17. Kona-1

William ada samtin (something) untuk diperbicangkan:

Hai, hai.
Bab sebelumnya kita sudah mengetahui alasan Vanilla dan Latte mati, ya. Yup, Vanilla keracunan gas, Latte kegagalan fungsi organ. Dua-duanya bunuh diri.

Sekarang, apa lagi?

Sembari mengumpulkan petunjuk dari cerita alur maju, jangan lupa juga gali cerita alur mundurnya.

Tubruk.
Ya, orang itu.
- Tubruk mati karena apa?
- Apa benar Tubruk yang menembak sepuluh temannya?
- Mengapa murid 2-E mati satu per satu?
Terus ....
- Kenapa Robusta 'jahat'? Apa dia ada pengalaman kelam?:(
- Oh, ya, satu lagi. Apa peran (Alm.) Pak Lupine (wali kelas 2-E) di cerita?

-Eh satu lagi tambahan. Orang Indon kan suka nyalah-nyalahin tuh ya. Ya udah, sekarang, siapa yang salah di cerita ini? [Kalau ada yang jawab penulis (atau sejenisnya), gw tampol.]

Dah, lah. Segitu aja dulu. Puasing aing.

Okay, selamat membaca.

###

Di suatu gedung sekolah bertingkat, angin mendesir, rembulan dan bintang tidak menghadiri pesta malam. Seorang perempuan berpakaian seragam Satu Atap berdiri di atas tembok pembatas, menengadah, bagai memandang mega kelabu pada angkasa raya. Namun, tatapan matanya terhalang oleh kain yang terikat. Badan lagi kaki ramping si perempuan menggemulai, lengan luwes menarikan suatu gerakan, tak gentar walau pijakan kaki minim, kemudian lakunya setop.

Di tengah kesunyian malam, dia menggumam, “Tahu tidak? Akhir dari sebuah awal juga menjadi awal dari sebuah akhir*, Beary."

(*dikutip dari dialog Imaginator sebelum terjun bunuh diri, dalam anime Boogiepop Phantom wa Warawanai (2018) episode 3)

Perempuan berambut panjang itu mengeluarkan sebilah pisau, digenggam tangan kiri; serta buku binder bertulis "BEARY" di sampul, dipeluk tangan satunya dan ditempelkan ke dada kiri. Ujung pisau dia tancapkan ke buku binder, menembus lembar-lembar kertas, sekalian hingga tembuk dada pula punggungnya. Darah menyembur deras.

Setelah itu, tubuh si perempuan melemah, tersungkur, terjun menuruni gedung dengan posisi kepala di bawah. Pisau dia buang, buku dia peluk. Di bawah, tanah lempung lahan sawah menanti. Mencium daratan, tengkorak kepala hancur terlebih dahulu, tulang leher patah, otak bergelimang darah tercecer. Tubuhnya tergeletak, genangan cairan merah meluas.

***

Perkenalkan salah seorang guru wanita muda Sekolah Satu Atap bernama Bu Flateau, berumur hampir seperempat abad. Murid-murid sering memanggilnya Bu Fla. Beliau mengajar MTK, mata pelajaran yang para siswa anggap paling sulit. Sebagai guru muda, Bu Fla sudah diberi amanat untuk menjadi wali kelas, yakni kelas 2-C.

Saat ini, Senin, dua jam pelajaran terakhir, Bu Fla mengajar di kelas 2-C. Memasuki kelas seraya bersalam, wanita itu menuju kursi guru, duduk. Kemudian, sepasang matanya menyapu ruangan. Dia menjumpai ada dua murid asing di kelasnya, siswa pemurung bernama Arabica dan siswa berambut poni bernama Robusta. Agaknya mulai minggu ini, mereka menjadi murid tambahan di kelas 2-C. Ah, mungkin lebih tepatnya murid pindahan.

Sejak kematian Kepala Sekolah yang dihabisi oleh siswa berinisial S, sekolah menjadi amat sibuk, diliputi kebingungan. Tidak ada satu pun guru di sekolah yang memenuhi kualifikasi menjadi kepala sekolah pengganti. Mengundang guru dari sekolah lain pun akan membuat administrasi rumit dan makin panjang. Namun, entah bagaimana, akhirnya kepala sekolah pengganti bisa ditentukan melalui berbagai kesepakatan, pada hari itu juga. Entah, dari mana kepala sekolah baru tersebut berasal, tetapi umurnya terbilang masih muda.

Bagai suatu peringatan bencana, rentetan insiden seolah mulai berjalan sejak kematian Kepala Sekolah. Keesokan harinya, siswa S meledakkan kantor kepolisian kecamatan tempatnya ditahan. Dia dan beberapa polisi tewas, kebanyakan tubuhnya hancur tak berbentuk. Sekolah lagi-lagi harus melawat permakaman.

Hari selanjutnya, wali kelas pengganti 2-E, Pak Evendy, ditemukan gantung diri di kamar rumah kontrakan. Beliau meninggalkan surat kematian. Selama tiga hari berurutan, sekolah lagi-lagi harus melawat permakaman.

Tidak berhenti sampai di situ. Setelah berselang beberapa hari, Sabtu pagi, seorang siswi ditemukan tewas sehabis terjun dari balkon lantai dua satu-satunya gedung kelas bertingkat di sekolah. Tubuhnya terjatuh di lahan persawahan belakang gedung. Sekolah merasa sesal, seharusnya balkon itu tidak dibangun, apalagi menghadap persawahan.

Hari ini adalah Senin. Semua orang, setidaknya semua guru, berharap tidak ada kasus kematian terjadi lagi. Mengapa semua kematian berhubungan dengan murid kelas 2-E? Tidak ada yang paham. Arabica dan Robusta bahkan tak tahu-menahu ketika ditanya, pun tidak ditemukan petunjuk ketika Bu Fla mengamati tingkah mereka.

Bel usai pelajaran telah berdering, para siswa 2-C segera membereskan barang, menyiapkan tas, kemudian berdoa. Mereka berkata bahwa, kegiatan 'yang biasanya' tetap berlanjut, tetapi pindah tempat. Mungkin saja, karena ada murid luar. Istilah asingnya, outsiders. Setelah diperbolehkan pulang, para siswa pun keluar.

Sementara itu, Bu Fla masih belum beranjak dari meja guru. Beliau tengah menulis sesuatu di buku, yang barangkali akan memakan waktu lama. Bahkan setelah tinggal tiga siswa di dalam kelas, beliau tetap lanjut menulis.

Arabica, Robusta, dan satu siswi 2-C bernama Mono masih duduk di bangku masing-masing. Arabica tidak tahu mau melakukan apa. Robusta tengah termenung, entah melamunkan apa. Mono, yang memiliki model rambut keriting pendek, sedang membereskan lembar-lembar kertas, berukuran A3, A4, A5, berwarna-warni, beberapa tergunting, kemudian menyatukan semua itu dan diikat tali rafia.

"Selamat siang, Bu Fla." Mono bangkit, berjalan keluar kelas sambil menenteng bawaannya.

"Ah, siang juga, Mon."

Bu Fla mengembus napas, memutuskan untuk mengakhiri aktivitasnya dengan meletakkan pena. Mungkin, rehat sejenak di kantor guru nanti bisa merilekskan otot bahu serta lengannya.

Ketika Bu Fla menengok guna mengecek isi kelas, ternyata semua murid sudah angkat kaki. Guru muda itu mengembus napas lagi. Sepertinya hari ini akan menjadi hari nan berat. Ah, ingin sekali beliau beristirahat di rumah. Bersantai di sofa, minum cokelat panas, memakan camilan, sambil menonton acara TV kesukaan.

Tunggu, kembali bekerja—

Bu Fla menutup buku, membereskan meja, memasukkan barang ke dalam tas, kemudian berjalan keluar kelas.

Kala beliau di luar pintu, sewaktu lengan menarik knop, matanya tak sengaja menampak sebuah buku di atas salah satu meja. Seperti ... buku binder? Ah, mungkin hanya perasaan saja. Bu Fla pun menutup pintu rapat.

Berada di kantor setelah jam pelajaran usai, tampak para guru masih sibuk di meja masing-masing. Memang, jam pulang guru adalah pukul empat sore. Bu Fla termenung di mejanya, memikirkan bertumpuk pekerjaan yang harus segera diselesaikan.

Tiba-tiba, seorang siswa berdiri di samping, kemudian duduk pada kursi di seberang meja.

"Ah," guru muda tersebut menebak dahulu, "Robusta? Ada perlu apa?"

"Bu Flateau, boleh minta waktunya?" Lelaki berambut poni itu meletakkan kedua telapak tangan di atas paha. "Ini tentang Kona."

"Ah, Kona, ya? Anak yang malang. Tidak seharusnya dia mengakhiri hidupnya, apalagi dengan cara yang mengenaskan seperti itu."

Si remaja laki-laki agak menundukkan kepala, tetapi netranya tetap terpatri pada si guru. "Saya turut berduka cita atas kematian Kona. Kalau boleh tahu, apa hubungan Ibu dengan Kona?"

Bu Fla memicing penuh selidik. "Mengapa tiba-tiba kamu bertanya?"

Si remaja terkejut karena heran. Bukan maksud dia membuat gurunya curiga. "Tidak, saya hanya ingin mengetahui lebih jauh tentang Kona. Sebagai ketua kelas, saya wajib mengenal satu per satu teman kelasnya dengan baik."

"Ah, begitukah?"

Bu Fla sedikit menelengkan kepala ke kanan, mata melirik ke kiri, lalu kembali menatap siswa di hadapnya. Siwa laki-laki tersebut menautkan jari-jari di atas paha, seakan bersiap untuk menyimak cerita yang tidak sebentar. Bu Fla pun menarik napas panjang.

"Saya dan Kona sudah seperti saudara. Kona adalah anak dari sahabat ibu saya. Sahabat ibu saya merupakan keluarga pemilik perusahaan ternama.

"Karena rumah kami berdekatan, dari kecil, Kona sering dititipkan di rumah saya. Itu dimulai ketika saya masih SMA. Kalau tidak salah, dulu Kona umurnya lima tahun ... ? Ya, sekitar itu. Entah kenapa ibunya tidak menyewa penjaga anak-anak saja.

"Saya sudah menganggap Kona seperti adik sendiri. Saya menjaganya bermain, makan, mandi. Setelah dia beranjak remaja, dia sudah jarang ke rumah saya, tetapi sesekali berkunjung untuk ngobrol, makan bersama, dan lain-lain. Tapi, sejak masuk SMP, dia lebih sering lagi datang ke rumah saya.

"Berkat itulah, saya sangat kenal sekali dengan sifatnya Kona. Saya tahu ketika dia sedang memberi kode, dan saya bisa langsung paham. Saat senang, dia sering tertawa kecil. Saat sedih, dia sering menundukkan kepala. Saat marah, dia akan terdiam seribu bahasa. Bahkan saat dia bohong pun saya tahu—tentu dia tidak suka bohong—Kona akan merapikan rambutnya ke belakang telinga.

"Tapi, ada dua hal yang tidak saya pahami. Adalah kebiasaan menulis buku catatan harian yang dimulainya sejak SMP. Dan, teman imajinasinya bernama Beary. Saya maklumi jika dia punya teman imajinasi karena masih anak-anak.

"Tapi, saya penasaran apa yang dia tulis di buku harian itu?"

Bu Fla berhenti, cukup lama. Beliau tampak berpikir, raut mukanya semu layu, kedua pelupuk berlinang titik-titik air mata.

"Apakah catatan bunuh dirinya juga ada di sana? Apakah ada pesan-pesan terakhirnya sebelum dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya? Apakah ... dia memberikan pesan terakhir untuk saya ... ?

"Di TKP, buku itu tidak ditemukan. Di rumahnya juga. Apalagi di rumah saya. Saya pikir Kona selalu membawa bukunya ke mana-mana. Tahu? Ukurannya kecil, muat dimasukkan ke saku.

"Ah, kalau tidak salah, buku catatan hariannya itu buku binder. Oh, ya, ada tulisan 'BEARY' di sampulnya.

"Astaga ... !"

Bu Fla terperanjat, tubuh bangkit dari kursi. Mimik wajahnya berubah.

"Aku hari ini melihat buku itu di kelas 2-C ... !"

Siswa di hadap ikut tercengang, matanya terbelalak, pupil menyempit. "Eh—?"

"Iya, tidak salah lagi! Itu bukunya!"

Bu Fla memakai mokasin kerja di bawah meja, amat tergesa, lalu berlari kecil keluar kantor guru.

"Aku harus mengambilnya!"

Si remaja lelaki bangkit dan segera berlari, berusaha menyusul guru wanita itu. "Tunggu, Bu Fla—"

Seorang guru wanita muda dan seorang remaja laki-laki kejar-kejaran di lorong sekolah, tak menghiraukan guru yang menegur serta murid yang memandang heran. Bu Fla berlari kencang bagai kesetanan, wajahnya memerah, gigi gemeletuk. Siswa di belakang melelah setengah kuat tenaga, tetapi tetap tak berhasil menggapi si guru.

"Bu Fla, tunggu sebentar—" teriak Robusta.

Sesampai di lorong kelas 2, Robusta akhirnya bisa mencekal pundak si guru muda, cukup kasar menahan dan menariknya, hingga Bu Fla setop paksa, mundur beberapa langkah.

"Bu, tunggu dulu—"

Bu Fla merasa meloya kepada Robusta yang sedari tadi mengoyak-oyaknya, bahkan kini menarik pundaknya kasar. "Kamu itu kenapa! Biarkan saya!"

Namun, Robusta tak indah, dia malah maju mendahului Bu Fla, lalu mendepang kedua lengan di hadapan beliau.

Kedua tangan Bu Fla menggerayah, tetapi kemudian memukul-mukul pundak juga lengan Robusta. "Biarkan saya lewat!"

"Maka dari itu, dengarkan saya dulu—"

"Tidak! Saya harus segera mengambil buku itu! Saya ingin segera mengetahui apa yang ada di dalamnya!"

"Bu Fla— Bu—!"

"Menyingkir!"

Bu Fla mendorong sekuat tenaga tubuh Robusta ke sisi, segera berlari setelahnya, dan hampir menabrak seorang siswa berkacamata yang meremas bagian tengah baju.

Bu Fla memasuki kelas 2-C. Guru itu berdiri di depan ruangan dengan kaki mengangkang—hingga rok ikut melebar—pula tangan seolah hendak menerkam. Bola mata beliau memelotot, panik mencari ke sana-sini.

"Buku, buku, buku ... !" Air liur menetes-netes, netra memerah, napas memburu. Bu Fla mulai berlarian mencari kian kemari, meja per meja.

"Ah, ada!" Di dalam laci salah satu meja, tangan Bu Fla menarik sebuah buku binder kecil yang sampulnya bertulis "BEARY".

Di luar, Robusta memandang Arabica dengan tatapan datar. "Kenapa kau masukkan ke dalam baju?"

"Maaf, panik."

Tangan Arabica menelusup ke dalam baju yang satu kancingnya terbuka, lalu mengeluarkan sebuah buku binder kecil, pada sampul terdapat tulisan "BEARY".

"Ini." Dia mengulurkan buku itu, sembari tangan satunya memasang kancing.

"Untukmu saja. Simpan baik-baik." Robusta menyilangkan kedua tangan. Maka, si siswa berkacamata di hadap memasukkan buku ke dalam saku celana.

Kemudian, Robusta mengikuti Arabica yang melongok ke dalam kelas 2-C.

Di sana, Bu Fla menari semacam orang gila, berputar, menjerit kegirangan, dengan kedua tangan mengangkat tinggi-tinggi sebuah buku kecil. "Hore! Akhirnya! Akhirnya, Kona! Kak Fla bisa tahu alasanmu! Itu karena Kak Fla selalu bisa memahamimu! Ah, Kona!"

Arabica bergeleng kepala. "Dia guru yang sinting." Muka murungnya makin murung akibat rasa tak senang.

"Untuk saat ini, iya." Robusta berbalik, ingin enyah dari kelas tersebut. "Jadi, terima kasih atas bantuannya, ya." Dia langsung berjalan pergi.

"Sama-sama, Ketua. Jaga tubuhmu. Akhir-akhir ini Ketua sering mengantuk di kelas. Ya, aku tidak bisa menyalahkan sih."

Pesan itu seolah tak digubris oleh komunikan yang sudah agak jauh di depan. Arabica hanya bisa tersenyum maklum, meremas dahi nan berkerut.

"Dasar Ketua."

Lelaki berkacamata itu mengeluarkan buku, mengangkatnya ke depan dada. Kepala Arabica agak menunduk. Dia buka buku tersebut. Mendadak, netranya langsung terbeliak, pupil pun terkonstriksi. Tangan segera membolak-balik halaman dengan gelisah.

"Ini—!"

Tiada tulisan apa pun pada tiap-tiap helai kertas buku itu.

***

Asap membubung tinggi, lenyap dirampas angin. Abu beterbangan dan bara api berloncatan. Bak berisi sampah tengah dibakar, nyala terus berlangsung. Robusta berdiri di dekatnya, melempar sebuah buku binder kecil.

Buku dengan sampul bertulis "BEARY".

"Terima kasih kembali, atas kerja samanya." Bola mata Robusta memantulkan sampul buku berikut berlembar kertas yang mulai dimakan api nan membara.

###

27 Juni 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top