk menarik napas panjang. Lelaki tersebut tersentak, lantas mengambil sesuatu dari saku celana. Sebuah foto berukuran tiga kali empat. Di belakang tertera tulisan manis: “untuk Tubruk”. Tubruk tersenyum lembut, pipinya tampak bersemu merah kala laki-laki itu memandangi potret Vanilla.
Tiba-tiba, angin bertiup kencang, menerbangkan foto yang dijepit antara jari telunjuk dan ibu jari kanan.
“Ah, fotonya!”
Dengan masih membawa senapan, Tubruk segera berlari mengejar benda itu, melompat, lalu terjun, menuruni gedung bertingkat tiga dengan gerak lurus berubah beraturan dipercepat. Tubuhnya menghantam permukaan daratan, hancur. Kepala yang berada di posisi bawah menjadi remuk, tulang patah, perut terbuka. Genangan darah meluas secara cepat.
Orang-orang di lapangan indoor dan sekitarnya menjerit histeris menyaksikan kejadian tersebut. Kerumunan tercipta seketika, tidak hanya mengerubungi jasad Tubruk yang tak berbentuk lagi, tetapi pula sepuluh jasad siswa lainnya.
Tidak jauh dari situ, foto Vanilla terjatuh di atas teras koridor. Sepasang sepatu hitam menapak di dekat, kemudian tangan si pemilik memungut foto itu. Robusta memandangi benda yang diambil, selanjutnya memasukkan ke dalam saku celana. Lelaki tersebut berjalan pergi.
###
17 Juli 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top