34. Preanger-1
Bab ini di-private karena mengandung jawaban misteri. Harap follow dulu supaya bisa baca!
Enggak, deng. Kan fitur private dah dihapus h3h3
Dengan begitu, selamat membaca!
###
Gerombolan ikan mas juvenil berenang bebas di dalam akuarium raksasa. Gelembung melimpah tercipta, naik menuju permukaan, kemudian lenyap. Bak kaca tersebut terletak di tengah ruangan putih, dilingkungi alat-alat laboratorium.
Ruangan laboratorium nan dipenuhi peralatan modern itu dihadiri oleh sejumlah laboran yang tengah bekerja. Beberapa orang dewasa mengelilingi seorang anak perempuan kecil berpakaian jas lab. Sebagian orang memonitor, lainnya mengobservasi dan mencatat data.
Anak perempuan berusia sekitar lima tahun itu tengah merancang sebuah robot sederhana. Motor ditempeli logam, kemudian dihubungan ke baterai dengan kabel, ujung positif dan ujung negatif disambungan dengan benar, dimodifikasi sedemikian rupa dengan diselubungi plastik serta karton.
“Sudah jadi!” Anak itu tersenyum puas melihat robot buatannya bisa bergerak karena motor mendapatkan arus listrik dari baterai.
Sejumlah orang dewasa bertepuk tangan kecil, berseru senang. “Wah, selamat, Preanger! Kau berhasil membuat robot purwarupamu sendiri!”
Laboratorium kala itu menjadi saksi bisu lahirnya seorang ilmuwan muda nan genius.
Sekaligus, pembawa petaka.
***
Anak perempuan bernama Preanger tersebut menjadi terkenal di kalangan pekerja laboratorium. Si Genius Muda. Di umurnya yang menginjak sepuluh tahun, berpuluh karya telah dia ciptakan. Karya di bidang mekanika, robotika, informasi-teknologi, dan lain-lain. Meski begitu, karena dia dibesarkan di lab, hasil pekerjaannya tidak dipublikasikan di media massa.
Preanger tumbuh menjadi remaja yang senang berkesperimen. Namun, karena kebiasaannya pantang mundur sebelum tuntas, dia jadi suka bergadang. Mainnya juga di sekitaran laboratorium. Kulit perempuan itu putih pucat, badannya kurus, rambut rona abu-abu kusut, serta kantung mata berlapis.
“Dik Preanger, bagaimana rancangan robot buatanmu?”
“Eh? Ah, sedang progress, Kak!”
Basa-basi sehari-hari di sana serasa tingkat tinggi saja, tiap waktu membahas topik seputar sains. Mereka tidak bosan apa? Sesekali, berpakansilah! Atau, menghirup udara segar di tempat wisata. Yang mereka pikirkan hanya proyek dan proyek. Atau barangkali, alasan manusia hidup. Hal yang diincar ialah memenangkan penghargaan Nobel, tentunya.
Suatu hari, saat Preanger sedang mengerjakan proyeknya, beberapa orang dewasa asing berkunjung. Remaja perempuan itu mungkin belum tidur, menggunakan baju favorit yang dibalut jas lab. Di dalam ruang kerja, Preanger tiba-tiba telah didatangi oleh sejumlah pria dewasa berpakaian formal, sehingga harus menghentikan aktivitas.
“Maaf, ada apa ini?” Preanger, tentu, tak suka pekerjaannya diganggu.
Satu pria pekerja lab yang Preanger kenali maju ke depan. “Preanger, ini Pak Lupine dari Pihak Kemiliteran. Beliau ingin bertemu denganmu.”
Seorang pria paruh baya berbadan tegap menjadi pusat perhatian. Tingginya sekitar seratus delapan puluh derajat. Barangkali beliau rajin melakukan binaraga. Dahulu. Sekarang, otot sedikit kendur, perut cukup sintal. Pria berwajah tegas tersebut mendekat dengan langkah tandas.
Beliau mengulurkan tangan. “Salam kenal, Preanger. Saya Lupine, panggil saja Pak Lupine.”
Preanger hanya melirik tangan yang kedang kepadanya. “Ada perlu apa dengan saya?”
“Apakah kamu tertarik untuk masuk sekolah di luar sini?”
Pria tersebut menunjukkan senyum penuh tanda tanya. Apa yang orang ini inginkan, tiba-tiba datang kemari? Dalam waktu lama, Preanger menatap. Pak Lupine benar-benar sabar menunggu respons darinya. Preanger tersenyum miring.
“Huh. Saya tidak perlu sekolah. Saya bisa mempelajari berbagai ilmu di sini. Lagi pula, lingkungan luar tidak baik untuk tubuh saya. Kulit saya tidak tahan terkena sinar matahari.”
“Ikutlah saya. Saya memiliki sekolah yang akan membuatmu tak bisa berkata apa-apa lagi. Orang-orang di sana jauh lebih hebat dan beragam. Kamu bisa mempelajari banyak hal di luar sana. Kamu juga ingin tahu bagaimana rasanya dunia luar, ‘kan?”
Tiga alasan yang dibuat-buat dalam waktu singkat menjadi pertahanan nan cukup lemah dalam melawan presensi asing di hadapan. Preanger tak tahu apakah serangannya barusan berhasil atau tidak, tetapi pria di depan menyeringai dan cengar-cengir, membuat si perempuan bergidik. Apa yang lucu? Ternyata orang ini membujuk dengan cara yang tidak dia duga! Preanger menjadi ingin ikut keluar, setidaknya merasakan bagaimana kehidupan di luar sana yang menurut cerita para pegawai lab sangat-sangat berbeda dengan kehidupan di dalam lab.
Preanger tak bisa menyembunyikan wajah yang menyiratkan keraguan. Namun, sebisa mungking dia menjawab dengan tegas, “Baiklah, saya menerima tawaran Bapak. Saya harap Bapak bisa menepati janji Bapak.”
Seringai tajam seolah-olah menyala-nyala di wajah Pak Lupine.
***
Ajakannya berhasil. Pak Lupine selalu berpikir positif. Kini anak perempuan yang potensial untuk kelasnya telah di genggaman. Selagi beliau mengurus berkas-berkas nan diperlukan, Preanger diminta menunggu di dalam suatu bilik kantor--mungkin kantor beliau.
Preanger mengenakan rok dan jaket bulu tebal, padahal cuaca di luar sedang terik panas. Perempuan itu tak tahu harus melakukan apa, jadi dia hanya berdiri menyender tembok, membawa tas jinjingnya.
Jikalau tak salah, Pak Lupine sebelumnya berkata akan ada seseorang yang berkunjung, dan dia diminta berkenalan. Kira-kira siapakah yang dimaksud? Ah, panjang umur. Seorang remaja laki-laki yang mungkin seumuran, memakai seragam SD negeri, celana saja, bajunya kaus oblong warna hitam. Lelaki tersebut masuk tanpa permisi, mengingat pintu terbuka, seperti kegirangan ketika berjumpa Preanger.
Apakah Pak Lupine harus pergi meninggalkannya berdua dengan orang asing lagi aneh ini?
Laki-laki tersebut berjingkrak-jingkrak, berputar, menari riang semacam senam, seraya menyerukan kata-kata yang tak Preanger mengerti. “Hore! Jadi ini orang yang bisa mendesain robot itu? Wah! Salam kenal, ya!” Dia berhenti bertingkah, kini mengulurkan lengan dengan memberi tatapan misterius.
Preanger syak menjabat tangannya. “Oh, iya. Salam kenal … ?”
“Namaku Robusta. Kamu?”
“Preanger. Senang berkenalan denganmu.”
Remaja laki-laki bernama Robusta itu tersenyum--senyum dengan makna apa itu? “Hei! Buatkan aku robot, mau?”
Ah, sekarang dia ingin Preanger melakukan hal dia biasa lakukan. Preanger tidak keberatan dengan permintaan semacam itu, tetapi ada kejanggalan yang tidak bisa dia temukan.
“Eh? Boleh sih. Robot seperti apa yang kamu mau … ?”
“Hmmm …. Mari kita lihat … robot yang bisa membunuh orang dengan urutan yang bisa ditentukan--ah, atau urutan acak?--yang penting bisa melakukan pembantaian dengan memasukkan data para target. Dan, robot itu hanya bisa diaktifkan olehmu saja. Bagaimana? Apa terdengar ekstrem?”
Sungguh tidak masuk akal. Anak ini meminta dibuatkan robot semacam itu? Biasanya orang-orang akan meminta robot yang membantu meringankan pekerjaan manusia, tetapi ini … ?
“Eh? Hah? Kenapa aku harus membuat robot untuk membunuh manusia?”
Robusta menepuk kepalanya, seakan bertingkah lupa. “Ah! Aku lupa bilang. Kita bukannya akan memburu manusia. Kita memburu iblis yang menyamar sebagai manusia.”
Preanger mengernyitkan alis, berhati-hati menerka maksud. “Maksudmu … manusia berhati jahat?”
“Benar, seperti itu. Bagaimana?”
“Ya, aku bisa, tapi jawab pertanyaanku dulu. Sebenarnya apa sekolah ini?”
Robusta sedikit terkejut, tetapi ekspresinya dia ubah lagi menjadi makin sulit dibaca. Senyum miring terlukis pada wajah lelaki itu. Matanya menatap tajam seakan-akan mengilat di bawah penerangan lampu ruangan.
“Sekolah rahasia militer.”
***
Setelah bergabung dengan dunia baru, dan sekolah di tempat terpencil ini, Preanger bisa belajar banyak hal. Tidak hanya melulu soal sains dan seputarnya, tetapi juga sosial dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Menuntut ilmu di Sekolah Satu Atap, berada di kelas 2-E, bertemu anak-anak sebaya yang memiliki latar belakang bermacam-macam.
Pengalaman pertama Preanger bertemu Robusta benar-benar sulit terlupakan. Sedikit memalukan, ingin dia hapus ingatan itu, tetapi entah mengapa tidak bisa. Robusta ternyata memiliki kecakapan sebagai ketua, sehingga teman-teman menunjuknya sebagai ketua kelas. Preanger yang bukan siapa-siapa hanya bisa bertepuk tangan, ikut senang.
Selama sekolah, Preanger memanfaatkan waktu luang untuk mengerjakan proyek yag diminta Robusta. Ah, sekarang dia harus memanggilnya Ketua. Baru setengah proses. Panjang masa berlalu, tak terasa Preanger sudah kelas 2 saja. Robot buatannya sudah jadi, berbentuk bulat lonjong, seukuran tong sampah, warna putih. Preanger memberikan fitur wajah berupa sepasang mata elips serta garis panjang di bawahnya sebagai mulut. Uniknya, robot tersebut bisa melayang melawan gravitasi karena memiliki medan magnet yang tercipta di sekitarnya. Benda itu pula dapat terbang dengan menggunakan jet.
“Robot ini memiliki cara kerja seperti sniper. Ketika diaktifkan olehku dengan cara tertentu, robot ini akan mencari spot tersembunyi yang cocok untuk menembaki para targetnya dalam waktu singkat. Setelah misinya selesai, robot akan segera pergi kembali ke tempat asalnya. Ah, sekali diaktifkan, robot tidak bisa dihentikan sampai misi selesai. Kecuali, jika aku mati.”
Preanger menjelaskan dengan baik dan gestur apik, ditambah ilustrasi pada papan tulis. Robusta mengangguk-angguk paham.
###
17 Juli 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top