30. Strawberry-1
Kita tidak bisa memilih takdir yang kita ingingkan, pun nasib yang kita harapkan. Kita hanya bisa berjalan melalui arus, menerima segala rintangan yang menghantam. Namun, kali ini, kami, murid-murid 2-E, akan melawan takdir secara nekat. Rencana ini pasti berhasil, itulah yang ada di pikiran kami saat itu.
Kesuraman menguasai ruang kelas. Cuaca terik menjelma sebagai spektator dari luar. Kipas di langit-langit menemani suasana tegang. Daun pintu ditutup, jendela nako dikatup. Tiada satu pun intervensi diizinkan.
Setiap siswa sudah menerima gulungan kertas, satu orang satu. Strawberry menatap nanar benda kecil di tangannya. Selepas aba-aba diberikan, semua siswa serempak membuka kertas. Strawberry sekali lagi memandang nanar benda kecil di tangan. Angka 1 tertera dengan jelas.
***
Menjadi model kecantikan adalah cita-cita Strawberry. Tidak, jika kedua orang tuanya tak memberi jalan. Maka, di umur enam tahun, Strawberry melakukan hal yang paling diinginkan anak korban dari rumah tangga berantakan.
Singkat cerita, Strawberry tumbuh menjadi remaja nan cantik lagi anggun, memiliki pesona untuk memikat siapa pun yang memandangnya. Bersekolah di tempat terpencil dan berada di kelas 2-E, pamor si perempuan cantik tak lantas berkurang. Justru, malah makin bersinar. Orang-orang di sekolah terkesima akan kecantikannya, siswa seangkatan, siswa angkatan atas, siswa angkatan bawah (nanti setelah dia naik kelas), guru, karyawan tata usaha, office boy, tukang kebun, dan lainnya.
Masuk sekolah perdana, Strawberry sudah ditawari menjadi wakil ketua kelas. Ketua kelas adalah laki-laki--memang sewajarnya begitu--memiliki postur tubuh terbilang pendek dan punya rambut poni. Bisa dikatakan, keduanya adalah pasangan yang cocok. Robusta berkarakter cekatan, peduli, dapat dipercaya, tetapi tidak banyak bicara dan keterampilan public speaking-nya belum banyak. Sementara itu, Strawberry merupakan komplementer, dia menyokong si ketua kelas, dengan pesonanya sebagai bintang idola sekolah serta keterampilan berbicara di depan umum, Strawberry benar-benar membuat kelas 2-E seolah-olah sempurna di mata orang lain.
“Strawberry, maukah kau menjadi--”
Suatu hari, seorang laki-laki dari kelasnya menyatakan perasaan kepada Strawberry. Ah, sama seperti sebelum-sebelumnya. Maksudnya, hei, dia itu cantik. Pasti banyak lawan jenis yang ingin menjadi kekasih. Namun, entah mengapa, bukannya menolak seperti sebelum-sebelumnya, karena ada “sesuatu”, Strawberry mau tak mau harus menerima perasaan tersebut. Walau palsu pun. Walau pura-pura pun. Strawberry terpaksa menjadi kekasih Tubruk.
Tubruk mengetahui rahasia masa kecil Strawberry yang telah dia kubur dalam-dalam.
Latar yang diatur ialah lorong sekolah nan sunyi, tiada presensi orang lain. Dua remaja itu beriringan, kemudian tiba-tiba si lelaki berjalan dahulu dan menghadang di depan si perempuan. Tubruk menyatakan cintanya.
“Strawberry, maukah kau menjadi pacarku?” tawar Tubruk.
Perempuan berambut hitam panjang lurus itu memandang heran. “Kenapa tiba-tiba?”
“Karena orang-orang di kelas ingin kita berpacaran!”
“Kenapa kamu beranggapan begitu?”
“Ayolah, semua orang tahu aku sedang melakukan PDKT denganmu!”
“Baiklah, kuterima pernyataan cintamu … dengan satu syarat.” Strawberry mendekatkan wajahnya.
***
Laju sekali bus yang menyusuri jalan perbukitan pada siang hari nan damai. Pepohonan di tepi menuntunnya agar terus melalui jalur lurus tanpa henti. Bus itu terlihat besar serta memiliki model yang tidak biasa, semua sisi samping jendela tertutup oleh lapisan biru gelap dari dalam.
Seorang sopir mengemudi di kursi depan--pria paruh baya berpakaian formal yang merupakan Pak Lupine. Penumpang bus merupakan siswa kelas 2-E yang duduk dengan tenang, mengobrol dengan teman sebangku, bermain gawai, atau mungkin terlelap.
Strawberry terdiam menyenderkan kepala pada kursi, matanya terpaku pada langit-langit bus tempat lubang AC terbuka.
Tiba-tiba, laju bus terhenti mendadak. Para penumpang pun mengalami inersia bahwa badan mereka terdorong ke depan secara paksa, kemudian ditarik paksa kembali terhadap tempat duduk. Pak Lupine hampir terhantam wajahnya bila tidak berpegang erat pada kemudi. Para remaja di dalam bus berdesas-desus tak tentu, dan mereka yang awalnya terlelap kini membuka mata lalu memperhatikan sekeliling.
“Apa yang terjadi?” Strawberry bersoal pada Robusta yang lewat. Laki-laki yang ditanyai menoleh, kemudian menggeleng. Dia lanjut berjalan maju sampai kursi sopir.
Lelaki beriris hitam itu terlihat berdebat dengan Pak Lupine, kemudian sedikit geram dan melakukan gestur tangan seakan menuntut sesuatu kepada wali kelas tersebut. Robusta, juga beberapa temannya yang mengetahui secuil situasi ini, merasa tak percaya atas apa nan terjadi.
Salah satu remaja menyarankan Robusta duduk kembali ke kursinya. Lelaki berambut hitam model poni itu agak enggan, tetapi menurut. Strawberry benar-benar tak tahu apa yang sedang terjadi.
Pak Lupine berdiri, menghadap kepada para muridnya. Pria tegap tinggi berbadan sintal tersebut bermuka gelisah, menyalakan megafon seraya berkata dengan nada keras.
“Anak-anak 2-E, kita--kita telah memasuki daerah terlarang … Perbukitan X ini merupakan daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi ….”
Pengumuman berikutnya membuat tiap-tiap siswa bergidik ngeri, terbelalak tak percaya, diam bersicengang, mengeluarkan sumpah seranah, menangis, meratap.
Perintah untuk menenangkan diri pun tak berguna.
“Dengan berat hati … saya menyatakan bahwa ini … adalah sebuah kegagalan ….”
***
Sejak insiden tersebut, Robusta mengalami perubahan yang aneh. Dia semakin sering berdiam diri, melamun, emosinya selalu turun. Strawberry berharap keceriaan pada lelaki itu tak lantas memudar.
Malam itu, di Sekolah Satu Atap, Strawberry dan teman-teman sekelasnya bersiap diri di suatu lorong yang hanya ditemani penerangan lampu. Mereka mengenakan jubah bertudung gelap, didominasi warna hitam, sepatu bot, sarung tangan, serta masker. Para remaja tersebut bermuka muram, karena jumlahnya banyak, tampak seperti kerumunan pemuda yang seakan hendak merencanakan gerakan pemberontakan--itu jika di rezim pemerintahan dahulu.
Seseorang nan dinanti akhirnya tiba juga. Robusta datang dari ujung koridor, mengeret karung goni nan besar. Entah apa sesuatu yang ada di dalam. Teman-teman memandang gugup sosok nan makin mendekat.
“Akhirnya Ketua datang juga. Aku harap Ketua menepati janjinya,” tutur salah satu remaja yang rambut depannya menutupi sebelah mata--Espresso.
Robusta sampai di kerumunan teman-temannya. Lelaki berjubah gelap itu mencampakkan karung goni, menghantamkan terhadap daun pintu yang merupakan pintu Ruang Tata Boga. “Tentu, aku menepati janjiku.”
Mulut karung tersibak. Terungkaplah sesuatu yang ada di dalamnya. Seonggok tubuh pria paruh baya nan besar tinggi, berlunjur kaku dengan kulit pucat, wajah sayu, mata menutup. Sontak para remaja berseru tercengang.
“Bohong—apa dia sudah mati?”
“Tidak, aku tidak mau melakukan ini--”
“Wah, ini akan jadi seru … !”
Espresso memperhatikan aksi Robusta yang melepas karung dari jasad pria yang mengenakan seragam guru itu. “Hei, kenapa Pak Lupine sudah mati?”
“Tidak masalah. Asalkan kita bisa membuat bukti fabrikasi, kita semua akan aman.” Remaja berkulit sawo matang--Zinc--berujar.
Strawberry maju dan bersimpuh untuk memeriksa tubuh di depan pintu. Lupine, nama yang tertera pada name tag baju pria tersebut. Perempuan cantik itu melepas sarung tangan lalu menyentuh kulitnya. Dingin, rasa yang nyata. Strawberry memasang sarung tangan kembali, memandang pilu sekaligus khawatir jasad Pak Lupine.
Wahai Pak Lupine. Ini adalah konsekuensi dari kewajiban yang beliau tinggalkan. Beliau tidak bertanggung jawab atas masa depan para murid 2-E yang telah terenggut akibat kesalahannya. Beliau malah mengucilkan murid-muridnya dan justru bersembunyi di tempat yang sulit ditemukan. Robusta sebagai anak kesayangannya tentu sudah tahu di mana beliau merondok.
Apakah dosa besar yang telah diperbuat pria ini sehingga Robusta harus--tunggu dulu ….
“Bunuh diri--!” pekik Strawberry, menyadari sesuatu nan ganjil pada jasad di depannya. Terdapat bekas jerat yang melingkari leher.
“Pengecut ini mengakhiri hidupnya tepat sebelum aku memergokinya. Sungguh dramatis, bukan? Sini yang ingin mengakhiri hidupnya, tetapi malah dia yang duluan mengakhiri hidupnya sendiri.” Robusta berkata dengan enteng seolah mewajarkan hal yang telah terjadi.
Suara tamparan tercipta seketika.
Robusta membatu, tak berkutik atas perlakuan Strawberry--yang kini memandangnya geram. “Kenapa kau ini?! Seharusnya sebagai Ketua, kau melakukan yang terbaik! Sekarang lihat dirimu! Kau benar-benar tidak waras! Kendalikan dirimu, Ketua!”
Robusta mengertakkan gigi, balas menatap Strawberry dengan muka murka. “Memangnya kenapa kalau aku tidak waras, hah?!”
Teman-teman yang menonton merasa harus melakukan sesuatu. Ini bukan waktunya untuk bertengkar. “Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanya seorang perempuan berambut panjang yang tidak memasang tudung jubah--Vanilla.
Robusta menyungging senyum cerdas. “Mudah. Kalian sudah menyiapkan pisau Tata Boga yang kuminta, ‘kan?”
Orang-orang menanap dan tertegun. Beberapa mengeluarkan bilah tajam yang dimaksud.
“Satu per satu, masing-masing dari kalian harus menusukkan pisau itu ke tubuh Pak Lupine. Ini sebagai bayaran atas tindakan tidak bertanggungjawabnya. Kalian mau melakukannya, ‘kan?”
Maka setelah itu, rencana pembunuhan artifisial siap dilancarkan.
Americano, siswa dengan nomor urut 1, maju terlebih dahulu, berlutut di depan tubuh si pria. Iris cokelat bergetar memandang jasad wali kelasnya. “Maafkan aku, Pak Lupine.” Lelaki berkacamata itu menikamkan pisau ke dada kiri Pak Lupine, menyebabkan sedikit darah memuncrat. Hanya noda kecil yang berhasil mengotori jubah Americano.
Berikutnya, satu demi satu remaja menancapkan pisau ke tubuh si pria yang tergolek tak berdaya.
Kini giliran Strawberry. Matanya sedikit berair melihat penampilan gurunya yang penuh akan pisau tertancap. Mengingat nomor urutnya adalah 25, berarti sudah ada puluhan benda nan bersarang di tubuh Pak Lupine.
Perempuan beriris hitam itu meneguk ludah. Tangan mulusnya mengangkat sebilah pisau dapur, kemudian dia menusuk perut si pria, dengan kedua tangan, merobek kulit hingga isi perut terburai. Terkejut, sang bintang idola sekolah langsung menarik lengan.
Strawberry menengadahkan tangan, menampak bahwa sarung lengannya bersimbah darah. “Ini tidak seharusnya terjadi,” sesalnya kemudian, bangkit, memisahkan diri dari gerombolan remaja.
Robusta mengikuti gerak tubuh Strawberry yang semakin menjauh. Lelaki itu mengulis seringai dingin. Sudah terlalu terlambat untuk menyatakan mundur.
###
16 Juli 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top