33. Smoothies-2

Langit seolah-olah paham bagaimana caranya turut berbelasungkawa. Awan mendung menyelimuti angkasa, begitu gelap hingga mentari tak tampak. Orang-orang berkabung, berkumpul di rumah duka. Pemakaman Strawberry akan segera dimulai.

Remaja belia itu dikebumikan dengan layak, dikubur di permakaman umum. Kerabat, sanak saudara, handai tolan, semua berduka cita atas kematian siswi Sekolah Satu Atap tersebut, apalagi almarhumah merupakan bintang idola di sekolah.

Smoothies menangisi peti mati kakak kembarnya. Keluarga serta teman-teman mencoba menenangkan, berkata untuk bersabar. Namun, perempuan itu tetap saja histeris, tak terima dengan kematian sang saudari.

Tubruk harus melakukan sesuatu. Jika tidak, semuanya akan terlambat. Kalbu sang pujaan hati mulai hancur keping demi keping.

***

Semuanya harus bahagia. Setidaknya, teman-teman di kelas 2-E. Hari ini akan ada perayaan spesial. Setelah pulang sekolah, para siswa kelas itu menyiapkan segala keperluan. Meja dan kursi didorong mundur, ditata di belakang. Pintu dan jendela dihias dengan pita serta balon, juga di bagian langit-langit serta tembok. Pada papan tulis terpampang tulisan “Selamat Ulang Tahun, Strawberry dan Smoothies!”.

Padahal, Strawberry sudah mati.

Para laki-laki membantu membersihkan kelas; menyapu dan mengepel lantai, mengilapkan jendela dengan lap dan kemoceng, membuang sampah; sedangkan para perempuan bertugas memperelok kelas; memasang dekorasi dan pigura ke dinding, menempel ornamen, menggantung hiasan. Sementara itu, kejutan istimewa sudah dipersiapkan di tempat lain.

Para siswa 2-E kegirangan menuntun Smoothies yang ditutup matanya dengan kain, menyusuri koridor kelas. Mereka menyoraki Smoothies supaya terus berjalan, tidak usah bertanya mengapa. Kehebohan tersebut seketika membuat kelas lain penasaran.

Kode yang diberikan salah seorang membuat para siswa di dalam kelas menjadi kelabakan, segera menyelesaikan pekerjaan sebelum si bintang utama muncul. Orang-orang menggiring Smoothies memasuki kelas. Ketika kaki perempuan berambut ikal itu menapak lantai ruangan, penutup matanya dibuka. Smoothies membelalakkan mata tak percaya, berekspresi haru. Dia menangkup mulut dengan kedua tapak tangan.

“Teman-teman, ini … terima kasih banyak!”

Mata Smoothies berbinar-binar, raut mukanya berseri-seri.

“Smoothies, juga untuk Strawberry, selamat ulang tahun!”

Lagu “Selamat Ulang Tahun” pun dinyanyikan oleh semua temannya. Tubruk membawa tar masuk, lilin menyala di atasnya. Kue pun dipotong, lalu dibagikan ke orang-orang.

Smoothies merasa dirinya perempuan paling bahagia di dunia ini.

Namun, bayang-bayang kakaknya selalu menghantui.

Strawberry selalu nomor satu di mata semua orang. Di mata orang tua mereka, hanya Strawberrry yang berhasil menjadi anak sukses, memerankan model majalah sekaligus sebagai bintang idola di sekolah. Sementara Smoothies? Hanya produk gagal. Di mata teman-teman, Smoothies hanyalah adik yang selalu merengek dan bersembunyi di balik punggung kakanya. Di mata publik, Smoothies cuma sampah masyarakat yang bahkan tak layak didaur ulang.

Hanya Tubruklah yang mau menerima dirinya apa adanya. Namun, entah mengapa lelaki itu diam-diam bermain lakon di belakang panggung. Dengan bangga, Tubruk mengatakan di depan teman-teman kelas bahwa dia berpacaran dengan Strawberry. Padahal Tubruk sudah punya pacar, yaitu Smoothies. 

Apa maksudnya ini? Smoothies sudah bertanya, tetapi Tubruk berkata bahwa itu hanyalah main-main belaka. Semuanya akan dijelaskan di akhir nanti. Kapan? Smoothies tidak tahu pasti. Lagi-lagi bayangan kakaknya yang sudah tewas, melepuh dalam bak air mandi, terngiang kembali.

Usai pesta, Smoothies mengalami nausea. Di bilik kamar mandi, perempuan itu menjulurkan kepala mendekati kloset, menjeluak. Tangannya harus menahan rambut ikal supaya tak berjuntai. Dari dalam mulut, mengalir keluar cairan bubur kekuningan bercampur gumpalan-gumpalan. Air dalam kloset berubah warna menjadi keruh, dipenuhi hasil melilah. Suara erangan menyakitkan menusuk pendengaran.

Smoothies mendongakkan kepala. Raut mukanya benar-benar mengenaskan.

***

Tubruk membanting pintu keras-keras. Mata lelaki itu mencari dengan liar, tetapi tak menjumpai seseorang di dalam kamar tidur nan feminin. Tubruk berbalik tergesa, berlari macam orang kemasukan, menyusuri tiap sudut isi rumah, lamun tak menemukan hal yang dicari.

“Smoothies, di mana kamu!”

Sudah kian kemari mencari, Tubruk tak kunjung menjumpai Smoothies. Di rumahnya, di taman kesukaannya, di sekolah, semua nihil. Tubruk tidak tahu lagi harus mencari ke mana. Lelaki itu meremas kedua pelipis, duduk pada sembarang tempat. Saat itulah, gawai yang dia bawa berdering.

Nomor telepon umum tersambung.

“Tubruk, ini aku, Smoothies. Aku hanya ingin mengucapkan kata-kata terakhir kepadamu. Tidak apa-apa, ya, lewat sini?”

Tubruk sontak terkesiap. Dia langsung bangkit dan berlari. “Tidak, Smoothies--tidak! Jangan pergi! Jangan! Aku mohon, jangan sekarang! Smoothies … !”

“Tubruk, maafkan aku. Seharusnya aku tidak melakukan ini. Tapi, aku sudah tidak tahan lagi. Aku tidak kuat. Aku harap kamu mengerti, ya?”

“Tidak! Aku tidak mau! Smoothies, kumohon!”

Ingatan silam kembali bergulir dengan ganas. Pada suatu koridor sekolah, Tubruk dan Smoothies saling berhadapan, berpegangan tangan. Tubruk memohon kepada perempuan itu supaya selalu bersamanya, jangan pergi ke mana-mana, selalu ada untuknya. Namun, si perempuan menggeleng pelan, meminta kepada Tubruk agar bersikap tegar, jangan putus asa, dan harus mandiri meski Smoothies tidak ada. Ingatan pun berakhir.

“Smoothies, kumohon! Jangan pergi! Smoothies … ! Tidak! Tidak! Tidak! Bukannya kita sudah berjanji untuk selalu bersama selamanya! Smoothies, jangan tinggalkan aku sendiri!”

“Tubruk, kumohon. Relakan kepergianku, ya?”

"Tidaaak! Jangan pergi!"

"Tubruk kumohon, mengertilah."

"Aku tidak mengerti! Aku tidak mengerti!"

Pada suatu rumah nan terbengkalai, Tubruk masuk, berlari macam kesetanan, lalu berhenti, mematung. Dia menemui pada salah satu bilik terdapat Smoothies yang mengenakan gaun putih, tergantung pada langit-langit oleh tali tambang.

“Tubruk, inilah saat terakhir kita berbincang. Aku ada pesan untukmu. Tubruk, bersemangatlah! Jangan pernah menyerah! Bantu semua teman-temanmu untuk memenuhi tugas mereka! Jangan menangis! Kamu laki-laki, ‘kan? Jadilah anak lelaki yang berani dan gagah! Aku akan selalu mengawasimu dari sini, menanti kedatanganmu. Ah, di sini gelap. Aku seperti bertemu dengan kakakku. Selamat tinggal, Tubruk! Aku mencintaimu! Kau pasti juga mencintaiku, benar, ‘kan!”

Seketika, suasana rusuh tercipta dari dalam rumah. Benda-benda dilempar lalu terjatuh, beling berpecahan, kayu hancur serta remuk. Suara teriakan melengking. Tebasan, pukulan, juga entakan terdengar bising. Tawa dan tangis bergantian, jeritan getir bergemuruh. Gumam tak jelas penuh nada kecewa memasuki pendengaran. Laung panjang mengakhiri keributan, diikuti rintihan bercampur tangisan.

###

17 Juli 2020

William memiliki samtin untuk dikatakan:

Tolong aku gak pengen nulis bucin lagi--
Ini terlalu gaje oi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top