[4] Aku Menunggu Ini Sejak Lama

Aku dan Neo tidak saling bicara selama tiga hari. Selama itu tidak berani pinjam bolpoin atau tipek roll padaku dan dia memilih untuk meminjamnya pada Zura. Saat ujian bab matematika, aku tahu dia cukup kesulitan mengerjakan tapi dia tidak sekalipun bertanya padaku. Dia hanya bisa mengerjakan dua dari lima soal. Dan mengumpulkan seadanya dia mampu.

Aku juga bingung dengan tingkahnya. Baru kali ini melihat orang semarah ini padaku karena urusan hal sepele. Dan adegan terpentingnya adalah dia belum mengembalikan uang sepuluh ribu yang dulu. Mengenai kuncir rambutku, diam-diam dia memasukkan ke dalam tepakku, saat aku pergi ke masjid siang itu.

Berlalu mengenai semua. Sepulang sekolah, aku duduk di taman sekolah. Aku sedang menunggu jam latihan band. Sebenarnya aku juga masih belum menemukan orang untuk melengkapi timku, alih-alih aku mencarinya aku justru pasrah siapapun dia yang mau bergabung denganku, tolong datanglah. Tapi aku harus tetap ikut latihan supaya tidak ketinggalan informasi terbaru mengenai konser pentas produksi bulan depan.

Aku menghabiskan waktu dengan mendengarkan musik folk. Playlist yang kali ini ingin aku dengar. Tapi tiba-tiba Neo menarik headsetku.

"Hei!" umpatku. "Kenapa lagi? Udah selesai marahnya?"

"Kenapa belum pulang?" tanyanya.

Sepeduli itu dia sampai tanya kenapa aku belum pulang? Apa lagi sekarang? Hem!

"Latihan band," jawabku ketus. Sudah malas banget sore-sore berurusan dengan dia.

"Band mana? Bukannya kamu gak kebagian anggota."

Sok tahu banget ini anak. "Semua anggota wajib hadir," jawabku malas.

"Kamu kenapa gak kirim rekamannya ke aku?" tanyanya. "Padahal kamu sudah janji."

"Lupa, aku kira gak jadi." Selama aku bicara sama dia aku tidak menatap wajahnya. Aku tahu dia sedang melihatku.

"Nanti malam bagaimana?" katanya. "Ujian Bab kan sudah selesai."

"Yaudah nanti malam."

"Oke."

Canggung. Seperti dulu awal dia duduk di sebelahku. Kesunyian menyelubung sampai dia berkata, "Maaf kalau kamu marah soal pindah bangku."

Kamu. Maksudnya aku? "Ha? Aku yang marah?"

"Iya, kamu marah, kan waktu itu?"

"Bukannya kamu?"

"Mungkin."

Aku memutar bola mataku. "Kamu lagi nunggu Bianca? Ke mana dia?"

"Iya, dia ada latihan dance. Sekarang dia masih ganti baju," jawabnya.

Aku tidak tahu harus menjawab apa lagi. Sesederhana itu aku memaafkan dia. Bahkan aku tidak ada niat untuk menagih uang sepuluh ribu ke dia. Kalau dipikir-pikir uang segitu juga tidak ada pengaruhnya juga.

"Kamu sudah lihat videoku sama Bianca?" tanyanya.

"Sudah." Belum. Dustaku.

"Bagaimana menurut kamu?" Dia menoleh saat aku juga menoleh ke arahnya. Tatapan kami terkunci untuk beberapa saat.

Semoga dia tidak membaca mataku yang berkata, "Aku tidak bisa melihat kamu dengan cewek lain."

"Kalian serasi," dustaku lagi!

Dia mengangguk. "Di kolom komentar juga banyak yang bilang gitu." Dia diam sejenak. "Semoga projek sama kamu juga ikut sukses."

"Ha? Sama aku?"

"Yang lagu Lathi itu," jelasnya. "Kan aku udah pernah bilang ke kamu. Pura-pura lupa deh."

Aku mengangguk.

"Kapan bisa latihan?" tambah Neo sambil mengambil ponselnya di saku.

"Jumat...."

"Halo, sayang, di mana?" katanya. Dengan ponsel itu. Terhubung dengan Bianca. Dugaku.

"... Aku duduk di taman depan lab. Biologi. Sama Dita."

"... Oke, aku tunggu di sini yah."

"Kapan?" tanyanya lagi padaku. Dia telah menyimapan ponselnya di saku.

"Jumat." Aku langsung bangkit dari kursi taman. "Kalau aku kosong."

"Mau ke mana?" Dia ikut berdiri.

"Masuk studio."

"Aku ikut, boleh?"

Aku tidak peduli dia bicara apa. Aku langsung melenggang pergi menuju ke studio musik yang tempatnya ada di lantai dua, di atas lab. biologi. Aku baru menyadari dia mengikutiku saat naik tangga. Aku sempat menoleh ke arahnya dan dia tersenyum padaku. Senyumnya tidak mengartikan apa-apa, mungkin karena dia ingin bersikap baik setelah dia marah selama berhari-hari.

Sampainya di studio aku masuk dan suara tabuhan drum langsung terhenti. "Loh, Dita kenapa kamu datang? Sudah punya tim memang?" kata Banar.

"Hari ini jadwalnya The Little Fire," sahut Erica. Vokalis Band pertama. The Little Fire. "Kalau kamu gak punya grup ya, gak usah datang, gak usah ikut latihan. Fokus ke panitia lomba aja."

"Oh, aku salah informasi. Aku kira jadi pemain cadangan juga harus ikut datang." Aku langsung keluar dari studio. Neo masih mengikutiku.

"Hei! Dita?" panggil Neo. Tapi aku sudah berlari menuruni tangga.

Aku tidak tahu kenapa rasanya dadaku sesak. Aku merasa kecewa. Tidak karuan. Kacau. Neo melihat semua itu.

"Hei!" Neo menarik lenganku saat aku berada di ujung tangga. "Kenapa?"

"Gak, gak apa."

"Tapi mata kamu berair."

"Aku pulang dulu yah." Aku berusaha melepaskan diri dari genggaman Neo. Neo bahkan tidak mau melepaskan tangannya dari lenganku.

"Naik apa kamu?" tanyanya. "Aku antar yah."

Aku menggeleng.

"Aku takut kamu kenapa-kenapa di jalan." Mataku menatap matanya. Aku tahu dia begitu tulus mengatakan itu. Tapi aku tidak bisa. Kalaupun aku kenapa-kenapa itu urusan aku dan keluargaku, dan ada urusan apa dia mencampuri.

"Serius aku gak apa. Aku bisa pulang sendiri."

"Gak. Aku yang antar kamu." Dia menarik tangan.

"Lepasin! aku bisa jalan sendiri." Aku menangkis tangannya. "Kamu jalan dulu. Nanti aku nyusul."

"Ya sudah tunggu aku di gerbang. Aku ambil motor dulu." Dia langsung berlari menjauh. "Serius tunggu aku di depan." Dia berbalik.

Aku masih terpaku di tempat. Jadi, sebenarnya aku masih punya kesempatan gak sih di band sekolah? Aku langsung menelepon Albi yang juga bernasib sama sepertiku. Sekadar ingin tahu bagaimana pendapat dia.

"Hallo, Albi," kataku saat sambungan terhubung

[Hei, Dita ada apa?]

"Hari ini gak ada latihan yah?" tanyaku hanya sekadar memastikan apakah Albi juga datang hari ini.

[Kita kan belum dapat anggota baru jadi yah harus nyari dulu. Kamu sudah dapat?]

"Aku belum dapat sih?" jawabku.

[Ya sudah lah, Dita. Jangan berharap lagi. Mungkin bulan selanjutnya lagi kita bisa ikutan pentas produksi.]

[Kalau sampai hari Jumat tidak dapat anggota yah kita fokus ke lombanya aja.] saran Albi. Tali itu cukup menenangkan ternyata Albi lebih terbuka dengan ini semuanya.

"Sudah, ya, aku tutup telepon dulu. Lagi ada urusan soalnya."

Tuut...

Bulan selanjutnya. Oke!

Aku langsung berjalan ke gedung depan lalu menuju gerbang. Neo sudah menunggu di sana. Dia duduk di atas sepeda motor matic berwarna merah.

"Aku telepon malah dipanggilan lain. Telepon siapa kamu?" tanyanya sambil mengulurkan helm.

Sebentar, ini helm siapa? Dia memakai helm dan di dekat pijakan kaki sana ada helm lain, kurasa yang itu milik Bianca. "Kamu pinjam helm siapa?"

"Itu helm kamu?" Dia tersenyum.

"Lah? Sejak kapan aku punya helm bogo?" kataku bingung sambil meraih helm itu.

"Sudahlah. Yang penting itu helm milik kamu."

Aku segera memasangnya di kepalaku lalu naik ke boncengan. "Kamu kenapa sih?" tanyaku sebelum dia menyalakan mesin motornya. Aku bertanya karena dia menoleh ke arahku.

"Aku cuma lihat kamu udah bener gak masang helmnya."

Padahal yang aku maksud kenapa dia sering tersenyum. Aneh. Janggal. Dan bukan Neo yang rusuh. Aku bergidik dengan perubahannya. Walaupun aku belum terbiasa dengan tingkahnya yang usil dan bobrok, kelembutannya kali ini justru membuatku bertanya-tanya. Apa yang membuatnya tampak bahagia?

"Iya udah," kataku. "Aneh!"

Dia menyalakan mesin motornya. "Aku menunggu ini sejak lama."

"Astaga. Aku tadi habis telepon. Yang sabar dikit lah." Aku menepuk helmnya. "Lagipula bukan aku yang maksa minyata diantar pulang."

"Bukan itu." Kamu sudah turun ke jalanan.

"Terus apa?" tanyaku sambil mencondongkan ke depan berusaha melihat wajahnya.

"Kepo." Dia tiba-tiba tersenyum. "Kamu gak akan tahu."

"Aisht!" Aku menepuk helmnya sekali lagi.

"Kamu kenapa gak keluar aja dari klub musik. Kamu gak dianggap juga di sana."

"Aku cuma gak kebagian grup. Jadi yah, nunggu bulan depannya lagi."

"Terus kenapa tadi nangis?" Dia menoleh. "Tenyata kamu cengeng juga."

"Kecewa aja gak bisa ikutan tampil bulan depan. Padahal aku ingin sekali. Aku baru ikutan sekali. Dulu waktu kelas 10."

"Lah kenapa sekarang gak bisa ikutan?"

"Karena gak kebagian grup. Kami prioritaskan anak kelas 10. Yang kelas 11 bisa gabung sisanya."

"Sumpah cuma masalah sepele gitu aja kamu nangis, anjir."

"Lah mana ada orang yang gak kecewa coba. Dibilangi gitu. 'Sudah punya tim memang?' Rasanya seperti digampar tahu gak. Ini juga seleksi, siaoa yang terbaik nanti dapat hadiah dan bisa ikut lomba band ke luar kota."

"Iya terus masalahnya apa?" Kami berbelok. Ke arah jalan ke rumahku.

"Aku kehilangan kesempatan ikutan lomba keluar kota," kalimatku tiba-tiba terjeda. "Aku gak kebagian grup juga karena harus datang ke pemakaman sahabatku. Fere."

"Fere siapa? Kok Bianca gak pernah cerita."

"Fere, teman semeja aku. Yang sekarang bangkunya kamu duduki di kelas."

"Ha?" Dia terkejut. Aku ingin menertawakan ekspresi wajahnya yang ketakutan. Tapi aku tidak bisa.

"Kenapa terkejut sih."

"Dia meninggalnya kapan?"

"Seminggu sebelum kamu pindah."

"Serius kamu?"

"Kenapa memang?"

"Aku jadi merinding yah."

"Aish. Teman aku orang baik-baik. Gak mungkin dia juga kali jadi hantu penunggu bangku."

"Iya... iya... turut berduka ya sama teman kamu." Neo menepuk lututku. "Kalau kamu sahabatan sama Fere itu. Kamu dan Bianca kan sahabatan. Berarti dia juga sahabat Bianca? ."

Tak terasa perjalanan cepat belalu. Akhinya kita tiba, motor Neo berhenti di depan rumahku. Aku segera turun seraya melepas helmku. Aku mengangguk menjawab pertanyaannya sambil menyerahkan helm kepadanya.

Neo menerima helm itu, kemudian dia turun dan membuka jok. Dia menyimpan helm itu di sana. "Aku balik ke sekolah dulu. Jemput Bianca."

Aku mengangguk. Lebih tepatnya tidak peduli dia hendak pergi ke mana dan dengan siapa.

"Sudah jangan sedih lagi. Besok kita bikin projek yang luar biasa."

"Iya."

"Dah... Assalamualikum." Dia menyalakan motornya dan segera putar balik. Dia melambaikan tangan ke arahku.

Aku menunggu ini sejak lama. Entah kenapa terngiang kembali di telingaku. Seolah Neo baru saja mengatakan itu. Seolah Neo masih di dekatku.

BERSAMBUNG

🎵🎵Your Moonlight - CHEN🎵🎵

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top