1. Vanilla-1

Ingatan samar bahwa peti-peti mati dijunjung bersama-sama oleh kaum adam yang melangkah tergesa menyisiri tepi jalan. Rombongan itu terus melangkah, kemudian akhirnya berhenti pada tempat tujuan, yakni pemakaman umum nan luas, tetapi sulit dilewati sebab banyak patok tertanam.

Ingatan kabur tentang ibu-ibu yang menangis histeris, meraung bagai kesurupan, meratapi, pasrah menyaksikan peti-peti mati itu dikuburkan. Ingatan sayup-sayup bahwa akhirnya giliran peti terakhir untuk dikebumikan. Peti yang seolah dibedakan tersendiri dengan corak serta warna kain berbeda.

Ingatan buram tentang empat remaja laki-laki dan enam remaja perempuan murid sekolah menengah yang tewas, dibungkus dalam kantong mayat yang dijejer pada ruangan luas. Ingatan redup tentang foto-foto mereka yang dibawa oleh masing-masing keluarga, baik ibu, bapak, maupun saudara, di acara pemakaman. Ingatan remang-remang tentang salah satu keluarga yang dikeroyok habis-habisan oleh hujatan, ejekan, dan berbagai pertanyaan tak terjawab.

Salah seorang perempuan berseragam sekolah yang berdiri di antara kerumunan tampak geram, menyaksikan pemandangan kisruh di depannya yang sudah tak dapat ditenangkan lagi. Perempuan itu berkata dalam hati.

Aku tidak percaya Tubruk membunuh Chocolate dan temanku lainnya, lalu bunuh diri, secara sadar. Pasti ada orang rahasia yang memaksanya melakukan hal itu. Aku akan mencarinya, dan pasti menemukan orang itu!

***

Suatu pagi di kelas ketika kabut tebal berwarna kelabu seolah bertebaran di luar, menutupi seisi sekolah dan membuat jarak pandang menjadi terbatas. Terpampang label 2-E di atas pintu kelas, saat seorang murid perempuan berambut panjang masuk, menjumpai bahwa sudah ada tiga temannya-dua perempuan dan satu laki-laki-yang telah datang, duduk pada bangku masing-masing.

"Selamat pagi," begitulah ucapnya sekilas, setidaknya untuk memecah keheningan nan melanda. Setelah itu, gadis tersebut duduk di kursi pada bagian tengah ruangan, meletakkan tas hitamnya yang memiliki gantungan kunci berupa ikon krim kocok.

Namanya adalah Vanilla.

Lelaki berkacamata yang duduk di bangku belakang dekat jendela adalah Americano. Sedangkan, dua perempuan lain adalah Milk dan Milkshake, yang duduk bersebelahan di meja nomor dua dari meja guru. Milk memiliki surai sebahu nan mengilap, sementara Milkshake posturnya nyata lebih tinggi, dengan rambut bergelombang nan diikat.

Vanilla diam sejenak, lalu bertopang dagu, secara refleks menengok ke arah jendela, pada pepohonan dan tanaman hijau yang memenuhi taman, mungkin juga lapangan berumput segar, atau bisa saja kabut tebal nan menyelimuti sekolahnya.

Seolah-olah gadis tersebut bertanya-tanya, apa hal yang bakal terjadi esok hari? Bagaimana aktivitasnya, akan berjalan lancar seperti biasa atau tidak? Berapa persenkah peluang dia tetap bisa bersekolah dengan normal di sana?

Tanpa sadar, wajah yang melamun dan sibuk berpikir itu makin muram. Seketika, bibirnya membuka, menghasilkan gumaman, "Hari ini aku pasti bisa menemukan siapa 'orang itu' sebenarnya."

***

Kelas berjalan dengan khidmat. Para murid duduk pada bangku masing-masing dan guru mengajar di depan papan tulis. Akan tetapi, ada suatu hal yang tidak biasa jika dicermati lebih teliti, yakni meja-meja dan kursi-kursi di belakang dibiarkan kosong, padahal jam dinding telah menunjukkan pukul tujuh lewat belasan menit. Meja serta kursi yang tak diisi itu seolah sengaja tidak dijamah untuk alasan tertentu.

Teman-teman sekelas Vanilla masih bisa mengikuti KBM dengan tenang, ditemani suara kipas angin di langit-langit dan suasana pagi berkabut nan menghampar di luar. Cuaca kelabu berawan nan sendu tak bisa mematahkan semangat menuntut ilmu mereka.

Bapak guru di depan mendeham satu kali, sebelum berbicara, "Nggg.... Karena tugas yang diberikan Pak Lupine minggu lalu sudah dikumpulkan, jadi Bapak akan memberikan materi selanjutnya."

Pak Guru kemudian duduk pada bangkunya, yang terdapat tumpukan kertas-kertas di atas meja, untuk membaca bahan pelajaran berupa buku paket tebal berjudul "Biologi Dasar".

Di kala pelajaran tengah berlangsung, Vanilla tak dapat memfokuskan pikirannya. Tampak jelas sekali dia berusaha untuk tetap berkonsentrasi, tetapi usaha tersebut selalu gagal sebab otaknya terus saja memikirkan hal lain yang dianggap sangat penting untuk dilakukan.

'Aku harus melakukannya hari ini.... Aku harus melakukannya.... Aku tidak boleh gagal.... Aku harus menemukannya...!'

***

Siang nan mendung kala awan kelabu memenuhi angkasa. Pada tepi jalan beraspal nan sepi, walaupun kadang beberapa kendaraan berlalu, sejumlah siswi yang mencangklong tas berjalan berbarisan sambil berbincang-bincang. Salah satu kelompok siswi itu ialah teman-teman sekelas Vanilla tadi, sementara Vanilla sendiri berjalan di belakang mereka.

Hal yang biasa bila para siswi mengobrol tentang bagaimana keseharian mereka di sekolah, membahas produk tertentu, atau membicarakan pelajaran nan sulit. Kemudian, seusai itu langsung pulang ke rumah masing-masing. Namun, hal yang satu ini tidaklah demikian.

Salah seorang siswi, sebut saja siswi A-yang memiliki rambut bergelombang, berujar, "Eh! Eh! Tahu tidak? Kalau dipikir-pikir, sebenarnya Tubruk itu orangnya rebel, ya?"

"Pemberontak begitu maksudnya?" balas temannya, siswi B-yang mempunyai model rambut pendek sebahu.

"Iya, kan," si siswi A agak memelankan suaranya, "dia membunuh sepuluh temannya, terus bunuh diri...."

Siswi B menampakkan muka muram, bak ikut masuk lebih dalam ke perbincangan ini. "Benar, benar, Tubruk benar-benar tidak bisa kumaafkan. Teman-teman sekelas juga tidak. Aku sangat kecewa dengannya. Sebenarnya apa yang menyebabkan dia sampai segitunya?"

Tiba-tiba, datang dari belakang, seorang siswi lain dengan tas bergantungan kunci ikon krim kocok.

"Tubruk tidak salah!" serunya.

Siswi A dan Siswi B sontak menoleh ke belakang dengan terkejut. Vanilla-lah yang mengatakannya.

"Tubruk tidak melakukan satu pun hal yang salah! Yang salah adalah ... orang yang menyuruhnya melakukannya!"

Baik Siswi A maupun Siswi B tampak bingung. "Orang yang menyuruh?"

"Ya! Pasti ada orang lain yang menyuruhnya untuk mengambil senapan lalu menembaki sepuluh teman kita! Setelah itu, dia tidak terjun, tapi didorong sampai terjun dari atap, seolah-olah dia itu bunuh diri!"

"Vanilla...." Siswi A terheran-heran dengan sikap perempuan di depannya.

Siswi B agak gusar, berucap, "Vanilla, aku pikir kau tidak perlu berpikir sampai sebegitunya. Toh, semua hal itu sudah terjadi. Kau pikir kau ingin hal seperti itu berulang lagi?"

Vanilla mengejam netra, menggeleng pelan seolah bersikukuh menegaskan keinginannya. Kemudian, dia membuka mata, bermuka mantap, "Milk, Milkshake, aku.... Aku akan menyatakan 'delay'!"

"Vanilla...."

Keheningan jalan raya saat itu menyisakan tiga siswi yang saling berdiam diri di tepi, tanpa menyadari hal terburuk yang akan terjadi berikutnya di masa dekat.

***

Di pinggir jalan, seorang siswi melambaikan tangan, satu kendaraan umum perlahan berhenti. Vanilla, yang masih berseragam sekolah, naik angkutan kota berwarna kuning, masuk ke dalam lalu duduk di sebelah ibu-ibu dan murid sekolah lain. Angkot itu pun segera melaju lagi.

Di depan portal masuk suatu perumahan, Vanilla turun, membayar jasa tumpangan. Tampak rumah-rumah berdesain bagus dengan cat dan model nan estetis. Vanilla lantas berjalan menyusuri tepi, melewati rumah-rumah apik.

Langkah siswi itu terhenti tatkala dia berada di depan sebuah rumah tingkat dua berpagar hitam. Rumah tersebut memberi kesan tertutup; pintu tak terbuka, jendela terkatup, gerbang terkunci. Vanilla hanya bisa menelaah dari depan, mencoba menelisik keadaan di dalam.

Dia mengetuk gerbang, "Permisi...."

Hening, diketuklah lagi gerbang besi, "Permisi!"

"Permisi! Permisi! Permisi!"

Nihil, tak ada jawaban.

Vanilla memutuskan untuk menghentikan ketukan, kemudian menoleh ke kanan, kiri, belakang, untuk mencari bilamana ada sesuatu yang setidaknya bisa membantu si siswi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top