Long Distance Relationship
Kalau di sini, gak usah pelan-pelan bacanya, apalagi di bagian awal. Penjelasannya kayak materi PAS, banyak.
-----
Kira-kira, sudah hampir 4 tahun sejak mereka lulus SMA. Seperti rencana awal, Fauzi menempuh pendidikan kuliahnya di Amerika, tepatnya di Universitas Harvard. Ia memilih untuk berkuliah di sana agar bisa tinggal dekat dengan ayahnya yang bekerja sebagai jurnalis di sana. Sedangkan, Kayla memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Ia mengambil Jurusan Manajemen di Universitas Indonesia, dengan alasan untuk meneruskan bisnis besar milik keluarganya.
Awalnya, Hinata dan Ichirou berkuliah di tempat yang sama, yaitu Universitas Tokyo. Setelah kelulusan mereka, Ichirou mendapat tawaran beasiswa S1 di Okinawa. Ichirou merasa ragu untuk menerima tawaran itu, Hinata sendiri juga merasa berat untuk berpisah dengan sang pemuda. Namun akhirnya, Ichirou memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di Universitas Okinawa, dan Hinata hanya bisa ikut mendukung keputusannya itu.
Yah. Dengan kata lain, kedua pasangan ini sama-sama menjalani hubungan jarak jauh, atau lebih dikenal sebagai LDR.
Memang hubungan jarak jauh terkenal sulit untuk dilakukan, mengingat kita berada jauh dari pasangan dan tidak tahu apa-apa saja yang dia lakukan di sana. Hal itulah yang juga ditakuti oleh Hinata. Ia takut Ichirou akan berpaling darinya dan menjalin hubungan dengan gadis lain, tanpa sepengetahuan dirinya. Ia juga takut Ichirou akan jarang berkomunikasi dengannya karena kesibukannya di sana sebagai seorang mahasiswa. Dan ia juga masih punya segudang kekhawatiran lain yang tidak akan kutuliskan satu-persatu karena keterbatasan waktu.
Pfftt- seharusnya Hinata tidak perlu sekhawatir itu. Buktinya, selama ini Ichirou selalu menyempatkan diri untuk mengirim pesan pada Hinata. Walau itu hanya sebatas sapaan pendek, bertanya kabar, atau pengingat bagi gadis itu untuk makan, minum obat, dan tidur yang cukup. Kadang Hinata bingung, sebenarnya yang kelak akan menjadi istri itu siapa?
Oh iya, aku belum menjelaskan ya kalau Hinata itu punya penyakit?
Sejak awal kelas 12, penglihatan Hinata mulai terasa semakin buram, bahkan ia bisa saja jatuh di sembarang tempat karena kelelahan atau karena kakinya yang mati rasa. Terkadang, Hinata juga merasa pusing dan matanya berkunang-kunang, layaknya seorang penderita vertigo. Ia agak kebingungan dengan masalah tubuh yang kompleks ini, sehingga memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter.
Dan berdasarkan diagnosis dari seorang dokter bernama Ai, Hinata mengidap sebuah penyakit gangguan syaraf bernama multiple sclerosis.
Iya, aku yang menjadi dokternya. Kenapa? Mau protes?
Awalnya, Hinata ingin menyimpan sendiri tentang penyakitnya ini. Namun, tanpa sengaja, Nao menemukan catatan diagnosis dokter mengenai penyakit Hinata dari dalam laci pakaian milik kakaknya itu. Nao langsung melaporkan hal ini kepada orang tua mereka, dan tentu saja pasangan yang bernama Akiko dan Fuma ini sangat terkejut ketika mengetahui kebenaran tentang penyakit anaknya itu.
Sejak itu, Hinata terus menjalani perawatan intensif dari Ai-sensei yang kini seperti dokter pibadinya sendiri. Kedua orang tuanya juga berusaha lebih keras untuk membayar semua biaya perawatan itu, baik untuk terapi maupun obat. Akiko yang tadinya hanya seorang ibu rumah tangga biasa, kini bekerja menjadi pelayan di sebuah restoran yang lumayan dekat dengan rumah sakit tempat Hinata dirawat.
Ketika Hinata akan menemui Ai-sensei, biasanya Nao yang akan menenaninya ke rumah sakit, menungguinya, dan pulang bersamanya. Nao yang tadi sudah protektif jadi lebih protektif lagi. Hinata tak tahu apakah ia harus senang atau tidak dengan hal itu.
Oh, dan tentu saja teman-teman Hinata juga mengetahui kondisinya. Reaksi mereka kurang lebih sama dengan orang tuanya, terkejut dan tidak percaya. Awalnya, mereka jadi overprotektif sekali pada Hinata. Hingga gadis itu mengutarakan ketidaknyamanannya, membuat perlakuan mereka berubah seperti sedia kala. Walaupun tak jarang mereka melarang Hinata untuk melakukan hal yang sekiranya memberatkan tubuhnya.
Orang-orang di sekitar Hinata sangat memperhatikan dan mendukungnya selama masa-masa perawatan ini. Namun, kondisi Hinata tak kunjung membaik, malah semakin parah. Kini, ia hanya bisa duduk dan berbaring di atas bangsal rumah sakit, dikarenakan kedua kakinya yang tidak bisa digerakkan. Terpaksa ia tak melanjutkan kuliah karena kondisinya yang seperti ini.
Hidupnya bergantung pada kantung infus dan obat-obatan yang senantiasa ada di sisi tempat tidurnya. Hinata pun tak bisa berbicara dengan normal seperti sebelumnya. Untuk mengatakan dua-tiga kata saja, ia sudah kepayahan. Sehingga, ia lebih sering menggunakan bahasa isyarat sederhana untuk memberitahukan keinginannya pada orang lain, walau pergerakan tubuhnya juga makin sulit dikontrol.
Astaga, kalau ditambah dengan gejala awal, komplikasinya jadi banyak sekali. Bahkan, aku belum membahas soal ingatan jangka panjang Hinata yang terganggu, atau penurunan kemampuan otaknya yang kini hanya bisa fokus pada satu kegiatan saja, belum lagi penurunan kepekaan indra. Ah, aku jadi tidak tega. Maafkan aku, Hinata.
Selama Hinata berada di rumah sakit, ketiga anggota keluarganya bergantian untuk menjaganya. Namun belakangan ini, Fuma sering ditugaskan ke luar kota untuk waktu yang cukup lama oleh atasannya, sehingga ia tak memiliki waktu lebih untuk menemani putrinya itu. Hinata sendiri tak masalah dengan hal itu, asal ayahnya selalu sehat dan baik-baik saja.
Katakan itu pada dirimu sendiri, Hinata. Kau sama sekali tidak baik-baik saja saat ini.
Di saat pagi, biasanya Akiko yang akan menemani Hinata, karena anak bungsunya harus berangkat ke sekolah. Barulah saat sore harinya, Nao yang menjaga Hinata, bertepatan dengan dimulainya shift kerja ibunya.
Terkadang, Yae dan Haru menjenguk Hinata di akhir pekan. Biasanya, mereka akan belajar bersama, makan bersama, mengobrol bersama, atau menonton televisi bersama. Kini, hubungan Haru dan Nao semakin dekat karena mereka sekelas. Hinata sangat mendukung berlayarnya kapal ini. Lagipula, Ichirou juga tak keberatan.
Ah ini sudah 875 kata. Mungkin penjelasannya cukup sampai di sini saja. Mari kita berpindah ke timeline berikutnya.
Tunggu, sudah berapa kali aku merusak 4th wall?
***
Saat ini, Hinata hanya sendirian di ruang rawatnya. Netra dark blue miliknya memandangi langit senja yang berwarna kemerahan. Burung-burung terbang beriringan di angkasa, hendak pulang ke sarang mereka. Hinata menghela napas seiring semilir angin dingin bertiup menyapu dedaunan yang gugur menimpa tanah berwarna putih di jalanan.
Sore ja, apakah kata-kataku sudah mempresentasikan musim saat ini?
Gadis yang terduduk di atas ranjang itu merenung, berusaha mengingat-ingat apa yang sedang ia lakukan saat ini. Tadi, ibunya meninggalkan rumah sakit lebih awal karena panggilan tugas dari restoran tempat ia bekerja. Sedangkan, Nao belum pulang dari sekolah karena ada kelas tambahan.
Berarti, Hinata memang sedang tidak melakukan apa-apa. Ia hanya menunggu sesuatu terjadi, karena ia bosan.
Hinata menaruh jari telunjuknya di dagu, memasang pose berpikir. Baiklah. Karena sekarang sudah ingat, apa yang harus ia lakukan sekarang? Hinata tidak ingin lama-lama menatap salju yang menumpuk di jalanan. Hal itu membuat tubuhnya menggigil kedinginan, walau ia tidak menyentuh salju sama sekali. Mungkin itu sugesti, entahlah.
Drrtt, drrtt, drrtt...
Nada dering yang biasa.
Hinata menoleh ke arah sumber suara, dan mendapati smartphone-nya yang berbunyi di atas nakas. Merasa mendapatkan jawaban atas kebingungannya, ia bergeser sedikit dari duduknya, dan mengulurkan tangannya untuk meraih benda tipis itu.
'Setidaknya, aku ada kerjaan sekarang.' Kira-kira seperti itulah yang dipikirkan Hinata. Begitu melihat nama kontak yang meneleponnya, netra dark blue Hinata langsung melebar.
Utaka Ichirou
Nama kontak yang biasa.
Hinata terdiam dalam kepanikan. Kenapa Ichirou tiba-tiba meneleponnya? Apa yang ingin ia bicarakan? Apa ada sesuatu yang penting? Kenapa ia tidak memberitahukannya lewat pesan saja? Atau ini pembicaraan serius yang harus disampaikan langsung? Apakah ini soal lamarannya?
Oke, yang terakhir itu agak ngawur.
Gadis bersurai dark brown itu mengatur nafas sejenak. Dengan keyakinan yang lebih besar dari rasa ragunya, ia menekan tombol jawab pada panggilan itu.
"Mo - moshi..."
Sapaan awalnya juga biasa.
Lengang. Tak ada yang menjawab di seberang sana.
"A - ano-"
"Ah! A - apa suaraku sudah terdengar?"
Hinata agak kaget mendengar suara Ichirou. Ia mengangguk sambil bergumam kecil, supaya pemuda di seberang mengerti maksudnya.
"Sou, yokatta."
Suasana kembali hening. Sepertinya Ichirou tak tahu lagi ingin membicarakan apa.
"Dou...shite?" Hinata memberanikan diri untuk bertanya. Tangannya memilin selimut yang ada di pangkuannya. Ternyata, berbicara di telepon itu lebih terasa gugupnya daripada mengirimkan pesan biasa.
"Eh, kena- oh, maksudnya kenapa aku meneleponmu?" Hinata mengangguk menanggapi pernyataan Ichirou, walau ia tahu sang pemuda tak bisa melihatnya.
"Itu... sebenarnya tadi aku tidak sengaja menekan tombol panggilan. Tadinya ingin kumatikan, tapi aku ingin mendengar suaramu. Jadinya ya... gitu."
"Hoo..." Hinata manggut-manggut. Ia kembali diam, menunggu kelanjutan dari perkataan Ichirou.
Terdengar grasak-grusuk sejenak, kemudian suara bariton itu kembali terdengar. "Sore ja, genkidesuka?"
Hinata tersenyum kecut, sadar bahwa itu hanyalah basa-basi semata. "Aika....warazu."
Ichirou terdiam di seberang sana. "Souka..."
"Ne, sebenarnya... aku ingin bertanya padamu. Bolehkah?"
"U - um." Lagi-lagi Hinata mengangguk.
"Apa... selama ini kau tersiksa dengan penyakit itu?"
Pertanyaan tak terduga dari Ichirou membuat Hinata tertegun.
"I - iya." Ia menundukkan kepalanya sambil menjawab lirih.
Hinata merasa amat tersiksa dengan penyakit ini, membuatnya tak bisa beraktivitas seperti biasa. Bahkan, ia terpaksa berhenti kuliah karena kondisinya yang tak memungkinkan.
"Apa kau pernah berpikir kalau kau hanya bisa merepotkan orang lain?"
Hinata mencengkram selimutnya, menahan rasa tangis yang tiba-tiba datang. "I - iya."
Ia teringat ibu dan ayahnya yang harus bekerja lebih keras demi melunasi biaya perawatannya. Nao juga pasti merasa lelah karena harus membagi waktu antara belajar di sekolah dengan dirinya. Hinata merasa frustasi karena terus merepotkan orang-orang di sekitarnya.
"Apakah kau pernah merasa..." Ichirou menjeda kalimatnya. Dari suaranya, jelas ia merasa enggan membicarakan hal ini.
"...ingin bunuh diri?"
Pertahanan Hinata perlahan runtuh. Suara isakan kecil keluar dari mulutnya.
"I - iya..."
Penyakit ini sangat menyiksanya, baik lahir maupun batin. Ditambah rasa tertekannya karena tak bisa melakukan apapun, membuatnya beberapa kali ingin mengakhiri hidupnya. Namun, ia tak pernah berani melakukannya. Ia tidak akan bisa merenggut nyawanya sendiri. Hinata terlalu penakut.
"A - aku... ingin... mati."
Kini, pipinya sudah basah oleh air mata. Begitupun selimut yang sedari tadi ia cengkram erat.
"Tapi... aku... ingin... hidup." Dengan susah payah, Hinata mengatakannya. Isakan demi isakan mengiringi kata-katanya yang diucapkan dengan suara tercekat.
"Karena... kalian!"
Tangisannya pecah tak tertahankan. Ichirou di seberang sana terdiam, tak tahu harus berkata apa begitu mendengar jawaban dari pertanyaannya. Hinata pun tak mempedulikan hal itu. Ia hanya ingin meluapkan emosinya di depan Ichirou saat ini.
Ah, tidak secara langsung di depannya, maksudku.
Kini, suara dalam panggilan itu hanya berisikan suara tangis dan isakan Hinata. Butuh beberapa saat bagi sang gadis untuk menenangkan dirinya, dan selama itu Ichirou tidak berbicara barang satu kata pun.
Dirasa tangisan gadis di seberang teleponnya sudah berhenti, Ichirou memutuskan untuk buka suara.
"Itu... tidak masalah menurutku."
Hinata tidak membalas perkataannya. Ichirou kembali berdehem, dan lanjut berbicara.
"Kalau mati membuatmu merasa lebih bahagia, aku... tak masalah. Yang paling penting adalah kebahagiaanmu. Benar, kan?"
Hinata menggeleng cepat. Tidak. Kalau mati membuatnya terpisah dari Ichirou, ia tidak ingin mati. Selama Ichirou hidup, ia tidak ingin mati. Kalau kematiannya akan membuat semua orang sedih, ia tidak ingin mati. Kalau saja ia tidak menderita penyakit ini. Kalau saja ia bisa meminta pada Dewa untuk mendapat akhir yang lebih bahagia. Kalau saja-
"Dengar," ujar Ichirou, membuat Hinata kembali fokus padanya.
"Kita tidak akan bisa menentang kehendak Dewa. Kalau Ia menginginkanmu mati, maka kau akan mati. Kalau Ia menginginkan seseorang mati, maka orang tersebut akan mati."
"Sama... seperti Hikari."
Hinata terdiam, menyadari kesedihan yang terselip dalam kata-kata Ichirou barusan. Mereka berdua sama-sama pernah kehilangan orang yang berharga. Jadi, Hinata kurang lebih paham apa yang dirasakan Ichirou.
Terdengar helaan napas pelan dari seberang. "Kalau kau ingin tetap hidup, setidaknya lakukan sesuatu yang bisa membuatmu bahagia. Buatlah dirimu bersyukur dengan kehidupan ini, sehingga kau bisa mengikhlaskan semuanya ketika waktunya tiba."
Keduanya kembali terdiam. Hinata menggigit bibir, mati-matian menahan air mata yang hampir tumpah. Ichirou benar. Semua makhluk hidup pasti akan merasakan kematian. Suatu saat, kita harus meninggalkan hal-hal berharga di dunia ini. Dan yang bisa kita lakukan saat itu hanyalah mengikhlaskannya.
Di sisi lain, Ichirou membuka pintu beranda kamarnya. Ia berdiri di belakang pagar pembatas, membiarkan angin dingin menyapu wajahnya. Tangannya masih setia menggenggam smartphone yang penggilannya masih terhubung. Ia mendongak, menatap langit yang perlahan menggelap.
"Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga, Hinata," bisiknya lembut, walau suaranya agak parau karena menahan tangis.
"Aku tidak akan menentang apapun keputusanmu, asalkan kau bahagia." Tak terasa, setetes liquid asin jatuh ke pipi Ichirou. Ia dengan cepat menghapusnya, berusaha menguatkan hatinya untuk Hinata, wanita yang ia sayangi itu.
Di seberang sana, Hinata kehilangan kata-kata. Ia ingin bahagia, tetapi ia juga ingin Ichirou bahagia. Tidak adakah cara supaya mereka berdua mendapat kebahagiaan yang sama?
"Ichirou... harus... bahagia!" Genggaman pada smartphone-nya mengerat. Ia tidak tahu lagi harus berbicara apa. Setidaknya, ia sudah mengungkapkan keinginannya. Kalau ia diberi kesempatan untuk meminta pada Dewa, maka Hinata akan meminta kebahagiaan untuk Ichirou.
Sang pemuda tak menjawab. Namun, suara isakannya terdengar jelas di telinga Hinata.
Wajar bagi manusia untuk mengharapkan kebahagiaan bagi orang lain dan untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, manusia lebih sering bertindak egois semata-mata hanya untuk kebahagiaannya, tanpa memikirkan orang lain. Hinata tahu Ichirou tidak ingin hal itu terjadi. Maka, menurut sang pemuda, akan lebih baik mengorbankan kebahagiaannya demi Hinata.
Walau begitu, sepertinya hatinya masih belum sekuat perkataannya.
"Wa - wakarimashita," ujar Ichirou lirih.
Hubungan cinta yang terhalang oleh jarak memang menyakitkan. Tetapi, hubungan cinta di tengah takdir yang tak mau bekerja sama akan terasa lebih menyakitkan. Mau tak mau mereka harus mengikuti alur takdir, walau itu akan menyakiti mereka berdua.
Namun setidaknya, ada satu hal yang bisa memberikan kebahagiaan bagi mereka berdua.
"Watashi...tachi... ongaku... shiawase... yo... ne?"
Tak ada balasan, namun Hinata yakin Ichirou tengah tersenyum sekarang.
Sejak kecil, mereka berdua sangat menyukai musik. Saat kelas 10, mereka berdua bisa dekat karena sama-sama mengikuti klub musik di sekolahnya, dengan Fauzi dan Kayla juga. Yang tadinya hanya sekedar kegemaran, kini musik bagaikan tujuan hidup mereka. Walau tak terlalu tampak, jiwa musik mereka akan selalu hidup selama hayat masih dikandung badan.
Mau bagaimanapun keadaannya, musik akan selalu menjadi tujuan mereka untuk hidup.
"Ya," jawab Ichirou mantap. Kemudian, suaranya yang ceria kembali mengambil alih. "Ngomong-ngomong, kau sudah dengar kalau Mafu akan mengeluarkan album terbarunya?"
Gadis itu membulatkan mata terkejut. Bisa kita simpulkan bahwa ia belum tahu soal berita itu.
"H - hontou?" tanyanya memastikan.
Ichirou terkekeh. "Iya. Albumnya agak mahal, jadi aku sudah mulai menabung dari sekarang. Kalau kau mau pinjam nanti, bilang saja, oke?"
"Um!" Hinata mengangguk riang dengan aura fuwa-fuwa di sekitarnya. Suasana hatinya dengan cepat membaik. Dengan melupakan percakapan sebelumnya, kini mereka membahas seputar Mafu dan utaite lainnya, terkadang juga diselingi dengan cerita Ichirou tentang kehidupan sehari-harinya di asrama Okinawa.
'Dengan bicara padamu seperti ini pun, aku sudah bahagia, Ichirou-kun.' Diam-diam Hinata mengulas senyum.
-----
Bab ini pun berakhir dengan bahagia.
Oh iya. Enam hari yang lalu, Ai dapat kabar dari Emak Sharon. Katanya, Ai dapat kesempatan buat namatin buku ini sampai tanggal 15. Yeay! Makasih banyak, DeadChuu (*^▽^*).
Btw, yeay lagi karena Ai bisa tag akun
ヽ(・ω・。ヽ)
Oke. Karena deadline-nya besok, Ai harus buru-buru ngerjain bab selanjutnya alias bab terakhir. So, let's go!
Kalau ada salah kata, mohon diperbaiki. Karena Ai gak revisi ulang sama sekali. Entaran aja pas udh selesai project-nya, hehe.
Terima kasih banyak sudah membaca dan sampai jumpa di chapter selanjutnya. Bay bay~
14 Desember 2021
- [Ai]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top