[8] Sikapnya Berubah Dingin

Neo belum juga menampakkan diri. Sekarang sudah pukul setengah delapan malam. Semua orang berkumpul di ruang tengah. Aku terkadang kurang paham dengan apa yang mereka bicarakan. Mereka sering menyebut namaku dan Neo tapi mereka tidak melibatkanku aku di dalamnya. Jadi aku hanya memperhatikan, duduk di lantai jauh dari perdebatan kecil mereka.

Pria yang aku temui di tangga bernama Anjar. Sedangkan ada satu pria lagi bernama Gera. Dia lebih sibuk di dalam ruangan. Aku sempat masuk di sana seperti studio rekaman ada tiga komputer dan peralatan lain seperti pelantang dan beberapa pengeras suara.

"Kalau kamera overhead gitu gimana?" Bima menyiapkan menepuk tangga lipat yang berdiri di sampingnya. "Aku bisa mengaturnya. Jadi kita shot permainan Dita dari belakang tapi agak dari atas."

"Sesuai konsep konsep kita gak? Kalau model begitu percuma dong Dita aku rias kalau gak kelihatan mukanya." Sabrina berdiri di depan drum sedangkan ada Anjar tak jauh dari sana. Sedangkan Leo berdiri di balik drum.

"Mungkin hanya sebagai transisi aja. Biar kita juga bisa tunjukin permainan Dita dari perspektif yang berbeda," Leo menambahkan.

Mereka semua bukan bebicara satu sama lain, tapi semua pembicaraan mengarah ke Anjar. Sedangkan lelaki itu tampak berpikir tatapannya mengarah ke lantai sambil mengusap dagu. Semua menunggu keputusan dari dia.

"Kita coba atur kamera besok pagi saja," kata Anjar akhirnya. "Sekaligus kita atur lighting-nya."

"Saat bagian awal kan mereka main versi akustik, itu berarti ini semua harus disingkirkan dulu?" Bibim sudah meninggalkan tangga lipat dan beralih ke boks berisi beberapa lensa kamera.

"Ada tiga setting nanti. Pertama di ruang tamu kemudian di samping kolam renang dan di sini. Eh, urutanya ada di storyboard." Anjar berjalan ke arah Sabrina. Memberikan beberapa lembar kertas yang baru saja diambilnya di tas ransel di samping boks kamera. "Kira-kira kalau kita gunakan perspektif berbeda-beda, mungkin butuh waktu paling banyak di sini. Dita bisa take lima kali main di sini. Karena dari storyboard yang aku buat sama Neo, dia bermain dua kali, bagian tengah dan akhir."

Aku semakin tidak paham. Apakah aku harus bermain drum full set? Neo tidak pernah membicarakan ini.... oh tunggu kapan hari Neo pernah tanya. Aku gak ada persiapan sumpah.

"Yang di samping kolam kita set kapan?" tanya Leo. Dia duduk di kursi drum.

"Itu gampang. Bisa besok pagi. Hanya atur sound dan mic saja. Kita bikin santai karena konsepnya akustik." Anjar kembali menatap Sabrina. "Semuanya sudah aku konsep di sini. Kamu bisa ajak Dita ke Gera biar dia mulai rekaman. Sambil nunggu Neo."

Sabrina mengangguk.

"Nanti aku nyusul ke dalam," bisik Anjar. Aku bisa membaca bibirnya walau itu suaranya cukup pelan.

Sabrina mengangguk dan dia mengalihkan pandangan ke arahku. "Dita, ayo ke Gera." Dia berjalan ke arahku lalu mengajakku ke ruangan di samping kolam renang.

Dapur dan ruang makan makan bersebelahan dengan kolam renang hanya saja terpisah oleh dinding kaca. Untuk menuju ke ruangan Gera kami perlu menuju ke kolam renang untuk bisa ke sisi lain kolam renang.

Saat kami masuk, Gera langsung menoleh. "Loh, sekarang?" tanyanya. "Neo sudah datang?"

"Belum." Sabrina menunjukkan kertas yang tadi diberikan oleh Anjar. "Dari Anjar," tambahnya.

"Ohh." Lelaki bernama Gera itu mulai menyibukkan diri dengan lembaran-lembaran itu dengan membolak-balikkan sambil kepalanya mengangguk-angguk. "Oke duduk sana dulu."

"Aku tinggal, yah?" Sabrina bertanya padaku. Dan aku mengangguk.

Aku berjalan menuju sofa ketika Sabrina keluar ruangan. Gera masih sibuk dengan lembaran-lembaran itu. Kemudian dia memberikan satu lembar kepadaku.

"Coba kamu baca partitur ini. Aku rasa kamu sudah terbiasa dengan ini." Gera kemudiam masuk ke ruangan lain. Di balik jendela kaca.

Gera membawa gitar ketika keluar. "Kamu sebelumnya pernah nyanyi kan? Atau cover lagu gitu?"

"Cuma nyanyi biasa, gak terlau serius."

Dia mengangguk. Entah kenapa orang-orang di sini lebih sering mengangguk daripada mengatakan 'iya'. Padahal dari anggukan itu malah membuatku penasaran apa yang ada dipikirannya.

"Kalau dengar orang cover lagu?" Dia langsung menambahkan sebelum aku sempat menjawab. "Oh kamu anggota band jadi sepertinya terbiasa akan itu."

Aku mengangguk. Aku tertular efek mengangguk. Kulihat Gera sudah duduk kembali di kursinya setelah meletakkan gitar.

"Acuan kita di sini adalah tempo yang kamu kirim waktu itu." Gera duduk di atas kursi beroda jadi dia lebih muda berbalik untuk menghadap ke komputer. "Kamu kan sempat mengirimkan dua versi. Versi pertama tempo santai dan yang satunya agak sedikit cepat."

Dia sibuk dengan komputer itu untuk beberapa saat. Sedangkan aku membaca partitur dengan beberapa coretan di sana. Ada juga tulisan namaku dan nama Neo. Untuk penanda bagianku berwarna kuning sedangkan Neo berwarna biru. Ada pula coretan garis panjang warna merah muda, yang kuduga bagian ketika aku dan Neo bernyanyi bersama.

"Rekaman kamu yang kemarin itu jadinya seperti ini." Dia menekan papan tik dengan keras.

Terdengar suara alunan gitar dan cajon. Aku menyapu pandangan untuk mencari di mana suara ini berasal. Ruangan 3x5 meter ini di sudut-sudut atas terdapat pengeras suara kecil. Dari sana lah suara alunan berasal.

"Kira-kira nanti seperti ini versi akustiknya yang akan kamu mainkan." Gera terus berbicara selagi alunan itu menyala. "Jadi kita coba untuk ambil rekaman suara kamu untuk nanti keperluan editing di videonya. Kalau-kalau besok waktu kita take dan ada nada yang kurang pas saat bernyanyi itu bisa diperbaiki dengan rekaman yang kita ambi dari sini."

Sumpah, aku gak habis pikir di balik video cover harus seribet ini jadinya. Aku kira cukup bernyanyi gitu aja. Apapun jadinya itu yang diunggah ke Youtube.

"Dan ini versi agak cepat." Gera mengganti alunannya. "Yang tadi dan yang ini hasil gabungan rekaman kamu dan rekaman gitar dari Neo tadi siang."

"Iya, Kak. Terus aransemen ini dimasukkan ke videonya? Jadi aku sama Neo gak perlu main musik lagi."

"Itu beda lagi. Instrumen ini hanya untuk acuan kamu bernyanyi saat rekaman suara." Gera memutar kursinya untuk menghadapku. "Aku jelaskan sedikit yah. Untuk besok kan kita sudah take. Dan hasil rekaman video dan audio itu adalah dua hal yang berbeda walaupun diambil secara bersamaan. Akan ada tiga hasilnya. Pertama, suara nyanyian, kedua, alat musik dan yang ketiga, visualnya.

Saat mengedit nanti kita sesuaikan nada dengan kalian nyanyikan, nanti juga diatur kapan volume suara kalian bisa terdengar seimbang jika di bagain pecah suara. Mana yang di atas dan mana yang di bawah. Di samping itu juga mengedit hasil visualnya.

Setelah itu. Ada bagian yang mana memungkinkan jika kalian bernyanyi tidak sesuai nada. Seperti yang aku jelaskan tadi itu bisa diatasi dengan rekaman suara yang kita buat lebih dulu. Jadi, kita gak perlu take ulang. Sebenarnya bisa diatur dengan cara lain tapi aku kurang bisa menguasai cara itu."

Kepalaku mulai berdenyut.

"Kenapa? Pusing yah, dengerin penjelasanku tadi?" Gera langsung tertawa. "Tenang saja kita gak ambil rekaman sekarang. Itu bisa besok pagi."

"Huft." Aku menghela napas. Aku merasa lega. "Sekarang cuma latihan saja kan?"

"Iya," kata Gera. Dia mengambil gitar, sebelumnya dia sempat mematikan alunan intrumennya. "Kita coba bait pertama yang bagian kamu."

"Cuma empat baris kan itu?"

Aku melihat partiturnya. Lalu berkata, "Iya cuma empat."

"Ayo kita coba."

Sesi latihan di bagian pertama lagu mungkin sedikit melelahkan, berjalan kira-kira lima belas menit. Aku merasa kurang percaya diri dengan suaraku, sehingga empat baris itu hasilnya kurang maksimal. Tetapi Gera tetap berusaha membantuku. Dia bahkan memberikan contoh. Sampai akhirnya menurutnya suaraku sudah cukup pas. Lalu kami mengambil waktu istirahat.

"Istirahat sepuluh menit yah. Setelah itu kita mulai bagian selanjutnya."

Kunyalakan layar ponselku. Ada pesan dari Liam.

Dari : Liam
[Sudah tidur?]

Untuk : Liam
[Belum.]

Tidak lama Liam menelepon.

"Mas, aku angkat telepon dulu yah."

Gera mengangguk dan mengangkat jempolnya ke udara. Aku langsung keluar dari ruangan itu dan berdiri di samping kolam.

Aku menggeser tombol hijau di layar ponsel.

"Assalamualaikum, Liam."

"Waalaikumsalam," sahut Liam. "Aku gabut gak tahu meski ngapain. Kamu lagi apa sekarang?"

"Lagi latihan nyanyi sama temannya Neo."

"Lah buat apa? Malam-malam begini? Gak cape kamu?"

"Bikin projek gitu. Ini aku lagi di rumah Neo. Nginap di sini." Aku mengusap tengkukku sambil memainkan air kolam dengan kakiku. "Seru sih, jadi lupa kalau cape."

"Hahaha. Padahal kamu habis latihan band juga loh."

"Ini sudah direncanakan sejak lama sih. Eh, tahunya band kita latihan hari Jumat juga. Jadinya doubel deh."

"Kalau aku ganggu gak apa kok bisa dilanjut latihannya." Liam terdengar cukup serius.

"Gak santai saja. Ini lagi istirahat sebentar."

"Aku gak sabar lihat videonya di Youtube. Kapan diunggah?"

"Ya? gak tahu aku. Ini aja masih besok pagi baru take."

"Oh, pantes kok menginap segala."

Aku menghela napas. Aku melihat Neo berjalan menuju dapur. Dia mengambil minum.

"Yasudah kamu istirahat gih. Aku tutup teleponnya yah."

"Iya, Liam."

"Selamat malam, assalamualikum."

"Waalaikimsalam, selamat malam juga."

Sambungan terputus. Aku menyimpan ponselku ke saku celana. Kakiku masih bermain air kolam yang dingin sambil sesekali melirik ke arah Neo.

Dia sudah selesai minum dan sekarang bejalan menuju kolam.

"Baru selesai teleponan sama Liam yah?" Perkataannya terdengar sakras.

"Dari mana, kamu?" tanyaku. Aku tidak berniat menjawab pertanyaannya.

"Keluar sama Bianca." Dia memberiku tatapan tidak menyenangkan. "Iya, kan? Itu anak telepon kamu."

"Yang lain sudah tunggu kamu dari tadi."

"Kenapa harus di tunggu?" Neo terlihat ketus. "Aku sudah minta batalkan projek ini. Kenapa masih juga dilanjut."

"Kamu masih marah dengan ucapan aku yang tadi?"

"Menurut kamu?"

Aku menghela napas. "Dan benar kan kamu masih melakukan kesalahan itu lagi."

"'Kita gak bisa memaksa matahari berputar mengelilingi bumi' itu kan maksud kamu?"

Dia masih mengingat kalimatku.

"Iya aku egois. Aku gak peduli dengan Sabrina dan Anjar yang jauh-jauh dari Bogor untuk projek ini."

"Kamu kenapa sih?" Aku semakin bingung dengan sikapnya kali ini.

"Ya, kamu yang kenapa. Kita kan sudah janji latihan hari Jumat," bentaknya.

"Jumat malam," koreksiku. "Dan jam tiga kamu sudah minta aku datang. Setidaknya tunggu aku selesai latihan band. Band juga penting buatku."

"Band? Bukannya yang kamu maksud supaya bisa berduaan dengan Liam?"

"Kenapa harus melibatkan Liam dalam pembicaraan sih? Liam gak ada hubungannya dengan masalahmu."

"Masalahku? Di sini yang bikin masalah itu kamu." Dia menunjukku. "Dari awal kamu memang gak ada semangat dengan projek ini."

"Siapa bilang?" Aku berjalan ke arahnya. "Siapa bilang aku gak semangat gabung projek ini? Kalau memang gak, dari awal aku juga gak kirim rekamanku ke kamu."

Aku tahu dia masih kesal. Mulutnya tertutup rapat dan rahangnya mengeras.

"Terus kenapa juga aku harus ke sini kalau bukan buat projek?" tambahku berdiri tah jauh dari posisinya berdiri.

Dia malah berjalan di depanku, dia mengarah ke studio rekaman tapi kemudian langkahnya terhenti ketika aku mengatakan sesuatu.

"Apa kamu cemburu aku dekat dengan Liam?" kataku tanpa keraguan.

Dia terpaku untuk beberapa saat. Kemudian berbalik. Sorot matanya dalam seperti yang dikatakan Gaia. Jarak kami cukup dekat. Tapi ekspresinya tidak mengisyaratkan apa-apa.

"Jadi kamu mau melanjutkan ini apa tidak?" tanyanya. Suaranya tidak terdengar kesal.

"Ya Iyalah. Aku sudah sejauh ini."

"Kalau begitu kenapa di sini?" Dia melanjutkan perjalanannya. Aku mengikuti di belakang.

Aku sedikit bingung dengan diriku. Jika dia bersikap seperti ini padaku di sekolah, pasti sudah aku semprot duluan. Aku justru lebih banyak menurut daripada memprotes. Mungkin dengan menuruti keinginannya menjadikan aku di posisi yang aman dari amarah dan sikap dinginnya.

BERSAMBUNG

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top