12. Vanilla-4

Suara debuk pecah, kala kepala remaja perempuan itu menubruk sesuatu pada tempat gelap. Lantas visi netranya memburam, buyar, kemudian menggelap. Badannya sempoyongan, akhirnya pun limbung. Tubuh si perempuan terkapar di atas jalan kecil. Dia masih berseragam sekolah, tas juga lagi dicangklong.

"Dik...? Kamu tidak apa-apa?"

Seorang pemuda kantoran buru-buru menghampiri, berlutut, mengecek keadaan si perempuan. Pemuda itu memiliki tubuh jangkung lagi tampang rupawan, mengenakan kemeja lengan panjang warna biru pucat.

"Maaf, ya, tak sengaja tertabrak. Sakit, tidak?"

Si perempuan tak merespons, tetapi tubuhnya tetap bernapas normal. Pemuda kantoran itu hanya bisa terdiam mengamati sambil bertumpu lutut.

Tiba-tiba, tubuh si perempuan bangkit ke posisi berlunjur. Dia masih setengah sadar, bertanya-tanya, 'ini di mana?', 'aku kenapa?', 'bagaimana bisa sampai sini?', seraya memegang kepala yang mungkin berdenyut, sakit.

Jika dilihat-lihat, rupa si perempuan cantik juga. Wajah berkulit putih, rajin dirawat. Tatapan mata cokelat nan memelas, dengan bulu mata lentik. Bibir merah mudanya cukup manis. Rambut hitam panjang yang diikat begitu menawan. Melihat muka cantik itu membuat kedua pipi si pemuda semu merah.

Tunggu, ini bukan saatnya untuk terpesona dengan kecantikannya!

Tersadar, pemuda kantoran yang bersimpuh itu langsung mengambil sesuatu dari tas selempang hitamnya. Sebotol air mineral nan masih baru. Si pemuda membuka segel, memutar tutup hingga kendur, lalu menyodorkannya kepada si perempuan.

Sebagai pemuda sejati, dia menarik tangan si perempuan, perlahan menuntun ke tembok rendah terdekat sebagai tempat duduk bersama. Si perempuan menenangkan diri, menerima botol plastik di tangan pemuda.

"Maaf, ya. Gelap, jadinya tadi tidak kelihatan, akhirnya tertabrak. Siapa nama Adik? Di mana rumahnya?"

Si perempuan masih meremas dahi nan sakit, dengan tangan kiri. Tangan satunya memegang botol plastik. Dia kemudian meminum air segar. "Vanilla, Pak. Rumah saya di dekat sini."

Berusaha abai dengan panggilan barusan, si pemuda meringis kecil. "Oh, Dik Vanilla, ya. Mau kuantar sampai rumah?"

Vanilla menggeleng. "Tidak. Tidak usah, Pak." Perempuan itu menyorong botol, bermaksud mengembalikannya.

"Buat kamu saja, Dik."

Vanilla menunduk, mungkin saja agak enggan. Namun, anggukan yang dia buat adalah isyarat sebagai mengiakan pemberian itu.

"Ngomong-ngomong, kenapa Adik malam-malam lewat sini? Kan, ini jalan angker, jarang orang lewat, apalagi anak sekolahan. Adik pasti habis kegiatan ekstrakurikuler, ya?"

"Saya ...." Vanilla mengurungkan kalimat. Dia beralih, balik bertanya. "Em, Bapak tau tentang rumah kosong ini?"

Pemuda jangkung itu meneropong rumah kosong berhalaman lapang. Butuh waktu lama sebelum si pemuda menjelaskan. Mungkin dia melamun dahulu atau terpikirkan hal lain.

"Oh, itu sebenarnya bekas kontrakan, Dik. Tapi, sudah lama tidak digunakan karena ada kasus sengketa. Penghuninya disuruh pindah semua. Itu sudah lama, Dik, sekitar sepuluh tahun lebih yang lalu. Aku dulu pernah tinggal di situ pas masih SMA.

"Sekarang sudah berubah jadi bangunan kosong, Dik. Dan, yah, katanya banyak hantunya. Memang, kadang terdengar suara aneh. Tapi, aku sudah terbiasa, mungkin itu suara angin atau kucing saja.

"Sekitar seminggu ini, aku sudah diminta tiga kali membenarkan lampu di halaman. Katanya lampunya sering menyala sendiri, terus mati sendiri. Aku sudah perbaiki, tapi besoknya rusak lagi. Mungkin setelah ini aku bakal panggil temanku."

Vanila sedikit terkejut, mengamati penampilan si pemuda. "Oh, jadi Bapak ini petugas listrik, ya?"

"Iya, Dik. Ini aku bawa alatnya. Dan, aku masih dua puluh lima tahun. Jangan panggil 'Bapak', hehe."

"Oh, ya, maaf."

Si pemuda mengembus napas saat melihat Vanilla tersipu.

"Dik Vanilla kenapa kok tertarik dengan rumah ini?"

Vanilla sedikit enggan menjawab, membuang muka, tak bersuara. Maka si pemuda memberi dorongan dengan memanggil nama si perempuan, melihat wajahnya lekat tanpa berkedip.

Mendapat perlakuan demikian, Vanilla pun buka mulut. "Anu, sebenarnya saya sedang ingin membantu teman saya."

"Membantu teman?" Dahi juga kening pemuda berkerut.

"Iya. Teman saya ini dituduh melakukan kejahatan oleh orang-orang. Tapi, saya tidak percaya. Jadi, saya ingin membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Dan, akhirnya saya sampai ke sini. Saya yakin rumah ini merupakan petunjuk yang akan membawa pada pelaku sebenarnya. Ya, dengan mengetahui misteri di balik rumah ini, saya bisa menemukan pelaku sebenarnya!"

Vanilla mengatakannya dengan perasaan menggebu-gebu. Sesekali tas ikut bergoyang sehingga gantungan kunci yang terkait jadi berdencing-dencing.

Seketika dia teringat kejadian tempo silam. Ketika Tubruk pulang bersamanya, melewati rumah kosong ini. Lelaki itu tak merespons saat diajak bicara, netra terus terpatri pada bangunan besar di hadapan, keringat bercucuran dari dahi, kedua matanya bergetar hebat, napas tak beraturan.

Apa yang menyebabkan Tubruk sebegitu takutnya dengan rumah kosong ini?

Si pemuda tersenyum salut. "Kalau begitu, aku akan ikut membantu Dik Vanilla untuk membuktikan teman Adik yang tidak bersalah. Aku yakin Adik pasti bisa mendapatkan yang Adik inginkan."

"Terima kasih."

Duduk berdua di tembok rendah, ditemani suasana malam, si perempuan dan si pemuda diliputi perasaan canggung. Karena rasa sungkan kadang menjadi pembatas keakraban, apalagi mereka baru saja bertemu.

"Jadi ... bagaimana?" tanya Vanilla.

"Ayo kita masuk ke rumah ini dulu."

"Ah, iya." Vanilla memasukkan botol ke samping tas, lalu ikut si pemuda untuk berdiri, melangkah menuju halaman rumah kosong. Pemuda itu mengeluarkan senter yang kemudian dinyalakan.

Rupanya, selain tas selempang, pemuda itu pula membawa kotak perkakas. Sebagai petugas listrik yang hendak bekerja, tentu alat-alat tak lupa dia bawa.

Halaman rumah begitu luas, ditumbuhi rerumputan liar. Tidak dijumpai adanya pot atau tanaman hias yang dibudidayakan. Keadaan di situ tampak terbengkalai. Hanya ada satu lampu pada tiang di sudut, itu pun pencahayaan redup.

Si pemuda terlebih dahulu mengecek keadaan lampu listrik. Vanilla diam mengamati, di tangannya ada senter pinjaman. "Sepertinya lampu halaman masih menyala, tapi kurasa perlu diganti. Hem, baiklah, besok kupanggilkan temanku untuk menanganinya."

Vanilla setuju. Setidaknya lampu itu harus diganti supaya keadaan sekitar tidak terlalu gelap.

"Ayo, Dik Vanilla. Adik penasaran, 'kan, dengan rumah itu?"

Vanilla terkesiap. Si pemuda menepuk pundaknya, kemudian menggiring menuju rumah kosong besar itu. Perempuan tersebut amat gugup juga khawatir. Rumah yang konon angker, tiada satu pun berani mendekat. Kira-kira misteri apa yang ada di dalam?

Misteri apa yang menyebabkan ketakutan Tubruk terhadap rumah kosong ini?

Di tengah jalan sebelum menuju pintu masuk, Vanilla memperhatikan, mencermati, menelaah tampang serta penampilan si pemuda. "Anu, apa Kakak hari ini memperbaiki listrik di rumah yang pemiliknya bernama Pak Gandung?" tanyanya.

Si pemuda tampak berpikir sejenak. "Hm? Ah, Gandung. Iya. Kenapa Adik bisa tau?"

Vanilla menjentik jari dan berseru senang. "Sudah kuduga! Tadi kita bertemu di depan rumah itu, lo, Kak. Suatu kebetulan kita bisa bertemu lagi di sini."

"Wah, iya, ya. Padahal jarak rumah Gandung dengan rumah kosong ini lumayan jauh."

"Iya. Dari sini, jalan kaki ke jalan raya, terus mencegat angkot, baru bisa sampai ke sana."

Perbincangan nan asyik itu terpaksa harus berhenti karena mereka sudah sampai di depan rumah. Gelap, begitulah kesan pertama. Tertutup, itu kesan kedua. Besar, adalah kesan ketiga ketika kepala menengok ke atas.

###

17 Juni 2020

Biar dianggap rajin 😂 padahal mageran

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top