2. Vanilla-2
Hari mulai senja, langit lembayung mengawali sore. Vanilla telah bertanya kepada ibu-ibu berdaster di depan rumah, lalu nenek tua yang menyirami bunga, berikutnya para pria paruh baya nang sedang menongkrong, selanjutnya anak-anak kecil yang mana tahu mengetahui secuil jawaban dari pertanyaan Vanilla. Namun, semuanya tanpa ada hasil. Tiada satu pun mafhum persoalan si siswi.
Vanilla sampai di suatu rumah sederhana dengan pot-pot keramik yang ditanami berbagai tanaman hias memenuhi teras dan halaman. Dia melihat seorang ibu paruh baya nang sedang menyapu halaman.
"Permisi, Ibu...," salam Vanilla mendekati si Ibu.
Si Ibu pun menghentikan aktivitasnya. "Iya?"
"Apakah Ibu tau di mana keluarga Pak Gandung pergi?"
"Oh, Pak Gandung? Yang anaknya meninggal itu, ya? Kamu temennya, Dek?" Vanilla mengangguk, "Pak Gandung dan Bu Gandung udah pindah, Dek."
Vanilla cukup terkejut dengan jawaban tersebut. Perlahan, dia tenggelam dalam suasana keheningan antara sekitarnya, lama, sangat lama.
"Kalau kamu satu sekolah dengan anaknya Pak Gandung, berarti kamu mengalami kejadian itu, ya, Dek? Pasti berat sekali.... Kenapa tidak pindah sekolah saja? Di mana orang tuamu? Biar kuajak bicara supaya kamu bisa lebih tenang. Kasihan kamu, apalagi masa depanmu. Apa yang dilakukan pemerintah selama ini? Mereka pasti tidak mempedulikan nasib para murid di sekolah itu sama sekali."
***
Vanilla melangkah beriringan bersama seorang remaja laki-laki yang seumuran. Keduanya masih mengenakan seragam dan mencangklong tas masing-masing. Sinar matahari tak mampu menembus tebalnya awan pada langit abu-abu. Si laki-laki mempunyai perawakan layaknya remaja biasa, tetapi rambut kepala bagian depan menutupi dahinya sehingga matanya tidak kelihatan. Di bajunya, terjahit name tag Tubruk.
"Terima kasih buat gantungan kunci yang kamu hadiahi pas aku ulang tahun. Imut. Sudah kupasang di tasku ini." Vanilla mengucapkannya dengan pipi memerah.
"Sama-sama, cocok banget dengan tasmu yang warnanya krem."
Vanilla tampak senang sekali mendengar balasan tersebut. Keduanya pun lanjut menyusuri tepi jalan di suatu gang.
Vanilla hendak mengatakan sesuatu kepada Tubruk, "Eh, Tu-"
Namun, lawan bicaranya langsung memotong, "Vanilla, kamu lihat rumah kosong itu?"
Vanilla lantas menengok ke depan, pada bangunan semen tinggi, tanpa cat, nan terbengkalai selama beberapa masa lamanya. Rumah telantar itu terkesan besar lagi ngeri.
Terbayanglah Vanilla jika kala malam tiba, rumah gelap tersebut pasti akan membuatnya takut untuk melewati jalan ini.
"Memangnya ada apa, Tubruk-?"
Vanilla bergidik. Tubruk yang dia ajak bicara tak merespons sama sekali. Netra si lelaki terus terpatri pada bangunan besar di hadapannya, laksana dirinya terisap masuk ke dalam dan tak bisa keluar lagi. Keringat bercucuran dari dahi Tubruk, kedua matanya bergetar hebat, dan pernapasan tak beraturan. Vanilla mengernyit, kebingungan dengan perilaku temannya itu.
"Tubruk...."
***
Vanilla berdiri di depan sebuah rumah bertingkat dua, berpagar hitam, dan serbatertutup-rumah keluarga Pak Gandung. Hari sudah malam, dan tiada satu pun orang berkeliaran selain dirinya. Walau lampu jalan menyala, kesan sunyi masih terasa di benak Vanilla.
Tiba-tiba, mata si siswi menangkap sosok pria yang membuka pintu keluar, kemudian berjalan menuju gerbang. Pria tersebut cukup terkejut tatkala melihat seorang siswi berada di depan gerbang. Namun, siswi itu lebih terkejut lagi akibat harapannya pupus, sebab pria di depan hanyalah petugas listrik.
Vanilla memutuskan untuk mencegat angkutan kota di pinggir jalan besar, dan untungnya masih ada angkot yang beroperasi, membawa sejumlah penumpang. Di perjalanan, Vanilla hanya duduk termenung menatap pemandangan malam kota yang berantara sepi dan ramai.
Setelah turun lalu membayar, Vanilla menatap langit malam nanar. Jelas sekali wajahnya kelelahan, dan macamnya dia tak mendapat hasil memuaskan hari ini.
"Tubruk, maafkan aku.... Aku belum bisa menemukannya. Aku belum bisa menemukan orang yang menjadi dalang yang membuatmu harus membunuh teman-teman dan menyuruhmu harus bunuh diri. Maaf, ya, Tubruk."
Di perjalanan melalui gang, Vanilla-seorang pelajar yang membawa tas dan berkeliaran malam-malam-menggumam kata-kata tak jelas. Langkahnya gontai, pandangan tak fokus ke depan. Sudah seperti orang tidak waras si Vanilla ini.
Seketika, langkahnya terhenti. "Ini adalah jalan yang biasa aku lewati bersama Tubruk sehabis pulang sekolah," gumamnya, tetap dengan suara tak jelas.
Vanilla merasakan hawa ngeri mendekat.
Terpampang bahwa di depan, yang amat gelap sebab tiada satu pun lampu jalan di sekitar, samar-samar tercetak bayangan bangunan tinggi dari berkas sinar rembulan nan menerangi. Bangunan itu adalah rumah kosong lagi terbengkalai yang pernah ada di ingatan Vanilla.
Seorang warga sekitar, bapak-bapak yang tak sengaja lewat, berpapasan dengan Vanilla. Segera Vanilla menyapa orang tersebut lalu bertanya, "Maaf, Pak, rumah ini rumahnya siapa, ya?"
"Oh, rumah kosong itu? Enggak tau, Mbak. Tapi, kalau malam, apalagi tengah malam, pasti ada suara berisik dari situ, gak tau karena apa. Terus, katanya juga kadang lampunya nyala sendiri, 'kan gak ada orang di situ. Gak tau deh, Mbak, angker pokoknya."
Bapak itu menjeda sejenak, sementara Vanilla berusaha tetap menyimak dengan tenaga yang tesisa.
"Kayak ... ada penunggu yang tinggal di situ."
Layaknya tersambar petir, Vanilla tercengang dan menyadari sesuatu.
'Kamu lihat rumah itu?'
'Ada penunggu yang tinggal di situ.'
'Pasti ada orang tersembunyi di balik semua ini!'
Kamu lihat rumah itu? Ada yang tinggal di situ, yaitu orang tersembunyi di balik semua ini.
Orang yang menyebabkan Tubruk membunuh teman-temannya dan lalu bunuh diri.
Bapak tadi pergi setelah heran memandang raut muka si siswi yang terdiam penuh teka-teki.
Sekali lagi, Vanilla berusaha menelisik bangunan di depannya. Tidak ada siapa-siapa di dalam sana. Tidak terdengar suara apa-apa. Tidak terlihat cahaya sedikit pun. Namun, Vanilla tetap bimbang untuk tak meninggalkan tempat tersebut.
Orang yang membuat Tubruk membunuh Chocholate dan yang lain ada di sana! Orang yang membuat Tubruk bunuh diri ada di sana! Orang yang menyebabkan tragedi ini ada di sana!
Vanilla pasti menemukan orang itu. Vanilla pasti menemukan orang itu. Vanilla pasti menemukan orang itu.
Vanilla! Orang itu ada di dalam sana! Cepatlah masuk dan tangkap dia!
Keringat Vanilla bercucuran, baju seragamnya basah. Rambut gerah sampai mengusut. Dia melakukan gerakan berjinjit berulang-ulang. Dada naik turun, napas terasa sesak. Tangannya meremas kuat-kuat rok yang dikenakan. Bunyi gantungan kunci nang beradu akibat gerakan resah si pemilik, memecah keheningan malam.
Vanilla mencoba menenangkan dirinya, termenung menatap bangunan gelap di depan. Diam, dia mematung bagai boneka porselen. Kemudian, Vanilla menunduk, mengencangkan sepasang lengan ranselnya, lalu duduk pada tembok rendah di dekat. Siswi itu duduk untuk menanti bila ada sesuatu tertangkap dari bangunan yang sedari tadi dia amati.
Panjang waktu terlewati, Vanilla masih duduk terdiam di sana. Setelah beberapa lama selang masa berlalu, Vanilla memutuskan berdiri, sekali lagi menelaah bangunan besar di depannya. Dia mulai melangkah ke depan, tetapi kemudian berbalik. Vanilla malah berjalan mondar-mandir; terus mondar-mandir sampai berulang kali dia berputar-putar. Suara gemerincing gantungan kunci krim kocok di tasnya, begitu pun langkah sepatunya yang bagai dientak, menciptakan suasana berisik.
Mendadak, siswi itu berhenti, menatap bangungan besar di depan. "Besok aja, deh." Dia refleks berbalik.
Brak! Semuanya menggelap.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top