35. Preanger-2
Saat itu adalah peristiwa nan menegangkan. Tidak ada yang menyangka bakal terjadi insiden semacam itu di Perbukitan X. Preanger benar-benar terpukul. Apakah benar masa depannya terancam terenggut? Prempuan berambut panjang itu tak bisa membayangkan apa-apa lagi. Dia terlalu takut.
Beberapa hari kemudian, di tempat kerja pribadi nan rahasia, Preanger didatangi oleh Robusta. Entah bagaimana si ketua kelas mengetahui lokasi itu, yang lebih ganjil lagi ialah dia datang dengan wajah amat serius lagi mengerikan. Atau … ? Ah, ekspresinya sulit dibaca.
“Preanger, apakah robotmu sudah jadi?”
“Eh? Ah, iya, sudah. Tapi, aku belum memasukkan daftar targetnya. Ada apa, Ketua?”
Preanger menunjuk sesuatu di pojok seukuran tong sampah yang dibalut kain putih.
“Aku minta kamu masukkan daftar para target ini ke dalam datanya.” Robusta menyodorkan flashdisk. Preanger pun menerimanya, menghubungkan ke porta, kemudian menyalakan monitor. Mata perempuan itu terbelalak.
“Ketua! Ini ‘kan daftar siswa kelas 2-E!”
“Iya,” jawab Robusta.
“Tunggu, apa Ketua bermaksud membunuh kita semua dengan robot ini?”
“Tidak, jika semuanya berjalan dengan lancar. Ini adalah untuk jaga-jaga apabila terdapat kendala atau masalah. Bukankah tidak semuanya bisa menerima kematian dengan mudah?”
Preanger tampak berpikir. “Jadi maksud Ketua, jika ada orang yang tidak menerima kematian, kita harus mengeksekusinya dengan robot ini, begitu?” Robusta menganggut lagi.
“Tunggu, bukankah Ketua bilang bahwa kita hanya akan membunuh iblis yang menyamar menjadi manusia?”
“Preanger, seharusnya kau sadar bahwa kita semua adalah iblis.”
Perempuan di hadapannya terlihat bimbang, dia menimbang-nimbang berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Preanger mengacak rambut kusut panjangnya.
“Ya ampun, Ketua. Ini begitu sulit. Maksudku, beri aku waktu untuk menerimanya. Tunggu sampai sore nanti.”
***
Alangkah baiknya jika Preanger segera memberitahukan keputusan secara langsung. Namun, karena ada kendala, dia harus menunda hingga pagi hari. Perempuan itu berencana mengatakan nanti di sekolah. Robusta mengangguk menerima jawaban darinya.
Pada hari itu pula, orang-orang tampak sibuk. Salah satu perempuan cantik berambut panjang, Vanilla, mengajak Preanger untuk ikut serta dalam acara besok. Preanger hanya bisa menganggut, menerima tawaran itu. Ada bagusnya melakukan penyegaran diri setelah segala hal buruk yang menimpa.
“Baiklah.” Dalam hati, Preanger merasa senang orang lain masih menginginkan bantuannya untuk melakukan hal yang bermanfaat. Keberadaan Preanger dibutuhkan dalam sistem sosial bermasyarakat. Namun, dalam alam bawah sadarnya, terdapat keinginan untuk menciptakan katastrofe.
***
Keesokan harinya, kegiatan belajar-mengajar ditiadakan. Wajar, sekolah sedang merayakan hari ulang tahun. Festival diadakan di lapangan indoor nan luas. Semua orang terlihat sangat sibuk saat itu. Tiap kelas diminta menjajakan menu tradisional, untuk kemudian dijual di tempat tersebut.
“Preanger, mohon bantuannya, ya.” Milk dan Milkshake menyiapkan makanan dan minuman yang akan dijajakan di stan kelas 2-E.
Preanger memandang dengan tatapan ragu. “Kalian, apakah kalian tidak merasa takut? Maksudku, mengingat kejadian itu ….”
Milkshake berkata dengan enteng, “Selagi kita masih punya waktu, kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin dengan menjalani hidup seperti biasa.”
“Iya, santai saja, Preanger. Giliranmu masih lama. ‘kan? Penuhi keinginanmu selagi masih ada waktu,” sahut Milk.
Preanger cuma bisa tersenyum kikuk, matanya memandang ke bawah. Mungkin ada benarnya juga perkataan mereka, mungkin pula tidak.
“Aku hanya ingin bisa bermanfaat bagi orang lain.”
Vanilla pun datang bersama beberapa orang. Mereka semua yang kebagian tugas untuk menjaga stan. Akhirnya makanan dan minuman yang akan dijajakan telah siap, tertata dengan baik di meja stan.
Preanger dan teman-teman terpukau memandang menu buatan kelas 2-E. Pertama, biji salak yang diberi repih warna-warni sehingga tampak bercampur tidak rata. Kedua, onde-onde warna merah isi jem stroberi. Ketiga, susu kocok dengan topping berupa es yang dipecah menjadi kepingan-kepingan kecil. Masing-masing nama menu tersebut ialah Biji Dinosaurus, Onde-Onde Venus, dan Milkshake Berlian.
“Bukankah namanya terlalu norak?” protes salah satu orang.
“Tidak apa-apa, biar sama seperti kelas lainnya.”
“Yang ini namanya sama sepertimu.” Ingin Preanger tertawa mendengarnya, tetapi karena tidak ada satu pun yang tertawa, maka dia mengurungkan niat.
“Hei, lihat, ada yang mau beli!”
Festival telah dimulai, setiap kelas bersiap untuk melayani para pembeli yang berkeliaran di lapangan indoor. Kerumunan ramai tercipta seketika, mengerubungi meja stan 2-E. Preanger dan teman-temannya kelabakan memenuhi setiap pelanggan yang ributnya minta ampun.
Kemeriahan mewarnai festival tahun ini. Para warga sekolah antusias ikut meramaikan. Tidak ada kegembiraan sebaik momen sekarang. Orang-orang membeli makanan dan minuman yang berhasil menarik perhatian mereka. Di sela kesibukan menyervis pelanggan nan bergerombol akibat strategi pemasaran yang kelas 2-E gunakan, Preanger merasa senang bisa bermanfaat bagi lainnya. Dia tersenyum bangga, tak pernah membayangkan hidup bisa semenyenangkan begini. Preanger merasa amat bahagia.
Saat itulah, secara tidak sengaja, malapetaka dimulai.
Di dalam ruang kerja pribadi milik Preanger, benda di balik kain putih melayang beberapa senti dari lantai. Robot telah aktif, lampu pada mata bersinar. Layar pada badannya menyala, menampilkan satu per satu potret murid kelas 2-E secara acak, kemudian terpilihlah target pertama: siswi bernama Excelsa.
Jet di bagian belakang menyala, timbul api kecil. Robot itu langsung terbang keluar ruangan, menuju spot tersembuyi nan cocok yaitu atap gedung perpustakaan yang dekat dengan lapangan indoor. Atap galvalum tak menghalangi akurasi serta presisi bidikannya. Gambar pada layar berubah seiring target selesai dihabisi.
Tembakan pertama terdengar. Orang-orang di bawah sana langsung berlari terbirit-birit.
Preanger melihat seorang perempuan berambut pendek yang dia kenal, jatuh tertembak di dahi. “Excelsa!” Dia harus jongkok berlindung di bawah meja stan, sementara para siswa lain lari tunggang-langgang. Preanger tidak tahu dari mana tembakan berasal.
Letusan senjata api muncul lagi, satu siswi tumbang. “Liberica!”
Tembakan berikutnya mengenai siswi model kepang. Tembakan selanjutnya memakan korban seorang perempuan berambut pendek. Tembakan lagi-lagi menyerang siswa berkulit pucat. Tembakan menyambar laki-laki di samping Vanilla. Tembakan berulang menimpa siswa berkacamata, siswa lain lagi, siswi lain lagi.
Kala itulah, Preanger menyadari. “Ro-bot … ?” gumamnya.
Perempuan tersebut tersentak, mengetahui bahwa ini semua adalah ulah robot buatannya sendiri. “Tapi, bagaimana … ?” Dia teringat, ketika memasukkan data dari flashdisk Robusta, terdapat suatu eror yang tidak dia pentingkan. “Jangan-jangan … ?”
Ini semua salah Preanger.
Teman-temannya mati karena kesalahan kecil yang dia lakukan, fatal, membawa kepada suatu malapetaka.
Preanger terbata-bata, menjadi latah, mengucapkan kata-kata tak jelas. Mata terbelalak, pupil menyempit, napas memburu, badan gemetar. Perempuan berambut panjang kusut itu bangkit berdiri, dengan langkah sempoyongan berjalan menuju tengah lapangan indoor. Walau Vanilla dan orang-orang berteriak untuk mencegahnya, Preanger tetap bergerak. Di tengah lapangan yang penuh mayat siswa, Preanger tertembak, dahinya bolong. Jasad si perempuan tumbang, tertiarap di atas lantai semen.
Robot di atap gedung perpustakaan tiba-tiba berhenti. Perintah pada layarnya setop. Tak mendapat tugas lagi, robot itu terbang menjauh dari sana, menuju suatu tempat.
###
17 Juli 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top