[2] Ambisinya Membuatku Baper
Aku baru selesai mandi sekitar pukul lima sore. Setelah kuhabiskan waktu dengan membersihkan rumah, menyapu halaman dan sedikit membantu Ibu di dapur. Seraya mengeringkan rambut aku mencoba memutar lagu "Lathi" yang diinginkan Neo tadi siang melalui spotify. Aku hubungkan ponselku dengan pengeras suara. Kuputar lagu itu berulang kali untuk mencoba mempelajari ketukan nadanya. Dan selagi juga mencari-cari chord-nya di internet.
Tidak lama ibuku mengetuk pintu kamarku. "Dita, kamu sudah selesai mandi?" kata ibuku. "Ada Neo di depan."
"Iya, Bu, sebentar," teriakku. Aku mendengar suara langkah Ibu menjauh dari pintu kamarku.
"Sialan ini anak." Aku bergumam.
Kumatikan putaran lagu itu dan berjalan menuju kamar mandi untuk menyampirkan handuk. Aku menatap diriku di pantulan kaca meja rias lalu menyambar kaca mata di nakas baru kemudian pergi keluar kamar. Saat turun tangga aku memasang kaca mataku dan dia tepat berdiri di depan tangga. Dengan ekspresi wajah yang menyebalkan itu. Bagaimana bisa dia punya wajah setebal itu? Datang ke rumah dengan senyum lebar tanpa merasa bersalah. Padahal aku sudah melarangnya untuk datang.
"Aku kira kamu gak mau nemui aku," ucapnya sambil meringis dan mengusap tengkuk.
"Sendiri?" tanyaku.
"Iya."
"Aku baru dengerin lagunya. Belum coba main pakai cajon. Soalnya belum hapal liriknya."
"Yaudah gak apa, gak buru-buru juga." Dia berjalan menuju ruang tv. Melewati depanku. Langkahnya begitu mantab seolah dia sudah kesekian kalinya berada di rumahku.
"Sudah pernah coba pakai gitar?" tanyaku.
"Baru bait pertamanya saja." Aku berjalan di belakangnya. Dengan kikuk dan merasa bahwa aku bukan tuan rumah. Aneh. Baru kali ini aku merasa ada tamu tidak tau diri seperti Neo.
"Lanjutin itu aja. Biar aku gak repot-repot cobain." Setibanya di ruang TV, ternyata di sana sudah ada segelas sirup dan tas gitar bersandari di samping sofa.
"Aku mau kolaborasi sama kamu," katanya seraya duduk.
Kuputar bola mataku. Dia mengatakan ini sudah kesekian kalinya, setelah sekian kalinya aku menolak. "Kenapa gak sama Bianca?"
"Udah," jawabnya sambil duduk. "Besok pagi kalau sempat timku akan unggah di Youtube."
Aku tidak menjawab dan justru malah asik mengosok rambut setengah basah pakai tangan. Dia juga diam untuk beberapa saat. Sampai dia akhirnya mengambil gitarnya dan mencoba memainkan beberapa chord.
"Spoiler dikit lagu yang aku mainkan sama Bianca." Jujur aku tidak peduli dengan apa yang dia katakan.
Gak penting. "Bianca kok gak cerita aku soal ini?" Aku menghentikan aksiku. Karena kaca mataku berembun, aku lap dengan kaos. Lalu memasangnya lagi. "Keren pasti," dalihku dengan berdusta.
"Biasa aja, kami latihan cuma dua hari."
Mungkin video itu satu-satunya video yang gak akan aku tonton. "Bianca tahu kamu ke sini?" Aku terus saja mengatakan sesuatu yang tidak sesuai hatiku.
"Gak tahu."
"Kenapa?"
"Yah karena gak aku kasih tahu."
"Kenapa?"
"...."
Aku menghela napas. "Jadi, kapan kamu akan bilang tujuan kamu datang ke rumah aku?"
"Perasaan tadi udah bilang?"
"Lah? Harus sekarang?"
"Yah, kalau bisa sekarang. Tapi kalau cuma latihan-latihan kecil aja juga gak apa, enaknya kamu gimana. Aku ngikut apa kata kamu."
"Kan aku sudah bilang akan kirim rekaman."
"Kapan? Aku tidak sabar," tukasnya. Siapa tadi yang bilang gak buru-buru. "Aku juga sudah bilang mau ke rumah kamu."
Saat aku hendak menjawab dia buru-buru menambahkan. "Kamu juga gak bilang setuju dengan projekku kali ini apa tidak."
Aku menghela napas. "Sekarang sudah tahu kan kalau aku setuju. Terus kan udah di rumah aku. Jadi pulang sana!"
"Lah, malah aku diusir."
"Neo." Aku berkacak pinggang. "Bentar lagi magrib, kamu gak pulang apa? Gak baik bertamu ke rumah orang pas waktu magrib."
"Kata ibu kamu aku diundang untuk makan malam."
"Kamu tahu gak sih etika di rumah orang." Aku mengerutkan bibir.
"Plis, jangan ceramah sekarang." Dia menyatukan tangannya lalu bersimpuh. "Sekali ini aja makan malam bareng keluarga kamu."
Ya Tuhan. Sumpah aku menyesal menjadi penggemarnya.
"Kan bi."
Dia menggeleng. "Susah menolak calon mertua di masa depan."
Aku langsung mengambil kantong tisu dan melepar ke arahnya. "Hei!"
"Mertua kamu ibunya Bianca yah, bukan ibu aku."
"Bianca belum tentu jadi istri aku juga," tukasnya sambil meletakkan kantong tisu itu ke meja. Bibirnya manyun seperti bebek. Aku tidak paham lagi apa yang sedang dia pikirkan. Buat apa memacari gadis kalau bukan untuk nikah dikemudian hari.
"Jadi, kamu mau kapan colab sama aku?" tanyanya.
"Jangan dekat-dekat ini. Aku ada latihan buat band sekolah, terus belum lagi ujian bab minggu depan. Full juga seminggu." Aku bicara tanpa berpikir.
"Kasih tahu kapan supaya aku bisa persiapin semuanya?" tanyanya tegas. Bicaranya sedikit memaksa sebenarnya.
"Aku akan kasih tahu lewat whatsapp kalau aku sudah hapal liriknya, tapi yang terpenting adalah kamu harus pulang sekarang."
"Gak mau." Dia bangkit dan meletakkan gitarnya di sofa. "Aku ke dapur dulu bantu Ibu kamu."
Aku menghela napas. Dia sudah berlalu. Setelah dia mengusikku di kelas sekarang dia mengusikku di rumah. Sudah ribuan kali dia mengusik mimpiku, besok apa lagi? Bianca sebenarnya bisa gak sih ngurusin si Neo yang suka semaunya gini.
Setelah aku berpikir ulang rasanya aku ingin mengatakan ini.
Tuhan, Aku menyesal motoran dua jam hanya untuk minta tanda tangannya bulan Juli tahun lalu. Sekarang dia hanyalah benalu yang tak sadar muka setebal baja.
Pikiranku banyak teralih, banyak hal yang aku kira itu hanya bercanda. Tapi aku tidak bisa mengesampingkan itu. Semua mengarah pada Bianca. Sebenarnya Neo hanya memainkan Bianca sebagai pelindung atau dia benar suka dengan Bianca, aku ragu. Kendatipun demikian, kenapa aku harus memikirkan hal seperti ini?
Aku tidak tahu dan tidak mau tau dengan segala rencanya. Aku juga tidak yakin jika projek bersamanya akan berjalan lancar. Projek belum dimulai saja aku sudah naik darah. Apakabar nanti? Aku jadi penasaran bagaimana timnya menghadapi Neo yang suka semaunya seperti ini. Bahkan tidak bisa membiarkan orang lain bebas. Dari semua itu ada perasaan juga bahwa aku mengharapkan ini berjalan dengan sempurna seperti yang aku impikan selama ini.
BERSAMBUNG
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top