19. Zinc

Pernahkah kalian mendengar saluran udara tegangan ekstra tinggi?

Suatu petang di kompleks asrama nan damai. Langit lembayung mengawali sore, awan kelabu menyelimuti angkasa. Berdiri kukuh sebuah bangunan bertingkat, berukuran cukup besar, terdiri atas banyak kamar. Rumah susun tersebut seakan terlihat menguasai kompleks asrama.

Seorang remaja laki-laki berseragam Sekolah Satu Atap, Zinc, berdiri di depan pintu salah satu kamar di tingkat atas. Lorong asrama kasatmata lengang serta temaram. Tembok pembatas setinggi satu setengah meter seolah menghalangi datangnya sinar mentari. Bermacam tanaman hias dalam pot dibudidayakan di situ. Bahkan ada pula vertikultura, bahwa media tanam ditempatkan dalam wadah-wadah yang disusun secara vertikal.

Zinc bersiul sembari menunggu si pemilik kamar menyelak pintu. Dia menenteng kantung plastik hitam yang kembung. Ketika daun tersingkap, tampak Robusta mendongak kepala seraya lengannya memegang gagang pintu. Wajah lelaki itu berbalut perban serta kapas di sejumlah tempat: pipi kiri, dekat bibir, hidung, dahi kanan. Tak luput kedua siku pula dibarut.

"Yo, Ketua!" Lelaki yang bertamu itu mengangkat sebelah tapak tangan.

"Ah, silakan masuk." Robusta menyilakan temannya ke dalam ruangan.

Zinc melepas sepatu sekolah, tanpa bantuan tangan, lalu dia letakkan sepasang sepatu itu ke rak. Di dekat ada karpet bertulis "WELCOME". Lelaki berambut pendek tersebut mengekori Robusta masuk lebih dalam, menuju tikar di sebelah dipan berkaki. Di samping dipan, terdapat lemari kayu berlapis pernis. Berikutnya rak yang dipenuhi berbagai macam benda.

Setelah tuan kamar duduk dan mempersilakannya, Zinc bersila di atas karpet, kaus kaki masih melekat.

Zinc bisa merasakan suasana kamar nan luas, dengan efek sepia menjadi tema ruangan. Dindingnya bercat cokelat terang, lantai berkeramik putih, juga plafon berona kelabu. Gorden cokelat tua sebagian tersingkap pada jendela nako. Lampu remang-remang menjadi sumber penerangan.

Puas mengamati kondisi kamar, Zinc berkata dengan senang, "Ini pertama kalinya aku ke kamar Ketua sejak pindahan."

Robusta berdeham. "Ah, kamar sebelumnya kurang nyaman. Kecil, kamar mandi kotor, dan kamar sebelah selalu berisik di malam hari. Akhirnya aku minta ke Pak Pemilik untuk pindah kamar ke lantai atas, kebetulan sedang kosong."

Zinc membulatkan mulut seraya ber-"oh" ria.

"Katanya Ketua habis berkelahi, lalu terluka? Bagaimana keadaan Ketua sekarang?"

"Ah, aku tidak apa-apa. Sudah baikan sekarang."

Zinc memberi senyum santai. Dia mengeluarkan sesuatu dari kantung plastik hitam yang dibawa. Tampak sekantong plastik bening nan melembung, berisi banyak bakso kecil dalam kaldu kekuningan.

"Ini aku membeli bakso kuah Pak Malvinas yang di dekat asrama."

"Terima kasih." Robusta menerima dan membukanya.

Lihat, uap hangat yang mengepul membuat produktivitas kelenjar saliva Robusta meningkat. Dia mengiler.

Zinc melongo menonton reaksi si ketua kelas, kemudian meringis dan terkekeh-kekeh. Robusta cepat-cepat mengusap air liur yang menetes. Zinc pun mengambil lagi kantong plastik berisi bakso kuah untuk dirinya.

Sembari menikmati bakso kuah dengan menggigit dari ujung bawah plastik, kedua remaja tersebut berbasa-basi. "Ngomong-ngomong, kamar mandi Ketua bagaimana? Apa lebih bagus daripada sebelumnya?"

"Lebih luas, lebih bersih, dan airnya tidak pernah mengadat."

"Wah, enaknya. Terus, kalau makan, beli di warung atau masak sendiri?"

"Beli. Aku tidak punya kompor. Biasanya beli makan di warung Bu Jah yang lebih murah."

"Wah, sama. Biasanya aku juga makan di sana kalau tidak punya waktu memasak. Ah, seharusnya Ketua sering-sering datang ke kamarku. Lantai empat 'kan tidak terlalu jauh."

"Hm."

Zinc mengerling pada sebuah pintu lain di belakang, yang di sampingnya terdapat jendela. Lelaki itu tak sengaja menumpahkan beberapa tetes kuah ke celana seragam, lalu menyeka dengan tangan sebelum makin meresap ke kain. Dia jadi teringat sesuatu.

"Kalau jemur pakaian di luar sini, ya?" Zinc menuding teras di luar pintu belakang.

"Iya. Aku biasanya cuci baju sendiri."

"Ketua biasanya bersih-bersih kamar tiap kapan?"

"Kalau kotor. Biasanya lantai kusapu setiap hari. Jendela kubersihkan dengan kemoceng."

Zinc membulatkan mulut. "Kalau aku jarang sih. Malas soalnya." Dia tertawa kecil.

Tanpa sadar, bakso di plastik yang digenggam Zinc sudah habis, hanya menyisakan kuah. Takah-takahnya lelaki itu terlalu rakus makan.

"Sampahnya dibuang di mana?" tanya Zinc.

Dia memasukkan plastik bening ke dalam kantung plastik hitam tadi, kemudian juga melakukan hal sama pada milik Robusta—yang isinya ludes—lalu mengalit mulut plastik hitam.

"Di pojok situ." Lelaki yang ditanyai menunjuk keranjang sampah, di dalamnya terdapat kantung plastik nan mulutnya terbuka lebar.

Zinc pun bangkit dan melangkah, melempar pelan kantung plastik di genggaman.

Zinc berdiri menghadap Robusta, kaus kakinya menjejak lantai. "Oh, iya. Aku tadi lihat tong sampah di luar. Tukang sampah biasanya ambil sampah tiap kapan?"

"Entah. Mungkin tiap Minggu. Aku belum pernah lihat langsung, tapi tiap Minggu, tong sampah selalu kosong," jelas Robusta. Zinc mengangguk-angguk.

Tamu lelaki itu beralih melihat-lihat, memutar badan, memusing kepala. Netranya menangkap sebuah benda di rak dekat lemari kayu. Di antara berbagai perabot yang ditata di sana, mata Zinc terfokus pada kotak kecil warna hitam. Dia berjalan mendekat. Kotak kecil itu dia ambil. Terasa ringan, seakan tangannya merasakan ada rongga udara di dalam.

"Hei, Ketua. Kotak kecil ini isinya apa?"

"Ah, itu." Robusta berdiri, lalu meraih kotak kecil di tangan Zinc, dengan sedikit tekanan. "Ini pemberian dari ayahku. Ayahku pekerjaannya adalah ilmuwan, peneliti, bekerja di luar negeri. Dia juga punya asisten di sana."

"Apa isinya?"

"Rahasia."

Zinc membulatkan mulut, entah sudah keberapa kali. Robusta mengerjap, memasang emosi datar. Kedua lelaki itu saling tatap. Takterbentuk obrolan lagi, selain kesenyapan tercipta. Atmosfer ini bukanlah suasana canggung, melainkan suasana yang menuju percakapan serius. Bahkan efek sepia ruangan memperkuat keheningan kedua insan itu.

"Aku pikir ini saatnya untuk mengatakan tujuan datang ke sini."

"Apa maksud Ketua? Aku datang untuk menjenguk saja."

"Katakan sekarang atau tidak sama sekali."

Zinc mengulas senyum, mungkin senyum menantang.

"Jangan gegabah," ujar lelaki itu, berjalan beberapa langkah, menepuk pundak Robusta. Mengerjap mata seraya mengerising, Zinc mempertegas bahwa pesan yang dia berikan jangan sampai diremehkan.

Robusta terpaku, kemudian menyeringai.

Setelah itu, atmosfer tegang telah mereda. Robusta kembali tenang, Zinc balik bersemangat. Saatnya bersantai? Ah, tidak, rupanya. Zinc sudah menetapkan intensinya.

Perdengarkan kesaksian Zinc ....

"Ketua, saat Ketua berada di tepi puncak bangunan tinggi, apa yang terlintas di pikiran Ketua? Misalnya, apa yang akan terjadi jika terjun, atau yang lain? Bukannya aku ingin mati bunuh diri akibat perisakan atau ada masalah dengan orang tua. Aku ini sedang mengomongkan terjun. Tentu, biasanya orang yang terjun dari puncak bangunan tinggi normalnya akan mati. Tapi, bukan itu yang kubicarakan. Aku tidak pernah berpikir untuk mati.

"Aku selalu memikirkannya, tentang bagaimana rasanya terjun dari puncak bangunan tinggi. Bukannya ingin mati bunuh diri atau apa. Yang ingin kulakukan hanyalah terjun, tidak penting nanti mati atau tidak. Tidak ada alasan pasti untuk aku melakukannya. Ini hanyalah hal iseng yang bisa dipilih atau tidak dipilih. Seperti memilih beli nasi goreng atau tidak di kantin."

Robusta mengedipkan mata, lalu mengajukan pertanyaan, "Jika kau mati karena terjun dari puncak bangunan, kau tidak bermaksud benar-benar ingin mati, 'kan?"

"Iya."

Robusta membelakangi lawan bicara. "Zinc," panggilnya, "malam ini bakal tercipta hal yang dahsyat. Jago merah akan mengamuk."

Zinc hanya bisa diam, sembari memasang senyum pahit.

***

Meski awan menghalangi pandangan menuju cakrawala, orang-orang sudah bisa melihat bahwa matahari hampir terbenam di ufuk barat. Cahaya merah mulai terbentang luas, bercampur ronanya dengan kelabu mega.

Seorang remaja laki-laki berambut poni berjalan menyisir gang di kompleks asrama. Dia mengenakan jaket bertudung warna kelabu, celana hitam, serta membawa tas agak besar.

Sebelum si lelaki mencapai jalan raya di ujung gang, seorang pria lanjut usia berlari dari belakang. Pria itu membelalakkan mata ketika mengambalnya.

"Dik Robusta? Cepat, ikut Bapak! Katanya ada seorang remaja yang mati di menara sutet!"

Robusta ikut berlari kecil, bersama pria lansia tersebut. Mereka keluar dari gang, kemudian memasuki tepi jalan raya.

Di sana, di bawah sebuah menara listrik, keduanya meneropong suatu kerumunan. Orang-orang berkumpul, mengerubung di sekitar bangunan tinggi itu. Tatapan ngeri, takut, simpatik, sendu, semua bercampur baur.

Kala Robusta mendongak di sela berlari, sepasang netranya menangkap citra nan memberi kesan horor. Di antara kabel-kabel bertegangan ekstra tinggi yang terhubung pada menara sutet, sesosok jasad tersangkut, tubuhnya dibelit oleh tali besi hingga tertahan di udara. Lengan serta tungkai menggantung. Kulitnya gosong, wajah hangus. Seragam sekolah koyak moyak. Langit berona merah bercampur ungu menjadi latar belakang pemandangan itu.

"Jadi kau gagal terjun, ya?" bisik Robusta. Kini dia telah berhenti, bergabung di belakang keramaian.

***

Keesokan harinya, kantor guru, kantor tata usaha, dan kantor terkait di Sekolah Satu Atap tengah berada di ambang kebingunan yang luar biasa.

Orang-orang dewasa berseragam pegawai itu kelimpangan. Kalap, gugup, gelisah, panik, khawatir. Sibuk menerima telepon, mendengarkan dengan diam, menjelaskan susah payah. Mereka pula ripuh menerangkan kepada orang-orang yang bergerombol di dalam kantor, bahkan hingga di koridor saking tak muatnya. Lebih-lebih sejumlah siswa ikut bergabung, walau beberapa menjaga jarak supaya tidak ikut kena damprat.

"Sabar, Pak, Bu. Ini kami sedang menghubungi pihak kepolisian dan rumah sakit untuk keterangan lebih jelasnya!"

"Jadi, kenapa anak saya mati? Di mana mayat anak saya?"

"Kenapa pihak sekolah bisa-bisanya membiarkan kejadian ini terjadi!"

"Aku ingin mengajukan tuntutan!"

Dari sekian teriakan, penjelasan, serta cercaan dalam ingar bingarnya suasana pagi, dapat diperoleh konklusi berikut. Satu siswa 2-E tewas dan seluruh siswa 2-C tewas.

###

30 Juni 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top