27. Robusta-8
"I--itu Alvon!"
"Astaga, Alvon!"
"Apa dia baik-baik saja?!"
Para remaja berseru, ketakutan, bingung, bertanya-tanya.
"Teman-teman ..., ini bercanda, 'kan?"
"Alvon ... dia ... sudah mati ...."
Tubuh remaja laki-laki bernama Alvon itu tersungkur kaku di atas tanah jerami. Beberapa orang menghampiri untuk menegakkan jasadnya. Alangkah terkejut mereka, muka Alvon begitu pucat, kelopak menutup, tercetak nekas aliran air mata. Terdapat lubang pipih di baju bagian dada kiri, beserta cairan merah yang meresap ke kain.
"Apa maksudmu dia sudah mati!"
"Benaran! Dia sudah mati! Kalau tidak percaya, cek saja sendiri!"
Laki-laki tidak memiliki denyut nadi maupun napas ketika dicek. Sontak orang-orang berdiri, terbelalak, bergidik ketakutan. Para perempuan menjerit ngeri. Sesi presentasi pun menjadi kacau.
"Siapa pelaku yang membunuh Alvon!"
Tuduh-menuduh mulai berjalan.
"Mungkin ... Ratu!" tuding seorang perempuan.
Ratu lantas tak terima. "Kenapa bisa aku?"
"Apa kau tidak sadar apa yang kaukatakan sebelumnya!"
Ratu naik pitam. "Semua orang tau itu hanya bercanda ... 'kan?"
Dia memberi tatapan intimidasi kepada perempuan di sebelahnya, tetapi orang yang ditanyai hanya diam ketakutan. Ratu pun jadi geram, mengeritkan gigi.
Para remaja merasakan hawa tidak menyenangkan di dalam kandang. Atmosfer begitu pengap. Mereka pun memutuskan untuk melangkah menuju pintu besi, ingin keluar, tetapi--
"Hei, pintu ini dikunci ...." Seorang laki-laki menggoyang knop, tetapi pintu besi tak kunjung terbuka.
"Poly, di mana kuncinya?"
Orang yang ditanyai justru membelalakkan mata. "Pintu itu ... dikuncinya dari luar."
Kepanikan tercipta seketika.
"Apa maksudnya dikunci dari luar?"
"Maksudnya, ya, digembok pakai rantai dari luar!"
"Gawat ... kita terkurung di sini!"
"Oh, iya! Jendela!" seru Poly.
Pandangan Poly tertuju pada lubang angin di dinding bagian atas. Namun, matanya terbeliak kala melihat palang-palang kayu dipaku secara acak pada jendela.
Sejumlah laki-laki menendangi dinding kayu, tetapi meski sekuat tenaga mendepak, kayu tak retak sedikit pun.
"Kayu apa ini? Keras sekali!"
"Entahlah!" Poly menggeleng, meremas kepala.
Beberapa laki-laki tiba-tiba jatuh lemas--entah, bagaimana bisa?-- termasuk Mello yang berbadan tinggi besar.
"Kalian kenapa?"
"Entahlah. Tiba-tiba aku merasa pusing ...."
Raut mereka terlihat pucat, badan loyo, mata berkunang-kunang, kepala terasa pening, untuk bergerak pun kesulitan.
"Ini pasti makanan yang kita makan!" terka salah seorang.
"Vetta, apa yang kau masukkan ke makanan yang kita makan?" tanya Mello.
Vetta sebagai ketua Tim Penyokong tak terima bila dicurigai. Tuduhan padanya harus segera dia sangkal. "Aku tidak memasukkan bahan apa-apa yang berbahaya--apalagi racun!--ke dalam makanan yang kubuat!"
Namun, tiba-tiba perempuan itu teringat sesuatu. "Kalau tidak salah Poly memasukkan ...."
"Hei, jangan pakai tepung itu, sepertinya sudah lama ... ?" Di dapur, Vetta menjangankan Poly yang hendak memasukkan tepung ke dalam mangkuk.
Poly tampak santai-santai saja. "Ah, tidak apa-apa! Masih bagus kok!"
"Poly pasti memasukkan tepung yang kedaluwarsa ... di kue pertama, makanya kalian sakit perut--keracunan!"
Tuduhan kembali dilempar, kali ini kepada Poly. Namun, perempuan itu tidak sempat menyangkal karena berbagai kecurigaan tertuju padanya.
"Jadi ini semua ulah Poly ... ?"
Tunggu--
"Iya, benar! Dia 'kan yang mengusulkan kita semua ke sini!"
Itu--
"Dia yang mengunci pintu dan menutup jendela!"
Salah--
"Dia juga yang meracuni para laki-laki supaya tidak bisa bergerak bebas!"
Bukan--
"Apa dia juga yang membunuh Alvon!"
Tidak--
"Bukaaan!" jeritan Poly melengking hingga ke seluruh ruangan. "Bukan aku yang melakukannya! Itu semua salah! Aku benar-benar tidak tahu apa-apa! Sumpah!" Perempuan itu menangis tersedu-sedu.
"Alah! Paling dia cuma pura-pura!"
"Iya, padahal jelas sekali ini ulahnya!"
"Ayo kita paksa dia mengaku!"
Keributan makin menjadi. Namun, kasihan juga. Sebagian orang merasa iba.
"Sudah, jangan sudutkan Poly. Lagi pula, belum ada buktinya dia melakukan itu semua. Yang penting sekarang adalah, bagaimana cara supaya kita bisa keluar dari sini."
Ternyata masih ada orang yang waras juga, berpikir dengan kepala dingin. Eh, tetapi, kok, Mono mukanya seram, ya? Perempuan berambut keriting itu berjalan mendekati Poly yang masih menangis tersedan-sedan. Di tangannya ada botol tumbler plastik.
"Mono, kamu mau apa--" tanya temannya.
Mono menatap nyalang, membuka tutup botol, menyiramkan larutan bening ke arah muka Poly. Sontak Poly menjerit kesakitan, dalam sekejap kulit wajahnya melepuh, mata memerah, hidung berair. Semua orang yang melihat jadi merasa ngeri.
"Mono, apa yang kaulakukan!" Mono bergeming, memelototi si korban dengan tatapan puas. Seringai menyala di tampangnya.
Beberapa orang menolong Poly yang menggeliat di atas lantai jerami, menutupi mukanya yang melepuh seraya mengerang kesakitan. Halma ikut serta, menyiapkan air serta kain. Mereka coba menenangkan Poly nan meronta. Sementara itu, Mono ditahan oleh sejumlah laki-laki, botol di tangan segera dirampas, dipasang tutup kembali, lalu diamankan.
"Kenapa kau ini!" Halma membentak kepada Poly.
Mono yang dibekuk menyeringai, tertawa cekikikan. "Poly 'kan umurnya tinggal beberapa bulan pagi. Tidak apa-apa 'kan kalau aku singkat sekarang?"
"Kamu gila! Lalu, apa hubungannya dengan tempat ini!"
Mono menampik menjawab, beralih bahasan. "Selain itu, kamu juga tidak bilang berteman dengan si Robusta itu! Dia yang menyebabkan semua tragedi ini, lo! Harusnya kamu bilang!"
"Makanya apa hubungannya sama ini--"
Suara tusukan terdengar. Ludo melesat, menikam perut Halma dengan gunting besar nan tajam. Halma terbelalak, melihat darah merembes ke bajunya. Laki-laki itu mendorong Ludo hingga terhempas, kemudian menekan perutnya yang kian mengucurkan cairan merah. Ludo terbahak puas memandang Halma yang kesakitan.
"Ada apa lagi ini!"
"Astaga!"
Orang-orang yang menolong Poly sebagian beralih pada Halma. Lelaki itu dibaringkan di sebelah Poly yang sudah agak tenang. Beberapa remaja harus menahan Ludo supaya tidak menjadi-jadi, tetapi dia meronta, maka wajahnya ditonjok.
Lelaki berkupluk itu terkekeh-kekeh. "Aku memang sengaja membawa kalian semua ke sini! Pada waktu ini! Ini adalah perintah dari Kepala Sekolah supaya aku bisa memenangkan lomba!" Kalimatnya diakhiri tawa nan aneh.
Semuanya mulai berspekulasi. Tuduhan berloncatan dari satu orang ke orang lain. Para remaja diliputi ketimpangan.
Tar menjerit ngeri. "Ini pasti ulah Robusta! Dia marah karena kita mengetahui rahasia kelasnya ... lalu dia berencana untuk melenyapkan kita semua di sini ... ! Ah, tidak!"
Orang-orang sudah tidak tahu mau bagaimana lagi, mematung, membatu, membisu. Tiada satu pun cara untuk keluar dari situasi menegangkan ini.
"Ini karena Ratu!" tuduh salah seorang.
Ratu berseru, "Kok bisa aku lagi!"
"Ingat apa yang dia katakan ke Robusta saat perundungan pagi ini? Ya, Ratu menantangnya untuk membunuh kita semua. Laki-laki menyeramkan itu pasti sedang mencoba membunuh kita semua sekarang ... !"
Tuduhan tersebut berhasil. Berpasang mata kini tertuju ke arah Ratu.
"A--aku ... tidak--"
Panik membuat Ratu berjalan mundur, hingga tak sengaja menabrak sebuah tongkat kayu yang menancap pada dinding. Tiba-tiba, dari atas, sejumlah tong besar yang berjejer rapi bergulir, menumpahkan berliter cairan agak bening ke tubuh Ratu, menyebabkan tubuh dan pakaiannya basah kuyup seketika.
“Ah, sialan! Apa ini!”
Teman-temannya yang berdekatan mungkin tak luput turut terkena, dan setelah seseorang menyadari ciri khas yang tajam dari cairan itu, dia segera berkata dengan gemetar. “Ra-Ra-Ratu …, bukankah ini bensin?”
“Hah … ?”
“Oh, iya! Ratu, itu bensin!”
“Kurang ajar banget sih! Ulah siapa yang sudah melakukan ini!”
“Astaga! Ternyata jerami yang basah ini bukan karena air, tapi karena bensin!”
“Dinding sama pintu sekat ini juga habis disiram bensin!”
“Mampus kita!”
Tabung-tabung gas yang tersembunyi di pojok ruangan terbuka otomatis, menghasilkan suara bising seperti uap yang bocor.
“Eh—apa yang kau mau lakukan?”
Semua mata tertuju pada seseorang yang mengacung sebuah pemantik api.
“Hannin, apa yang mau kau lakukan!”
Lelaki berkulit pucat itu memnyalakan pemantik api, nyala menari-nari, membuat teman-temannya bergidik seketika.
Sejumlah orang membawa botol yang juga berisi bensin. Mono, Ludo, Tar, Vetta, dan beberapa remaja lain. Mereka terbelalak memperhatikan pemantik api yang dilempar ke atas lantai jerami.
Halma yang terbaring lemas di atas tikar hanya bisa pasrah. Teman-temannya di ambang kehancuran.
Pemantik api menyentuh jerami. Nyala menjalar dalam sekejap mata, meluas, membesar, membakar apa pun yang bisa dimakan. Para remaja berlarian histeris, mencoba menghindar, tetapi api terus menjalar ke mana-mana.
Bunyi ledakan pun tercipta.
***
Hari itu sekadar kelas biasa, tetapi guru tak kunjung datang. Para anak-anak berpakaian seragam SD berhamburan ke luar kelas, menyaksikan tontonan nan asyik.
Sejumlah anak laki-laki menendangi seorang lelaki kecil yang memiliki kaki aneh, pengkar dalam. Orang-orang mentertawainya, bersorak untuk mendukung para perundung supaya semakin menjadi-jadi.
Saat itulah, seorang guru pria datang, membawa penggaris besar untuk mengusir kerumunan murid SD. Namun, beberapa anak meloncat, mengerubungi pria itu hingga kewalahan. Tontonan orang-orang pun beralih.
Sementara itu, anak kecil korban perundungan tadi, berlunjur di bawah pohon kersen, tak berdaya. Tahu-tahu, seorang anak laki-laki tinggi berkulit kuning langsat datang menghampiri, jongkok di hadapnya. Dia mengulurkan tangan, seraya memberi tatapan yang meyakinkan untuk tetap tegar.
***
Di bawah langit malam gelap, api besar tercipta, asap membubung tinggi.
Ledakan mengakibatkan kandang besar porak-poranda. Kayu-kayu hancur, atap, dinding, sekat-sekat, dilahap api semua.
Beberapa ekor sapi berlarian terbakar. Satu orang remaja tunggang-langgang, panik, tubuh diselimuti api besar. Tiba-tiba kepalanya tertusuk pipa logam berujung runcing yang terbang.
Di sekitar, orang-orang menggeliat, badan mereka hangus terpanggang. Mendadak ada sesosok yang menusuk kepala salah satu orang dengan pipa logam, lalu menarik benda berujung runcing itu. Sosok tersebut lanjut menikam kepala satu per satu orang di sana menggunakan pipa logam.
Robusta mengenakan jaket bertudung, sepatu bot, dan sarung tangan kain. Lelaki itu mencocok satu demi satu remaja terpanggang yang masih menggeliat. Iris matanya mengilat seolah berubah rona menjadi merah.
Robusta berdiri di depan mayat laki-laki yang sudah hangus. Dia berkata dengan pelan, "Bangsat." Lalu, melubangi kepala si mayat.
Robusta beralih pada mayat perempuan yang juga sudah gosong, mengacungkan jari tengahnya kepada jasad itu.
Robusta sampai kepada Halma. Laki-laki jangkung tersebut dalam kondisi parah, luka bakar mungkin lebih dari lima puluh persen.
"Ada kalimat terakhir?"
Halma tak bisa menggerakkan tubuhnya. Hanya mata beriris hitam yang bisa bergerak, menatap si laki-laki bertudung nan menjulurkan tangan kepadanya.
Halma teringat momen ketika dia masih SD, saat mengulur tangan kepada Robusta yang dirundung, duduk memeluk lutut di depan pohon kersen nan rindang. Kini, posisinya terbalik. Robusta menjulurkan tangab kepada Halma yang terbujur tak berdaya.
"Mari kita berteman," suaranya terbata-bata.
Robusta hendak menusukkan pipa logam ke dahi jasad lelaki itu, tetapi Halma sudah mati. Robusta mengurungkan niat, membuang pipa ke sebarang tempat.
"Seharusnya ini tidak terjadi."
Laki-laki yang mengenakan jaket kelabu itu meninggalkan bekas kandang yang sudah hancur.
Lahan sawah di sekitar juga turut terbakar. Sirene mobil pemadam kebakaran terdengar dari kejauhan.
Berakhirnya kisah kelas 2-C Sekolah Satu Atap.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top